Bangun Budaya Literasi, IMM Adakan Pelatihan Menulis Karya Fiksi
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Agama Islam (IMM FAI) Uhamka menggelar pelatihan kepenulisan bertajuk SIDIK (Selami Literasi dengan Ciptakan Karya) dengan tema “Semangat Menulis untuk Inspirasi, Lestarikan Budaya Literasi”, Rabu (29/12). Kegiatan yang digawangi Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM FAI Uhamka ini berlangsung secara daring via Zoom Meeting.
Dalam pertemuan ketiga, Ahmad Soleh hadir sebagai narasumber yang membahas kepenulisan karya tulis fiksi. Soleh yang merupakan direktur Penerbit Irfani tersebut mengungkapkan pentingnya membaca dan menulis karya sastra. “Membaca karya sastra itu penting, karena sastra tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga mampu menghadirkan kesadaran kepada pembaca sehingga dapat bagaimana melihat persoalan dengan kacamata yang tidak biasa,” ujarnya, Rabu (29/12).
Menurut dia, karya sastra juga merupakan produk budaya yang di dalamnya ada kandungan budaya dan nilai-nilai masyarakat. “Budaya dan masyarakat dalam gambaran yang tecermin dalam karya itu,” ujarnya. Sebab itu, membaca karya sastra juga bisa menjadi medium kita mempelajari peradaban suatu masyarakat dalam kurun waktu dan tempat tertentu.
Selain itu, Soleh juga menjelaskan tentang betapa pentingnya menulis karya sastra. Menurut dia, menulis karya sastra memiliki imensi dan pendektan yang personal, lebih dekat, dan lebih emosional. “Tradisi, budaya, dan kondisi masyarakat dapat diungkapkan lewat karya sastra. Kalau kita mampu menulisnya, artinya kita sedang merekam kondisi kita sekarang,” ungkapnya.
Kendati begitu, pegiat literasi yang juga pengrajin puisi ini menyayangkan karena dalam kurikulum pembelajaran di sekolah, porsi untuk membaca dan menulis karya sastra hanya sedikit. Hal itu, menurut dia, menjadi salah satu penyebab rendahnya minat baca masyarakat. “Padahal, karya sastra bisa membangkitkan minat baca dan membangun budaya literasi kita,” ungkapnya.
Dalam soal menulis karya fiksi, Soleh membagikan pengalaman ketika menulis. Baginya, menulis membutuhkan komitmen. “Kalau mau benar-benar menjadi penulis, ya mesti siap meluangkan waktu untuk menulis. Minimal dalam satu hari kita sisakan waktu untuk menulis apa pun, seburuk apa pun karya itu,” ujarnya.
Menurut dia, yang terpenting dari proses pembiasaan adalah penempaan diri. Sebab, dengan membiasakan diri menulis setiap hari, perlahan hal itu akan menjadi budaya dalam kehidupan. “Kalau sudah dipaksa, lama-lama terbiasa. Bahkan, bukan lagi menjadi tuntutan atau tantangan, tetapi menjadi sebuah kebutuhan. Kita akan merasa ada yang ketinggalan bila sehari saja tak menulis,” katanya.
Di akhir penyampaiannya, dia berpesan kepada peserta agar menekuni kebiasaan menulis dengan menerapkan tiga hal, yakni jujur, tulus, dan sungguh-sungguh. “Penulis harus punya sifat jujur, karena itu modal awalnya. Selain itu, menulis juga membutuhkan ketulusan. Yang terakhir, bersungguh-sungguhlah, karena itu cara yang paling manjur untuk meraih sesuatu yang dicita-citakan,” kata dia.