Suara Muhammadiyah Tenda Besar Moderasi Islam dan Keindonesiaan
Oleh: Deni Al Asyari
Indonesia adalah bangsa besar dengan jumlah warga muslim yang terbanyak. Fakta ini, menjadikan Indonesia sebagai sebuah harapan bagi kemajuan masyarakat muslim di berbagai belahan dunia. Bahkan, Indonesia juga sering disebutkan, sebuah model negara demokrasi dengan mayoritas penduduk muslim terbesar.
Harapan ini tentu bukan suatu yang dibuat-buat. Sebab berkaca dengan negara-negara kawasan Timur Tengah, dimana konflik dan intoleransi menjadi suguhan yang tiada henti dipertontonkan. Bahkan konflik dan ketegangan yang terjadi justru sesama komunitas muslim.
Maka ketika membaca tesis dari Samuel Huntington dan Francis Fukuyama yang menyebutkan, bahwa demokrasi tidak compatible dengan kehidupan empirik umat muslim, bisa saja dua akademisi ini berkaca dari ketegangan, konflik dan intoleransi yang terjadi di negeri belahan muslim tersebut.
Walaupun dalam kenyataannya, hal ini tidak semuanya benar. Sebab banyak juga negara-negara dimana umat muslim sebagai kelompok minoritas, juga terjadi berbagai tindakan intoleran dan anti demokrasi. Kita bisa melihat bagaimana kebijakan Donald Trump terhadap kelompok imigran Di Amerika Serikat. Kemudian kita bisa saksikan bagaimana kekerasan yang menimpa masyarakat Uighur di Tiongkok dan sebagainya.
Demokrasi memang bukanlah konsep Al Quran, namun banyak azas-azas demokrasi yang terkandung di dalam al Quran. Seperti keadilan (al Maidah: 8), penghargaan hak azasi manusia (al Isra: 70, Al Maidah 45), kejujuran (al Ahzab: 70), toleransi ( an Nahl: 125, Al Baqarah: 256) dan sebagainya. Oleh karenanya, sebagai masyarakat Muslim terbesar, Indonesia sangat bisa menjadi contoh dalam praktek berdemokrasi.
Akan tetapi belakangan ini, dengan dukungan media sosial yang begitu terbuka, terdapat kecenderungan yang kuat, praktek-praktek intoleran yang mengarah pada ekstremitas terjadi di tanah air. Baik ektremitas kiri (aliansi sekuler) maupun ektremitas kanan (aliansi relegius). Dimana, dua kelompok ini, sama-sama menempatkan Indonesia dengan cara berpikir ekstrem dan radikal.
Perilaku ingin menang dan benar sendiri, hukum tajam ke bawah, ketidakadilan, prilaku sweeping, anti dialog, kekerasan, saling hujat di berbagai media, seakan-akan menjadi potret buruk kita bernegara akhir-akhir ini. Sehingga terkesan dalam beberapa tahun belakangan ini, justru negara dan masyarakat disibukkan dengan kegaduhan demi kegaduhan.
Seakan tidak menemukan ujungnya, setiap aksi selalu muncul reaksi. Kadang tanpa disadari, pola reaksi terhadap bentuk aksi yang radikal dan ekstrem pun, juga dilakukan dengan cara-cara yang ekstrem pula. Lihat saja misalnya program pemberantasan gerakan radikalisasi di Indonesia. Pola yang dilakukan membuat program deradikalisasi sebagai kontra radikal. Dua pola ini, ujungnya sama-sama mempraktekkan prilaku radikal yang tidak menemukan titik solusi.
Oleh karenanya, gagasan briliant Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Dr Haedar Nashir sangat relevan menjawab fenomena ini. Dimana harus ada pola dan strategi baru untuk menghadirkan wajah keislaman dan keindonesian yang sejuk dan ramah, yaitu melalui pola dan pendekatan moderasi Islam dan keindonesiaan.
Moderasi Islam, adalah sebuah langkah mencari jalan tengah, dalam bentuk dialog dan musyawarah. Duduk sama rendah, berdiri sama tinggi, untuk menyelesaikan setiap persoalan kebangsaan yang terjadi. Moderasi juga pendekatan dengan pola mengkategorikan persoalan dengan cara case by case, dan bukan dengan mengenerasilisasi.
Tentu saja, gagasan ini menjadi gagasan penting yang harus dikampanyekan oleh para pemikir, aktivis sosial, pejabat pemerintahan dan semua masyarakat di tanah air. Maka untuk mendorong gagasan tersebut, Suara Muhammadiyah yang terlahir dari rahim organisasi modern, akan tampil sebagai pusat pemikiran bagi hadirnya moderatisme Islam dan keindonesiaan. Dengan harapan, agar Islam dan Indonesia, mampu hadir sebagai contoh sebuah bangsa yang mampu merangkai nilai-nilai keagamaan dalam membangun kehidupan yang luas.
Jika semua media terjebak pada perang narasi “radikalisme-antiradikalisme” tanpa berkesudahan, maka bangsa ini akan semakin kering dan kurang asupan pemikiran-pemikiran yang mencerahkan dan berkemajuan. Karenya, sebagai media tertua, Suara Muhammadiyah, akan menjadi tenda besar, untuk saling tukar gagasan dan pemikiran antar tokoh, akademisi dan pemimpin negeri ini. Demi hadirnya washatiyah Islam yang penuh dengan rahmat dan peradaban.
Landasan Historis
Jika belakangan istilah rating, viewers dan sejenisnya menjadi kosa kata baru untuk menunjukkan keberhasilan sebuah media berbasis online dan elektronik. Maka tidaklah demikian bagi Suara Muhammadiyah. Bagi media persyarikatan ini, indikator keberhasilan bukan saja semata-mata media ini dibaca atau dilihat, melainkan mampu hadir sebagai pencerahan yang meneguhkan nilai-nilai keberislaman dan kebangsaan kita.
Maka sejak mula terbitnya, Suara Muhammadiyah, selain konsisten menampilkan panduan, pedoman dan guideline dalam keberagamaan yang berkarakter washatiyah, sekaligus menghadirkan konten-konten yang menginspirasi bagi kemajuan masyarakat dan bangsa.
Munculnya kosa kata Indonesia pada majalah SM edisi tahun 1924, menjadi salah bukti media ini hadir sebagai sebuah media inspiratif. Walau kita mengenal istilah Indonesia itu sendiri pada saat Sumpah Pemuda 1928.
Bahkan pada tahun-tahun awal, media ini juga menjadi inspirasi dan supporting bagi lahir dan tumbuh kembangnya berbagai gerakan literasi. Seperti dukungan Suara Muhammadiyah kepada Media Oetusuan Indonesia yang dinakhodai oleh Sukiman & Muhammad Hatta, yang terbit pada tahun 1934, kemudian dukungan majalah SM atas lahirnya media perempuan pada tahun 1926, yang kemudian dikenal dengan nama ” Suara Aisyiyah”.
Tidak hanya itu, pada paroh abad kedua, majalah SM juga berperan dalam melahirkan banyak cendikiawan dan tokoh intelektual muslim, sebut saja misalnya AR Fakhruddin, Diponegoro, Amien Rais, Syafii Maarif, Din Syamsuddin, Haedar Nashir hingga banyak tokoh intelektual lainnya.
Begitu pula dalam aspek konten, tampak majalah SM memiliki karakter yang kuat sebagai media pencerahan. Kita bisa melihat pada tahun-tahun awal ( 1915), majalah SM sudah memuat perihal pengetahuan tentang bulan, bagaimana menentukan penanggalan, tentang ilmu kedokteran, serta sistem dan model pengajaran modern dan sebagainya, yang kemudian menginspirasi bagi kehidupan kala itu.
Upaya membangun pencerahan untuk memajukan kehidupan kebangsaan dan beragamaan, majalah SM pun (tahun 1957) tidak sungkan-sungkan menampilkan dialog dengan ilmuan barat, Jepang, kalangan nasrani, dan non muslim lainnya, dengan latar belakang keilmuan yang dimiliki.
Jejak digital keberadaan majalah SM ini, menjadi bukti bahwa sejak awal kelahirannya, media ini hadir sebagai media pencerahan dan media yang mampu menginspirasi banyak kebaikan dan perubahan. Oleh karenanya, karakter dan watak dasar ini, menjadi landasan yang kuat, bahwa majalah SM akan menjadi tenda besar bagi kemajuan Islam dan keindonesiaan, dengan watak moderasi dan wastahiyahnya.
Deni Al Asyari, Direktur Utama PT Syarikat Cahaya Media/ Suara Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM Edisi 2 Tahun 2021