Masalah Klasik Umat Islam Indonesia (2)

Masalah Klasik Umat Islam Indonesia (2)

Oleh Prof Dr. H. Haedar Nashir, M.Si.

Pada rubrik Bingkai Suara Muhammadiyah edisi-6 yang lalu dipaparkan empat masalah klasik umat Islam. Berikut masalah lainnya yang melekat dengan umat Islam yang krusial. Kelima, Bias Radikalisme-Ekstremisme. Masalah radikalisme masih menjadi titik krusial dan kontroversial di Indonesia. Fakta menunjukkan masih terdapat perbedaan pandangan mengenai masalah “radikalisme” antara pemerintah dan golongan kebangsaan lain di satu pihak dengan elemen umat Islam di pihak lain, bahkan boleh jadi sesama golongan umat Islam pun masih terdapat perbedaan pandangan. Segenap kekuatan umat Islam penting mendialogkan dan menentukan titik pandang yang sama mengenai radikalisme-esktremisme di Indonesia, lebih-lebih yang dikaitkan dengan Islam dan umat Islam, termasuk di dalamnya mengenai program “deradikalisasi”.

Dalam UU nomor 5/2018 perubahan dari UU nomor 15/2003 dan  PP nomor 1/2002 tentang pemberantasan terorisme disebutkan. Pada bagian Ketiga Kontra Radikalisasi (Pasal 43C):  (1)Kontra radikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan terhadap orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal Terorisme yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebaran paham radikal Terorisme; (2)Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait; (3)Kontra radikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung atau tidak langsung melalui kontra narasi, kontra propaganda, atau kontra ideologi; (4)Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan kontra radikalisasi diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat Deradikalisasi (Pasal 43D): (1)Deradikalisasi merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal Terorisme yang telah terjadi; (2)Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan kepada: a.tersangka; b.terdakwa; c.terpidana; d.narapidana; e.mantan narapidana Terorisme; atau f.orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal Terorisme; (3)Deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah yang dikoordinasikan oleh badan yang menyelenggarakan urusan di bidang penanggulangan terorisme dengan melibatkan kementerian/lembaga terkait; (4)Deradikalisasi terhadap orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a sampai dengan huruf d diberikan melalui tahapan: a.identifikasi dan penilaian; b.rehabilitasi; c.reedukasi; dan d.reintegrasi sosial; (5)Deradikalisasi terhadap orang atau kelompok orang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan huruf f dapat dilaksanakan melalui: a.pembinaan wawasan kebangsaan; b.pembinaan wawasan keagamaan; dan/atau c.kewirausahaan; (6)Pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan berdasarkan identifikasi dan penilaian; (7)Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan deradikalisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Namun sampai batas tertentu bahwa pemikiran dan praktik yang berkembang  pemerintah dan didukung sejumlah pihak tentang Radikalisme-Terorisme  serta Kontraradikalisme dan Deradikalisme masih mengandung muatan bias dan reduksi. Umat Islam tampak sebagai objek, yang ditandai dengan kebijakan-kebijakan dan program “deradikalisasi” seperti tentang Majelis Taklim, Masjid terpapar Radikalisme, BUMN (masjid BUMN) terpapar radikalisme, PAUD terpapar radikalisme yang subjeknya diidentifikasi terkait Islam dan umat Islam. Tidak terdengar radikalisme-terorisme terkait golongan lain (primordialisme), separatisme, sebagaimana dengan kerusuhan di suatu daerah beberapa waktu lalu yang menewaskan 33 jiwa.

Apakah kejadian tersebut bukan tergolong terorisme atau separatisme yang mengandung teror serius? Tetapi pada saat yang sama terdapat  juga problem lain, di tubuh umat Islam tertentu tampak ada kecenderungan orientasi keislaman yang keras-ekstrem serta dalam beberapa kasus terorisme mengatasnamakan atau mengaitkan diri pada Islam, indikasi partisan dan simpati ISIS, dan sebagainya. Umat Islam perlu memiliki pandangan yang jelas dan tegas untuk menolak segala bentuk radikalisme-ekstremisme dan terorisme atasnama apapaun, termasuk yang menggunakan dalil dan pandangan keislaman. Jangan sampai praktik ekstrem dan teror dilakukan sebagian kalangan muslim dan dibiarkan karena ketidakjelasan sikap mayoritas muslim Indonesia.

Deklarasi Al-Azhar 2020 sangat tegas, progresif, dan terbuka. Muhammadiyah misalnya sebagai kekuatan Wasathiyyah memperjuangkan pemikrian dan strategi moderasi, bukan deradikalisas. Jika kekuatan Islam Wasathiyah benar-benar konsisten maka dirinya niscaya tampil dalam gerakan yang tengahan-moderat serta melakukan langkah-langkah moderasi dalam menghadapi radikalisme-ekstremisme, bukan tampil dengan paham dan orientasi yang radikal-ekstrem, lebih-lebih menjadikannya sebagai “proyek”. Majelis Ulama Indonesia yang mengusung “Wasathiyatul Islam” atau Islam yang wasathiyyah perlu di garis terdepan dalam menampilkan paham dan gerakan wasathiyah di Indonesia, yang niscaya bersikap tegas dalam menyikapi segala bentuk radikalisme-ekstremisme termasuk yang mengatasnamakan Islam. Sikap tegas juga berlaku untuk ekstrem-kiri yang liberal-sekular, dengan catatan khusus kelompok tengah pun jangan ekstrem-tengah yang memproduksi ekstremitas tertentu.

Keenam, Ukhuwah Islamiyah. Konsep teologis tentang Ukhuwah di kalangan umat Islam sangat jelas dan tegas. NU bahkan mengembangkan konsep Ukhuwah Islamiyah, Wathaniyah, Insaniyah/Basariyah. Persoalannya bagaimana di tubuh umat Islam sendiri ukhuwah Islamiyah itu dibangun dan diwujudkan secara autentik sebagaimana saudara. Problem ukhuwah Islamiyah masih sering terinterupsi oleh perbedaan paham keagamaan terutama dari “arus baru” yang sering dikenal “Islam transnasional” dan harakah-harakah baru yang cenderung “keras”. Demikian halnya dengan otientasi paham ideologis yang cenderung “liberal-sekuler” yang sering berhadapan secara diametral dengan pandangan keislaman —istilah Olivier Roy— “neo-fundamentalis”, yang sering terlibat dalam banyak perbedaan dan konflik paham yang sangat keras satu sama lain. Khusus dalam politik umat Islam masih cenderung sendiri-sendiri (ananiyah hizbiyah), apalagi kalau menyangkut kue kekusaan, sehingga ukhuwah Islamiyah berhenti sebatas retorika atau kata-kata. Persoalan-persoalan krusial keislaman ini penting diselesaikan di tubuh umat Islam Indonesia.

Ketujuh, Kedhu’afaan Ekonomi Umat. Umat Islam meski mayoritas secara jumlah tetapi minoritas secara kualitas, salah satu faktor dan kelemahan utamanya ialah dhu’afa dalam ekonomi. Menurut DR Jusuf Kalla di sejumlah kesempatan, bahwa  dari 100 orang kaya hanya sekitar 10 orang Islam, sebaliknya dari 100 orang miskin terdapat 90 orang Islam. Umat Islam tidak akan kuat secara politik dan budaya maupun peran strategis lainnya jika lemah secara ekonomi. Pepatah Arab menyatakan, faaqid asy-syaiy laa yu’thi, pihak yang tidak memiliki sesuatu maka tidak mungkin memberi sesuatu. Umat Islam harus memiliki kekuatan ekonomi “tangan di atas” (yad al-‘ulya) dan tidak tangan di bawah (yad al-sufla). Dalam teori oligarki politik Jeffry Winters, siapa yang menguasai sumberdaya ekonomi maka merekalah yang menguasai politik dan negara. Mana mungkin umat Islam Indonesia dapat mengekspor Islam rahmatan lil-‘alamin atau Islam moderat ke mancanegara jika di negeri sendiri masih dhu’afa secara ekonomi, mentalitas, ilmu pengetahuan dan teknologi, yang tangannya masih di bawah. Umat Islam Indonesia di negeri sendiri boleh jadi belum menjadi fa’il dan lebih banyak menjadi maf’ul-bih.

Sumber: Majalah SM Edisi 7 Tahun 2020

Exit mobile version