Meramu Sistem Pangan Ramah Lingkungan
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Menjadi salah satu nara sumber pada pelatihan mubalighah lingkungan yang diselenggarakan oleh LLHPB PP ‘Aisyiyah pada Ahad (26/12/2021), pendiri Sekolah Pagesangan Diah Widuretno mengatakan, pangan merupakan salah satu penyumbang dari persoalan kerusakan lingkungan.
Menurut dia, sistim pangan global bertanggung jawab atas 1/3 emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh manusia dan 30% berasal dari peternakan dan perikanan yang tidak ramah.
“Sebanyak 60% dari area pertanian dunia didedikasikan untuk peternakan, meskipun hanya memenuhi 24% dari konsumsi daging global,”tuturnya.
Dia menjelaskan, sistim pangan global di antaranya sistem produksi, distribusi dan konsumsi berjarak jauh dan tidak saling terkait, serta mega Industri pangan mega capital serta produktifitas berorientasi mencari keuntungan sebagai tujuan, sementara Sumber Daya Alam dianggap semata-mata factor produksi.
“Skala besar dan raksasa, ribuan bahkan jutaan hektar lahan alih fungsi, budidaya secara monokultur anti keragaman. Hala ini dapat memicu terjadinya pemanasan global,”ungkapnya.
“Karbohidrat dikerucutkan pada gandum, padi dan jagung, penggunaan bibit unggul yang rakus hara menyebabkan benih-benih local punah. Penggunaan pupuk dan pestisida menyebabkan tanah mati dan ekosistem menjadi tidak seimbang,”imbuhnya.
Dia mengatakan, sistim pangan lokal harus digiatkan. Menurut dia, sistim pangan lokal berorientasi pada upaya bertahan hidup, tidak semata-mata mencari keuntungan, berskala kecil, dan luas lahan yang dibutuhkanpun tidak besar bahkan bisa memanfaatkan lahan yang ada di pekarangan.
“Budidaya secara polikultur, jenis tanaman beragam, jenis tanaman yang dibutuhkan bisa ditanam sendiri, menanam benih-benih heirloom atau benih pusaka meski mulai didesak bibit unggul,”pungkasnya.
Dia mencontohkan strategi pangan lokal yang dilakukan di Wintaos Gunungkidul. Kata dia, penduduk di sana menanam berbagai macam kebutuhan pangan, baik karbohidrat, kacang-kacangan, sayur, rempah dan buah.
Di samping itu kata Diah, para penduduk memperbanyak jenis karbohidrat yang ditanam, baik beragam jenis umbi-umbian, maupun beberapa jenis serealia yang mereka atur sebagai pangan pokok dan pangan cadangan.
“Penyimpanan, pengaturan dan pergiliran pangan pokok harus dilakukan, mengingat mereka hanya bisa menanam di musim hujan, sementara kebutuhan pangan tiap hari, sepanjang tahun,”ungkapnya.
Dia menambahkan, pendudk di sana tidak menjual pangan pokok, hanya menjual pangan non pokok, hal itu merupakan nilai umum yang mereka pegang saat ini.
Etika lingkungan dalam pangan menurut dia bahwa dalam memproduksi pangan tidak hanya berorientasi pada ketercukupan pangan manusia tapi juga harus mempertimbangkan kelestarian alam dan sumber daya alam untuk generasi selanjutnya. (Iwan Abdul Gani)