Mengkritik Tanpa Kebencian dan Tanpa Mengolok-Olok

Mengkritik Tanpa Kebencian dan Tanpa Mengolok-Olok

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan Kamus Sinonim mengkritik berarti mencela, mengecam. Namun, di dalam kajian ini mengkritik dan mencela atau mengecam dibedakan dari segi nilai rasa. Mengkritik pada dasarnya bernilai rasa netral, sedangkan mencela atau mengecam dipengaruhi oleh atau didasarkan rasa tidak suka. Perbedaan itu dapat juga dikaji dari segi yang lain.

Di dalam kajian akademis mengkritik berarti memberikan status kepada segala sesuatu dari segi baik buruknya berdasarkan pertimbangan akal sehat, dilakukan secara objektif, disertai argu­men yang rasional, disertai alternatif perbaikan pada aspek yang diberi status buruk. Oleh karena itu, dalam kajian akademis, kata yang lazim digunakan adalah mengkitik.

Islam merupakan agama yang memberikan ruang cukup bagi umatnya untuk berpikir kritis. Bukankah sebagian ajaran Islam berupa koreksi terhadap penyimpangan ajaran agama sebelumnya. Hal itu dapat kita ketahui misalnya tentang (a) status Isa sebagai Rasul pada QS Ali ‘Imran (3): 63. Ada kaum yang meyakini bahwa Isa adalah Tuhan, sedangkan bagi umat Islam, dia adalah Rasul Allah; (b) kematian ‘Isa pada QS an-Nisaa (4): 157. Ada kaum yang meyakini bahwa ‘Isa wafat disalib, sedangkan umat Islam meyakini dia diselamatkan oleh Allah dan orang yang disalib adalah orang yang diserupakan ‘Isa oleh Allah.

Kita dapat juga mengetahui bagaimana Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengkritik orang-orang Yahudi dalam hal amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana terdapat di dalam HR Abu Dawud, yang dikutip oleh Imam An-Nawawi di dalam Riyadush Shalihin, terjemahan Izzudin Karimi hlm. 204-205 berikut ini.

“Sesungguhnya, awal masuknya kekurangan pada Bani Israil adalah seseorang (saleh) di antara mereka bertemu dengan pelaku maksiat. Lalu ia berkata, “Wahai kamu, bertakwalah kepada Allah. Jangan berbuat begitu karena perbuatan itu tidak halal bagimu.” Kemudian, esoknya, orang saleh itu bertemu kembali dengan pelaku maksiat itu dalam keadaan yang sama, tetapi ia (orang saleh itu) tidak melarangnya, bahkan, ia makan, minum dan duduk bersamanya. Ketika mereka berbuat demikian, Allah Subhaanahu wa Ta’aala menyatukan hati mereka (hatinya disamakan dengan hati pelaku maksiat tersebut).

Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan ayat, “Lu’inal ladziina kafaruu min bani Israaiila … sampai humul faasiquun” (QS al-Maidah (5): 78-81) Artinya, “Telah dilaknat orang-orang kafir dari kaum Bani Israil melalui lisan Dawud dan ‘Isa putra Maryam. Hal itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. Mereka tidak saling melarang kemunkaran yang selalu mereka lakukan. Sungguh amat buruk apa yang mereka lakukan itu. Kamu melihat kebanyakan dari mereka tolong-menolong dengan orang-orang yang kafir (musyrik). Sungguh amat buruklah apa yang mereka lakukan untuk diri mereka, … “ sampai pada firman-Nya “… orang-orang yang fasik.” Kemudian, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersab­da, “Sungguh! Demi Allah! Kalian benar-benar harus mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan; cegahlah mereka yang berbuat zhalim dan serulah mereka kepada kebenaran yang hakiki, atau Allah akan menutup hati sebgian dari kalian dengan sebagian yang lain, kemudian melakanat kalian sebagaimana Dia telah melaknat mereka.”

Imam An-Nawawi menyatakan bahwa hadis tersebut hasan. Di samping mengemukakan HR Abu Dawud, Imam An-Nawawi mengemukakan juga hadis redaksi at-Tirmidzi. Dalam hubungannya dengan beramar ma’ruf nahi munkar, secara substansial sama.

Ada hal penting yang perlu kita jadikan rujukan dalam hal mengkritik. Dalam kritik itu, tidak ada olok-olok. Ada argumen yang rasional berdasarkan pikiran cerdas dan kritis. Ada fakta pendukung argumen. Tidak ada dendam, benci, atau dengki meskipun mengkritik kaum Yahudi, kaum yang jelas-jelas memusuhi Islam.

Hal yang sangat penting lagi adalah fakta pendukung tentang penyebab utama kehan­curan suatu kaum yang dikemukakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam itu berlakau sepanjang zaman. Jika orang-orang saleh membiarkan kemunkaran, baik karena ketidakberdayaan maupun (lebih-lebih) karena alasan keduniaan, kehancuran pasti terjadi.

Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Secara sederhana dan populer dapat kita pahami bahwa beramar ma’ruf nahi munkar adalah menyeru atau mengajak berbuat kebajikan dan mencegah kemunkaran. Ada tiga strategi beramar ma’ruf nahi munkar itu mencapai tujuan, yakni (1) menasihati, berdikusi, atau berdebat, (2) menjadi teladan, dan (3) mendoakan. Namun, ada satu lagi dan ini bukan sekadar tambahan, yakni Allah memberikan hidayah. Hal yang sangat penting dipahami pula adalah bahwa hidayah merupakan hak prerogatif Allah. Meskipun demikian, ikhtiar, baik yang mengajak maupun yang diajak, menjadi faktor yang sangat penting. Bahkan, perlu ada kesejalanan. Ketika pihak yang mengajak “mendoakan”, pihak yang diajak pun berdoa dan berikhtiar agar mampu dan mau berbuat kebajikan dan meninggalkan keburukan.

Pada akhir-akhir ini fenomena mengkritik makin memprihatinkan. Kita dengan mudah dapat mendengar tuturan dan/atau membaca tulisan yang dimaksudkan untuk mengkritik. Baik dari segi substansi, cara, maupun bahasanya sangat sensasional dan provokatif, bahkan, sering juga mengarah pada fitnah, terutama yang bernuansa politik. Tuturan yang sangat mengejut­kan adalah penyebutan bagi kelompok yang berbeda aspirasi politik dengan kata celeng. Kata itu diucapkan oleh public figure, bukan “orang rendahan”. Bagi orang Indo­nesia, khususnya suku Jawa, kata itu merupakan makian yang bernilai rasa sangat kasar dan sering digunakan oleh penutur yang sangat kecewa atau marah. Biasanya makian semacam itu digunakan oleh orang yang berpendidikan rendah atau nirpendidikan.

Di media sosial, dengan mudah dapat kita temukan judul berita yang juga bernilai rasa kasar. Malahan, sering ada perbedaan antara judul dan isi yang disampaikan. Hebatnya lagi, ada foto editan yang mendukung judul, tetapi isinya sama sekali tidak sesuai.

Kita dengan mudah juga dapat mengetahui di media sosial orang-orang yang selalu mengkritik. Di antara mereka, ada yang mengkritik dengan argumen ilmiah, tetapi ada pula yang tanpa argumen sama sekali. Ada pula pengritik yang berargumen, tetapi argumennya lebih bernuansa suka atau tidak suka.

Ada juga orang-orang yang suka sekali menjelek-jelekkan lawan politiknya dengan berbagai cara, termasuk memfitnah. Mereka tidak pernah berargumen atau kalaupun berargumen, sangat bernuansa kebencian atau kedengkian. Mereka melakukan demikian karena mempunyai tujuan akhir menjatuhkan lawan politiknya.

Ada lagi: gegara perbedaan aspirasi politik, sesama anak bangsa saling mengolok-olok. Di antara mereka ada orang yang berpendidikan (tinggi). Ironisnya mereka seperti lupa akan masa lalunya atau menganggap bahwa bangsa Indonesia tidak mengetahuinya. Ketika berbeda kepentingan politiknya, mereka pernah berseteru, bahkan saling mengolok-olok di ruang publik. Namun, sekarang seperti tim yang kompak dan solid. Tentu kata-kata yang digu­nakannya lepas dari koridor kesantunan, baik menurut kaca mata orang berpendidikan maupun lebih-lebih agama, lebih khusus lagi Islam. Ada kesan bahwa dalam hal akhlak berbicara dan/atau menulis untuk menyatakan perbedaan pendapat dan/atau sikap politik atau mengkritik, tidak ada perbedaan antara orang berpen­didikan dan orang nirpendidikan.

Fenomena yang lebih memprihatinkan lagi adalah demi kepentingan politik, ada orang atau kelompok yang menghina Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi anehnya demi kepentingan politik juga cukup banyak tokoh Islam yang lebih memilih diam. Hal ini tentu menimbulkan tanda tanya besar! Betapa tidak? Sebelum masuk ke dalam lingkaran kekuasaan, terkesan bahwa mereka paham benar apa yang baik dan buruk; juga mengetahui apa yang benar dan salah menurut Islam.

Masih ada lagi yang tidak kalah memprihatinkan. Sesama orang Islam, bahkan, yang mengklaim satu mazhab pun, ketika menyampaikan perbedaan pendapat atau saling mengkritik, saling meremehkan. Ada di antara mereka yang merasa paling pintar dan benar. Orang dan/atau kelompok lain bodoh dan salah. Apalagi, terhadap orang atau kelompok yang berbeda mazhab!

Sikap dan tindakan yang tecermin melalui tuturan dan/atau tulisan yang bernada mencela, mengolok-olok, dan/atau meremehkan orang dan/atau kelompok lain apakah tidak kontraproduktif? Bagi bangsa Indonesia, masih sangat banyak masalah besar yang harus diselesaikan oleh semua anak bangsa lintas suku, agama, dan lintas partai. Demikian pula halnya masalah umat Islam Indonesia pun masih banyak yang harus deselesaikan secara sinergis.

Mengkritik untuk Beribadah

Mengkritik dapat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat mengamalkan firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala, di antaranya,

  1. Surat Ali ‘Imran (3): 104

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”

  1. Surat Ali ‘Imran (3): 110

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”

Bagi umat Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah teladan sebagaimana dijelaskan oleh Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam surat al-Ahzab (33): 31

.”Sesungguhnya, telada ada pada (diri) Rasulullah suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang berharap(rahmat) Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”

Dengan demikian, semestinya dalam hal mengkritik pun beliau harus dijadikan sebagai teladan. Banyak contoh yang telah diberikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Banyak ayat Alquran yang harus dijadikan rujukan agar dapat mengkritik dengan tujuan beribadah. Di antara ayat-ayat itu adalah:

  1. Surat an-Nahl (16): 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

  1. Surat al-Ahzab (33): 70

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar.”

Hamka menafsirkan ayat tersebut di dalam Tafsir Al-Azhar sebagai peringatan kepada orang-orang beriman agar memilih kata yang tegas, tepat, jitu, dan jujur ketika berbicara. Baru dikatakan iman dan takwanya tumbuh dan berkembang jika mereka berbicara dengan kata-kata yang maknanya tersimpan dalam hatinya. Kata-kata yang berasal dari dorongan hati tidak menyakiti Allah dan Nabi-Nabi, baik Nabi Musa maupun Nabi Muhummad.

  1. Surat al-Baqarah (2): 83

“Dan ucapkanlah kepada manusia kata-kata yang baik.”

Berbicara yang baik di dalam ayat tersebut dijelaskan oleh Hamka dalam Tafsir AlAzhar, tidak berarti bermulut manis. Berbicara yang baik lebih luas cakupannya. Di dalamnya ada menasihati orang lain untuk berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran, dan menegur orang yang melakukan kesalahan. Jika tampak terang-benderang ada kesalahan, tidak mem­biarkannya. Orang yang mempunyai pengalaman baik, mengajari orang yang memerlukan­nya. Orang yang sedikit ilmu, mau belajar pada orang berilmu dengan bertanya

  1. al-Isra’ (17): 36

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang­nya. Sesungguhnya, pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertang­gung­ja­wabannya.”

Sementara itu, sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini harus dijadikan rujukan pula.

  1. HR al-Bukhari dan Muslim

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.”

  1. HR Ahmad

“Tidaklah iman seseorang itu menjadi lurus hingga lurus hatinya. Tidaklah lurus hatinya hingga lurus lisannya.”

  1. HR Muslim

“Barangsiapa sudah terhalang kelemahlembutannya, ber­arti dia sudah terhalang kebaik­an­nya, atau barangsiapa lagi terhalang kele­mahlembutannya, berarti dia lagi terhalang ke­baikannya.”

  1. HR al-Bukhari

“Seorang muslim adalah orang yang membuat kaum muslim merasa aman dari (gangguan) lisan dan tangannya.”

Dengan memahami kembali ayat dan hadis tersebut, dapat diketahui bahwa semua pem­be­rian Allah Subhaanahu wa Ta’aala harus dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, semua organ yang digunakan untuk berbicara, menulis, mendengarkan, memirsa, membaca, berjalan, dan melakukan tindakan-tindakan yang lain, dan di antara tindakan-tindakan itu adalah mengkritik,harus bernilai ibadah. Oleh karena itu, ayat-ayat dan hadis yang dikutip tersebut menjadi rujukan untuk mengkritik agar bernilai ibadah.

Sekadar Contoh Kasus

Di dalam buku Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali (bukan Ali Machrus) meng­kritik orang yang berpendapat bahwa orang yang telah meninggal dapat mendengar. Beliau selalu mengemukakan ringkasan pendapat orang yang dikritik. Beliau pun mengemukakan dasar yang dijadikan argumen oleh orang yang dikritiknya itu. Setelah itu, beliau baru mengkritik. Kritikannya selalu disertai argumen dengan merujuk ke pendapar para pakar.

Tidak tertinggal pula, ayat Alquran dan hadis pun dikemukakannya. Kemudian, barulah beliau menyimpulkan pendapatnya, yakni hadis-hadis yang dijadikan rujukan bahwa orang yang meninggal dapat mendengar adalah lemah, bahkan, ada yang palsu sehingga tidak dapat dijadikan hujjah. Akhirnya, beliau menyatakan pendapatnya bahwa orang yang telah meninggal tidak dapat mendengar.

Sedangkan mayat orang-orang kafir yang dikuburkan di sumur Badar, yang dijadikan contoh oleh orang yang berpendapat bahwa orang telah yang meninggal dapat mendengar, dinyatakannya bersifat kasuistis pada waktu itu dan di tempat itu karena orang yang mengajak berbicara adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Mengkritik dengan cara demikian dari segi substansi, lebih objektif. Sayang, dari segi bahasa, terkesan ada konfrontasi yang diwarnai rasa suka atau tidak suka. Pada hlm. 109, misalnya, beliau menulis,

“Sayang sekali Tim (ditulis lengkap nama tim yang dikritisi) seakan-akan malas dan enggan mencari dan menggunakan hadis-hadis yang sahih, yang bersih dari kritik ulama ahli hadis dalam mempertahankan pembenaran pendiriaannya. Mengapa harus nekat menggunakan hadis lemah, palsu, atau paling banter hadis yang derajadnya diperselisihkan para ulama kritikus hadis. […] Kasihan pem­baca yang disuguhi hadis-hadis yang tidak dapat dipertangungjawabkan validitas kebenarannya sebagai perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. [….] Kalau Tim […] asal-asalan menyimpulkan ….”

Dalam konteks ini, kata-kata malas, enggan, nekat, paling banter dan asal-asalan merupakan con­toh kata yang berasa tidak suka. Pada halaman lain (misalnya hlm. 123) terdapat pula kata-kata yang di­war­nai rasa tidak suka.

Ayat yang dijadikan dasar argumen Machrus Ali untuk mengkritik orang yang berpendapat bahwa orang yang meninggal dapat mendengar adalah firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala, di antaranya, adalah surat an-Naml (27): 80

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar dan (tidak pula) menjadikan orang-orang yang tuli mendengar panggilan, apabila mereka telah berpaling mem­belakang.”

Di samping itu, firman Allah Subhaanahu wa Ta’aala di dalam Alquran surat Faathir (35): 22,

‘… dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya, Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.”

Ilustrasi lain yang perlu menjadi bahan kajian dalam hal mengkritik adalah kritik yang terdapat di dalam buku Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia, yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Cara MUI mengkritisi lebih bagus lagi. Pada prinsipnya, pola yang digunakan sama, yakni lebih dahulu dikemukakan ringkasan paham Syi’ah. Lalu, dikemukakanlah pendapat para ulama secara kompre­hensif dan barulah disim­pulkan. Di dalam buku tersebut MUI mengkritisi Syi’ah dengan menulis subjudul yang secara langsung dapat dimaknai sebagai kritik. Pada hlm. 43-50, misalnya, MUI menulis subjudul “Penyimpangan Paham Syiah Mengafirkan Umat Islam”.

Di bawah subjudul itu, pada paragraf pertama dikemukakan secara padat pendapat ulama Syi’ah, al-Kulaini, yang menyatakan bahwa semua umat Islam selain Syi’ah adalah anak pelacur. Ulama Syi’ah lainnya yang disarikan pendapatnya adalah Mirza Muhammad Taqi, yang menyatakan bahwa selain orang Syi’ah masuk neraka selama-lamanya meskipun semua malaikat, semua nabi, semua syuhada, dan semua siddiq menolongnya. Pada paragraf kedua dikemukakan secara ringkas pendapat al-Kulaini yang menyatakan bahwa orang yang menganggap Abu Bakar dan Umar adalah muslim tidak akan ditengok oleh Allah pada hari kiamat dan disiksa yang pedih (masuk neraka). Bahkan, MUI mengutip pernyataan al-Kulaini, “Bermaksiat kepada Ali adalah kufur dan memercayai orang lain lebih utama dan berhak dari beliau dalam imamah adalah syirik.”

Setelah mengemukakan pendapat ulama Syi’ah, MUI mengemukakan secara kompre­hensif pandangan ulama dengan rujukan dalil naqli dan dalil aqli. Kemudian, MUI me­nyimpulkan dengan kalimat, “Dengan demikian, Syi’ah telah menyimpang karena mengafir­kan sesama muslim hanya karena bukan kelompoknya.” Hal yang perlu mendapat perhatian juga adalah aspek bahasa. MUI menggunakan bahasa akademis, yakni netral dari rasa suka atau tidak suka.

Mengkritik dengan Akhlak Terpuji

Perbedaan sikap dan pendapat sering menjadi penyebab perpecahan, bahkan, kehan­curan suatu kaum, lebih luas lagi bangsa. Tidakkah kita merasa sangat prihatin dan sedih jika sesama muslim saling meremehkan, bukan saling bersikap ramah; saling menendang, bukan saling menyayang; saling memukul, bukan saling merangkul; saling mengkritik dengan cara tidak santun, padahal Allah Mahasantun dan Rasul-Nya pun sangat santun!

Oleh karena itu, perlu ada tindakan mawas diri dalam hal mengkritik. Tindakan ini harus dimulai dari ulama, public figure, dan kaum intelektual. Bagi orang awam, mereka sangat ber­pengaruh. Jika  mereka merasa dan menya­takan dirinya dan kelompoknya yang pa­ling benar dan paling pintar ketika mengkritik, orang awam melakukan hal sama . Boleh jadi, melebihinya!

Cara mengkritik yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tentu merupakan rujukan utama karena beliau berucap dan bertindak berdasarkan wahyu, bukan nafsu. Dengan demikian kebenarannya bersifat mutlak. Beliau mengkritik dengan akhlak terpuji. Sudah tentu, perlu diingat pula bahwa dalam hal keduniaan (sains dan teknologi) seperti teknologi pangan, teknologi komu­nikasi, dan teknologi transportasi tidak demikian halnya.

Cara MUI mengkritik paham Syi’ah merupakan salah satu rujukan yang sangat bagus bagi ulama, public figure, dan kaum intelektual (di Indonesia). Mereka mengkritik dengan lebih dahulu mengemukakan secara ringkas (tetapi utuh) paham Syi’ah yang direpre­sentasikan oleh tokohnya. Tidak ada yang dimanipulasi. Setelah itu, mereka baru mengkritik dengan argumen berdasarkan dalil naqli (Alquran dan hadis) dan dalil aqli (pendapat para ulama). Akhirnya, MUI menyimpulkan. Pelajaran berharga yang perlu juga kita contoh adalah mereka menggunakan bahasa yang tidak dipengaruhi oleh rasa kebencian. Tidak ada olok-olok.

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Kota Magelang

Exit mobile version