Tahun Baru Sebagai Esensi Transisional
Oleh: Masud HMN
Refleksi akhir tahun perlu menjadi kesadaran kita, setidaknya bahwa pergantian tahun sebagai esensi transisional (perubahan). Tidak semata pergantian tahun. Melainkan ada substansi baru.
Untuk memberi sudut pandang pergantian tahun, ada Ayat al Quran Surah Ali Imran ayat 140 yang menyatakan,
Watilkal ayyamimi nudawiluha bainnn nas…….ila achiral ayah… Terjemahan bebasnya … dan kami edarkan masa di antara manusia.
Makna ayat ini mengandung arti yaitu adalah berintikan pergantian masa ynag berubah. Pada dasarnya hanyalah pergeseran bilangan yang tak serta-merta membawa substansi baru. Sungguh pun demikian pergantian tahun acap kali menjadi momen ritus transisional, dengan mengingat waktu yang berlalu tidak akan pernah kembali lagi.
Maka di sinilah ritus transisional itu penting. Yaitu, untuk menandai perpisahan dari masa lama sebelumnya ke situasi dunia baru. Sekaligus penandaan memasuki dunia baru dimaksud, yaitu tekad mengeluarkan yang buruk ke masa lalu, memasukkan yang baik ke masa depan. Sesuai masa beredar. Ibaratkan roda berputar sekali di atas dan sekali ke bawah.
Episode transisional memberi jeda untuk refleksi diri: dari mana kita bermula, di mana kita sekarang, dan hendak ke mana kita menuju. Adanya proses reflektif, kita bisa mengingat ulang dasar kelahiran, fitrah perjuangan, dan visi pengharapan bangsa ini sehingga kedatangan tahun baru bisa menjadi ajang untuk kelahiran kerja ulang semua kita dengan jiwa baru. Saat menapak tahun baru, di tengah bumi yang masih didakap pandemi, tekad pantang menyerah bangsa ini juga bisa menjadi Guidance Star (bintang penuntun) di tengah kegelapan.
Nampaknya Sejarah kemanusiaan dan bangsa Indonesia ini memberi pelajaran berharga bahwa krisis dan point perubahan itu berwajah ganda.
Sebutlah sebagai contoh satu sisi, berakhirnya Perang Dunia I, suasana kehidupan di Tanah Air ditandai oleh memburuknya kehidupan perekonomian akibat disrupsi perang, Kita mengetahui krisis industrial dan gagal panen waktu itu, juga bersamaan dengan cengkeraman pandemi influenza (flu spanyol), yang mulai merebak sekitar akhir Perang Dunia I (1918) hingga awal 1920-an, yang memakan korban kematian hingga 4,6 juta jiwa.
Di sisi yang lain, suasana tak menguntungkan tersebut membangkitkan semangat perjuangan emansipasi di kalangan kaum terpelajar Bumi Putera, baik yang mengenyam pendidikan di Tanah Air maupun di luar negeri. Meningkatnya kesadaran politik emansipatif kaum terpelajar itu dilihat pemerintahan kolonial Belanda sebagai penambah beban kesulitan ekonomi, yang harus ditumpas dengan rezim keamanan yang lebih represif.
Persoalan buruknya ekonomi, dan sikap rezim yang represif ini, jadi alat pemicu solidaritas kaum terjajah. Yaitu, membangkitkan semangat persatuan kebangsaan dengan Sumpah Pemuda sebagai monumennya, yang pada gilirannya membuka jalan bagi kemerdekaan Indonesia. Buruknya ekonomi dan rezim penjajah yang zalim, membawa hikmah. Intinya, Indonesia melangkah menempuh jalan baru yang baik.
Dalam perspektif sejarah Indonesia masa silam demikian ada keserupaan kehidupan kita masa memasuki tahun 2022. Kita mendapatkan hikmah pangkal keburukan kekuasaan (penjajah) bermula ketika orang lebih terobsesi ‘cinta kekuasaan’ (the love of power absolutely ) dan meneruskannya ketimbang menyerahkan atau membagi ‘kekuasaan untuk mencintai’ (the share power to love).
Dalam krisis yang membutuhkan kekuasaan yang lebih bertanggung jawab pada kebaikan hidup bersama, elite politik justru lebih mencintai kekuasaan yang melayani kepentingan diri dan golongannya sendiri. Demi kekuasaan yang melayani diri sendiri itu, mereka tak segan menjerumuskan rakyat ke dalam kobaran api permusuhan antar identitas yang membakar rumah kebangsaan menjadi puing-puing kesumat. Oleh karena itu, pada momen kelahiran kembali semua orang di tahun baru nanti, yang perlu kita hidupkan ialah kekayaan jiwa: kekuatan mencintai. Bahwa umur itu pendek, sedang kehidupan itu panjang.
Dalam kaitan ini, kita pantas untuk merenungkan peringatan Bung Hatta “Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya”. Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas ( 70 tahun Bung Hatta. : Meutia Hatta, l970, Jakarta) “ Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa”.
Saat memasuki tahun baru, berjibun masalah menghadang kita, namun kekuatan cinta akan membuat yang sempit menjadi lebar, yang pengecut menjadi pemberani, yang miskin menjadi kaya, yang kaya menjadi pemurah.
Konsep kemanusiaan Kekuatan cinta sesama memancarkan ketulusan berbakti meski tanpa jaminan popularitas dan imbalan kedudukan. Mari kita dengan kekuatan kebersamaan cinta, kita songsong masa depan dengan optimisme realistis. Meminjam Puisi Chairil Anwar, tak perlu sedu sedan itu, tak perlu terlalu kecewa dengan menangisi kegagalan. Selama matahari masih terbit di Timur.
Bukankah masih terbentang skenario alternatif, optimis menghadapi masa dengan kehilangan. Pada dahan yang patah akan tumbuh tunas baru.
Dalam spirit Seperti demikian,untuk mengakhiri essay ini Penulis mencoba mengutip kata Thomas Stearrns Eliot, (1888-1965) penyair utama abad 20 kelahiran St Louis , Misssouri , Amerika berucap lantang :
“Kata-kata tahun lalu milik bahasa tahun lalu, sedang kata-kata tahun depan menunggu suara yang lain dan mengakhiri sesuatu itu juga berarti menandai suatu permulaan.”
DR Masud HMN, Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (UHAMKA) Jakarta