YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Berada di penghujung 2021, Program Studi Ilmu Pemerintahan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, menyelenggarakan webinar pada pagi hari ini (28/12). Topik seminar yang diusung langsung menyasar pada isu demokrasi, yakni bertajuk “Menahan Laju Regresi Demokrasi dan Kegagalan Politik Desentralisasi di Indonesia”.
Sejumlah pakar kenamaan yang hadir sebagai pembicara ialah Dr. Busyro Muqoddas, Thomas Power, Bachtiar Dwi Kurniawan, S. Fil.I, MPA, Prof. Azyumardi Azra, David Efendi, S.IP, MA., serta Bupati Trenggalek, M. Nur Arifin. Meskipun pembicara terakhir berhalangan hadir, acara seminar tetap berjalan dengan panduan moderator Dr. phil. Ridho Al-Hamdi, MA.
Istilah “regresi” dalam judul seminar ini merupakan ungkapan suatu fenomena politik kenegaraan yang sama artinya dengan flawed democracy atau illiberal democracy. Terma tersebut mengandung makna adanya keterancaman demokrasi yang membuatnya tidak bertahan lama.
Hal tersebut bisa terjadi atas setidaknya tiga faktor yaitu, (1) kekurangan struktural dari konsolidasi demokrasi, (2) regresi demokrasi dari bawah, dan (3) regresi demokrasi dari atas. Indonesia sendiri mengalami regresi demokrasi yang diakibatkan faktor ketiga.
Menurut Power, proses regresi demokrasi ini dilakukan melalui pelemahan institusi akuntabilitas negara oleh pemilik wewenang politik secara sistematis. Dalam kata lain, gejala ini disebut juga penggelembungan kekuasaan eksekutif (executive aggrandisement).
Komponen-komponen yang dimaksud sebagai institusi akuntabilitas negara di atas di antaranya, institusi dan proses penyelenggaraan pemilu, lembaga penegak hukum dan yudisial independen, media, serta opsisi tidak resmi maupun aksi demostrasi.
Salah satu bukti konkretnya adalah pelemahan institusi Komisi Penanganan Korupsi (KPK) yang perannya sebagai lembaga independen perawat keutuhan demokrasi.
Dalam kesempatan berikutnya, Azra menunjukkan bukti regresi lainnya, “koalisi besar dengan partai-partai di parlemen, hampir sepenuhnya memproses dan menetapkan undang-undang dan ketentuan lain tanpa melibatkan publik dan masyarakat sipil. Meski ada suara kritis dari kalangan publik dan masyarakat sipil, elite pemerintahan dan politik oligarkis-nepotistik tidak peduli”.
Apalagi “hilirisasi otoritarianisme”, seperti dikatakan Busyro, semakin menambah daftar upaya penggelembungan kekuasaan di pusat. Dampaknya, bukan saja menyedot pundi-pundi ekonomi di daerah, tetapi juga merenggut upaya kepala daerah bagus yang ingin tetap bekerja dengan moral. Bahkan, berdampak juga pada semakin parahnya kerusakan alam.
Sebagai penutup, Busyro mengungkapkan harapannya agar dalam waktu dekat pada awal tahun agar organisas-organisasi masyarakat dan perguruan tinggi bisa berkonsolodasi. “Tujuannya menyelamatkan negara. Hakikatnya menyelamatkan pemilu akan datang,” tandasnya. (ykk)