Dengan Kapal Laut Berlayar Menuju Lokasi Kongres Muhammadiyah

Dengan Kapal Laut Berlayar Menuju Lokasi Kongres Muhammadiyah

Oleh: Muhammad Yuanda Zara

Di tahun-tahun awal berdirinya Muhammadiyah, mengadakan rapat umum (atau istilah di masa itu: vergadering) cukup dilakukan di tanah kelahirannya, Yogyakarta. Bagi anggota Muhammadiyah di kota ini, maupun di kota lain di Jawa bagian tengah, mencapai lokasi rapat tidaklah terlalu sulit. Ada sepeda dan kereta api yang bisa diandalkan. Seiring dengan perkembangan Muhammadiyah ke luar Jawa, terutama dengan dibawa dan diperkenalkannya organisasi ini ke Minangkabau pada pertengahan dekade 1920an, maka warga Muhammadiyah mesti pula memikirkan cakupan geografis yang jauh lebih luas dari sekedar Residensi Yogyakarta.

Berbagai kegiatan yang diselenggarakan organisasi ini kerap diadakan jauh di luar Yogyakarta. Konsekuensinya, untuk mencapai tempat jauh tersebut diperlukan sarana transportasi yang lebih representatif. Sementara di masa kini warga Muhammadiyah lebih banyak memakai jasa angkutan udara untuk mencapai tempat-tempat jauh dalam rangka muktamar atau tanwir, maka di masa kolonial dahulu akses ke luar pulau terutama sekali disediakan oleh kapal laut.

Dilihat dari sejarah panjang umat manusia, kapal merupakan salah satu sarana transportasi tertua dan paling banyak dipakai. Muka bumi didominasi oleh perairan, baik dalam bentuk laut, samudra, maupun sungai. Lingkungan geografis ini mendorong manusia untuk menciptakan sarana pengangkutan di air. Bentuknya beragam, mulai dari rakit, sampan, kapal layar, hingga akhirnya, seiring dengan lahirnya Revolusi Industri di abad ke-18, kapal uap. Kapal uap ini berperan penting dalam membawa manusia bergerak lebih jauh daripada sekedar desanya. Kapal ini memungkinkan orang menyeberang selat dan lautan untuk mencapai tempat hingga ribuan kilometer dari tempat tinggalnya.

Dalam sejarah Muhammadiyah, khususnya di masa kolonial, kapal laut mempunyai posisi penting. Sarana pengangkutan ini berperan untuk memudahkan para anggota kongres (muktamar) dari tempat-tempat yang sangat jauh, yang tidak bisa dicapai oleh kereta berkuda maupun kereta api. Tanpa kapal laut, bisa jadi kongres hanya bisa diadakan di Yogyakarta atau Pulau Jawa saja. Tapi dengan kapal laut, kongres praktis bisa diadakan di mana saja di seluruh Hindia Belanda yang ada rute kapal lautnya. Di samping berfungsi sebagai fasilitator ini, kapal laut membantu membangun sebuah kesadaran di tengah warga Muhammadiyah bahwa Muhammadiyah telah menjadi gerakan nasional dan lintas pulau.

Saat Muhammadiyah mengadakan kongres XVII tahun 1928 di Yogyakarta, ada peserta kongres yang datang dari Sumatera Barat dan Aceh. Mereka datang sekitar sepekan sebelum kongres dimulai. Hampir bisa dipastikan mereka datang ke Pulau Jawa dengan kapal api, kemungkinan dari pelabuhan Ulehle (kini: Ulee Lheue, Banda Aceh) dan pelabuhan Emmahaven (kini: Teluk Bayur, Padang) menuju Tanjung Priok di Jakarta. Perjalanan lalu dilanjutkan ke Yogyakarta dengan kereta api.

Foto Dok Pusdalit SM

Kedatangan peserta dari luar Jawa via kapal laut ini membantu meramaikan kongres tahun 1928 itu dan menjadi penanda keberhasilan Muhammadiyah menarik orang dari tempat yang sangat jauh untuk ukuran masa itu. Sebuah sumber kontemporer menyebut bahwa majalah berbahasa Jawa, Kajawen, pada edisi 3 Maret 1928 mengilustrasikan banyaknya peserta kongres yang datang sudah mirip gelombang besar yang naik ke daratan (“pepindhanipun ngantos kados ombaking seganten minggah ing dharatan”).

Tidak sulit pula untuk kemudian membayangkan bahwa dalam kongres pertama Muhammadiyah di luar Jawa (di Minangkabau tahun 1930), ada banyak peserta dari Pulau Jawa yang naik kapal dari Batavia ke Teluk Bayur. Kapal-kapal jarak jauh yang dipakai publik kala itu umumnya merupakan kapal yang dioperasikan oleh perusahaan maskapai pelayaran Belanda yang bernama Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM).

Pada 19-25 Juli 1934, Muhammadiyah kembali mengadakan kongres, kali ini di Yogyakarta. Keberhasilan kongres-kongres sebelumnya telah meningkatkan minat untuk datang ke kongres ini. Kapal uap jarak jauh memang diusahakan oleh perusahaan Belanda dan menjadi ikon kemajuan teknologi Barat, namun Muhammadiyah berusaha menaikkan daya tawarnya dengan mengajukan permintaan kepada KPM agar tidak hanya KPM yang mendapat untung besar banyaknya calon penumpang kapal yang menuju ke kongres Muhammadiyah.

Muhammadiyah dan para peserta kongres (congressisten) harus mendapat kemudahan pula dalam urusan kapal, khususnya perihal “bea pelajaran” (biaya pelayaran). Oleh sebab itu, pada tanggal 1 Juni 1934, Voorzitter Hoofdcomite Congres Muhammadiyah, M. J. Anis, dan sekretarisnya, M. Soepardi, mengirim sebuah surat pada Direktur KPM di Batavia. Isinya merupakan permintaan agar KPM memberikan “reductie” (korting) ongkos tiket pergi dan pulang (PP) kapal laut KPM yang akan mengangkut “passagier” (penumpang) calon peserta kongres Muhammadiyah.

Pelabuhan-pelabuhan yang dilayani KPM dan dari mana peserta kongres Muhammadiyah datang menunjukkan telah betapa luasnya jangkauan pengaruh Muhammadiyah hanya dua dekade setelah pendiriannya: pelabuhan Aceh, Sibolga, Padang, Benkoelen, Bintoehoen, Kroe, Oosthaven, Belawan-Deli, Asahan, Bagan Siapi-api, Bengkalis, Rengat, Palembang, Samarinda, Balikpapan, Kotabaroe, Bandjermasin, Sampit, Menado, Amoerang, Kwandang, Donggala, Makasser, Amboina, dan Boeton.

Dari pelabuhan-pelabuhan yang telah mewakili sebagian besar Indonesia ini para peserta kongres akan berlabuh di tiga pelabuhan di Jawa, yakni Batavia, Semarang, dan Merak. Banyaknya pelabuhan yang akan dipakai calon peserta kongres ini jelas merupakan peluang besar bagi KPM. Tidak setiap hari mereka mendapat lonjakan penumpang sebesar ini.

Seminggu setelah surat di atas, pihak KPM memberikan jawaban positif. KPM menerima permintaan Muhammadiyah dengan memberikan diskon sebanyak 25 persen untuk tiket PP kapal laut bagi para penumpangnya yang akan mengikuti kongres Muhammadiyah di Yogyakarta. Syaratnya mudah:

Pertama, Hoofdbestuur Muhammadiyah memberi keterangan siapa saja penumpang yang akan mengikuti kongres tersebut, dan kedua, bahwa korting tidak berlaku untuk rute “veerdienst”, yakni perjalanan PP Oosthaven (Telok Betong)-Merak. Tampaknya, nama besar kongres Muhammadiyah yang sudah beken ke mana-mana terlalu sulit untuk ditolak bahkan oleh KPM, yang pada masa kejayaannya merupakan perusahaan pelayaran terbesar di Hindia Belanda.

Muhammad Yuanda Zara, Sejarawan

Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2019

Exit mobile version