Oleh: Sudibyo Markus (Pendiri Indonesian Institute for Social Development)
1952-1954, rombongan mahasiswa Harvard itu riset di Pare
Saya kelas tiga Sekolah Rakyat, disingkat SR pada waktu itu, kini disebut Sekolah Dasar atau SD, di kota kecamatan Pare, 24 km di arah timur Kediri, ketika rombongan dua belas mahasiswa doktoral Universitas Harvard itu datang ke kota kelahiran saya tahun 1952. Mereka dikirim oleh Massachussets Institute of Technology (MIT) untuk mengadakan penelitian doktoral mereka di bidang antropologi, dibawah pimpinan mereka Prof. Rufus S. Hendon.
Mereka tinggal tersebar di kota Pare, ada yang tinggal bersama keluarga, ada yang mengontrak rumah. Prof. Hendon tinggal di Jl. Slamet, persis “adu punggung” dengan tempat tinggal keluarga saya di Jl. Pulosari. Seorang mahasiswa dari Chapaqua, Donald R. Fagg tinggal bersama keluarga saya. Suami isteri Clifford Geertz dan isterinya Hilderd Geetz, yang juga mahasiswa, menyewa rumah disamping RS HVA di Jl. Jombang. Alice Dewey yang belakangan menjadi gurubesar di East West Center Hawai tinggal di rumah Pak Lurah Semanding di pinggir timur kota Pare.
Mengapa kota Pare yang mereka pilih?
Pertanyaan tersebut tentu tidak pernah terlintas di pikiran kita waktu itu. Pokoknya senang ada serombongan “mahasiswa bule” tiba-tiba menggeruduk kota kecil kita. Tiap hari kita ketemu mereka naik sepeda, menuju obyek penelitian mereka masing-masing. Seperti Alice Derwey yang meneliti pasar, Robert Ryan yang meneliti kehidupan keturunan Tionghoa. Cliffortz Geertz yang rajin mengikuti kehidupan masyarakat di kampung-kampung, meneliti agama dan kepercayaan masyarakat. Hilderd Geertz meneliti pendidikan, sehinga pernah mengundang saya dan kakak saya, sesama siswa SR ke rumahnya, untuk diberikan test. Katanya thematic apperception test, dimana kepada kita masing-masing diberikan 12 gambar, dan kita diminta cerita tentang gambar tersebut selama lima belas menit per gambar.
Baru belakangan ketika pada tahun 1954 mereka selesai dan kembali ke Amerika, kami mencoba “mereka-reka” mencari jawab, bagaimana mereka bisa “tunjuk hidung” atau “laser pointing” memilih kota kecil Pare, di kaki Gunung Kelud itu sebagai obyek studi berbagai kajian antropologi mereka.
Sampai hari ini kami tak pernah mendapat jawaban dari fihak yang kompeten di Indonesia, apalagi dari kampus mereka, Universitas Harvard, yang belakangan baru kami tahu, merupakan salah satu kampus unggulan di Amerika. Yang penting kami bangga, bahwa kota kecil kami mendapat kunjungan sebagai obyek studi dari Universitas Harvard.
Kami beranggapan bahwa Pare dipilih, karena dianggap sebagai “batas budaya” antara peradaban Modjopahit yang berbasis Hindu dengan Mataram yang berbasis Islam. Walau kini batas budaya tersebut tidak “hitam putih” benar-benar terpisah, tapi tetap dapat dipilah, mana yang asli budaya Modjopahit dan mana budaya Mataram.
Sebagaimana daerah Jawa Timur lain, pesantren tersebar di banyak desa. Tapi di luar pesantren tersebut, masyarakat desa setempat masih menganut apa yang disebut Geertz sebagai kaum abangan. Tradisi selamatan dari sejak upacara kelahiran hingga upacara selamatan atau peringatan kematian erat di masyarakat.
Buku Geertz, kajian Agama Jawa yang fenomenal
Ketika buku hasil penelitiannya di Pare tersebut diterbitkan oleh MIT pada tahun 1960 dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Pustaka Jaya pada 1985, dengan judul Agama Jawa, Santri, Abangan dan Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, tak ayal lagi timbul diskursus, pro an kontra atas klasifikasi antara varian santri, varian abangan dan varian agama priyayi tersebut. Karena ketiganya mencerminkan penggolongan masyarakat yang berbeda. Varian santri dan varian abangan merupakan varian keagamaan, sementara priyayi bukan merupakan varian keagamaan, melainkan varian atau strata sosial.
Namun Prof Harsya W. Bachtiar, dalam lampirannya di buku terjemahan ke bahasa Indonesia edisi ke tiga tahun 2017 memberikan klarifikasi bagaimana Geertz memaknai bahwa di kalangan priyayi juga terdapat santri priyayi seperti yang terjadi dengan bangsawan-bangsawan Jawa seperti Pangeran Diponegoro dan Sultan Agung sendiri, di samping priyayi ”tradisional” yang tetap sebagai priyayi abangan.
Prof. Harsya W. Bachtiar mengucapkan terima kasih atas sumbangan pemikiran kreatif dan memperkaya kajian di bidang sosiologi agama di Indonesia dari Prof. Clifford Geertz, yang digalinya dari kota kecamatan kecil Pare yang hanya berpenduduk 200.000 jiwa waktu itu.
Begitu fenomenalnya hasil penelitian Clifford Geertz tersebut, sehingga Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS) sebuah lembaga kajian di Singapore dalam Sojourn Journal nya volume 24, number 3 tahun 2009 melaporkan, bahwa buku Geertz tersebut disebut dipilih sebagai The Most Influential Books of Southeast Asian Studies.
Sungguh ketajaman “mata elang”, kejelian seorang Clifford Geertz yang dapat menemukan fenomena sosial keagamaan dari sebuah kota kecil yang hanya berpenduduk 200.000 jiwa.
Merawat peradaban Nusantara
Sangat kita kagumi kejelian mata elang Universitas Harvard dan Massachussets Institute of Technology (MIT) dalam memilih Modjokuto, sebagai lokasi untuk fokus studi mereka. Selama dua tahun Clifford Geertz dengan cermat mengadakan pengamatan anthropologisnya di daerah yang dianggap “batas budaya” antara dua peradaban nusantara yang berbasis Hindu, kerajaan Modjopahit, dan berbasis Islam, kerajaan Mataram, Geertz telah melakukan semacam “biopsi anthropologis” terhadap kehidupan keagamaan masyarakat Jawa pada tahun 1952-1954 tersebut sebagai bagian dari sejarah peradaban nusantara.
Karena sebenarnya kalau kita runut lebih jauh sejarah panjang nusantara sejak kerajaan Mataram Kuno era Raja Sanjaya (732 M) dengan kerajaan Medangnya di Jawa Tengah, hingga runtuh dan dipindah oleh Mpu Sendok ke Jawa Timur (929 M), sejarah nusantara menunjukkan toleransi yang tinggi antara umat Hindu dan Budha sebagaimana bisa disaksikan kedekatan candi-candi mereka. Kemudian berlanjut dengan kerajaan Kahuripan, Jenggala, Kediri, Singasari, Modjopahit, Demak, Jipang, Pajang, hingga timbulnya Mataram Islam yang dimulai pada akhir abad ke tiga belas.
Pertimbangan memilih kota Modjokuto sebagai “batas budaya” oleh Universitas Harvard tentu memiliki dasar kajian yang matang, mengingat Modjokuto sebagai kota santri, abangan dan priyayi masih sangat kuat memberikan ilustrasi keberagaman budaya yang sudah diuji perjalanan sejarah Mataram kuno hingga Modjopahit yang berbasis Hindu-Budha hingga Mataram Islam.
Di Modjokuto bisa ditemui rumah-rumah joglo model Mataram kuno. Bahkan persis di pertigaan di tengah kota Modjokuto, terdapat beringin tua dengan patung Ganesha simbol Budha di bawahnya yang dipanggil Mbah Budho oleh masyarakat Pare, dan hingga kini masih ada yang mengkeramatkan dengan terkadang mengirim sesaji makanan (biasanya “ingkung ayam”) dengan menyerahkan kepada juru kunci untuk dibagi.
Anehnya, di Kecamatan Pare, hanya lima kilometer ke barat kearah Kediri, sehabis desa Bendo yang dikenal sebagai desa pesantren, terdapat desa Sambirejo yang seluruh warga desanya beragama Kristen Jawa. Padahal Desa Kristen Jawa Sambiredjo ini jauh terpisah dari daerah kantong Kristen Jawa di daerah Modjowarno, antara Jombang-Modjokerto.
Sesungguhnya, Modjokuto dipilih oleh Universitas Harvard dan MIT, karena kota kecil ini telah mengajarkan kita, sudah teruji dan berhasil merawat kerukunan kehidupan multikultural dan toleransi yang mengagumkam selama beratus tahun, di sepanjang perjalanan sejarah dari Mataram kuno, Modjopahit hingga Mataram Islam dan di jaman kemerdekaan, hingga hari ini.
Clifford Geertz telah membukakan mata hati kita akan keanekaragaman budaya yang harus terus kita jaga dan kembangkan.
Inilah Modjokuto, yesterday, today and tomorrow
Kota Pare, kampung halaman saya yang berjarak 24 km di sebelah timur Kediri, dan 28 km di selatan Jombang ini sulit diketemukan dalam peta. Orang lebih mengenal Pare Pare di Sulawesi Selatan. Kalau Clifford Geertz tak pernah datang kesana bersama rombongannya pada tahun 1952, nyaris tak seorangpun kenal kota Pare yang disamarkan namanya menjadi Modjokuto tersebut.
Walau merupakan titik temu dari empat jalur Malang-Pare, Jombang-Pare, Blitar-Pare dan Kediri-Pare, kota ini yang hanya berjarak kurang dari dua kilometer dari ujung keujung, memang praktis tak berkembang sejak saya tinggalkan untuk kuliah kedokteran di Unversiyas Gajah Mada Jogyakarta tahun 1961. Kota ini hanya memiliki beberapa Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) sampai tahun 1970, sampai berdiri SMA Swasta yang kemudian di negerikan.
Memang sejak dari awal kemerdekaan, Kantor Polisi Resort (Polres) dan RSUD Kabupaten Kediri berada di Pare, tapi praktis kota ini tak berkembang dan berubah statusnya dari kota Kecamatan, sehingga kenyataannya pembangunan infratruktur kota baru juga nyaris tak terjadi, kecuali pembangunan Mesjid Raya nya di Jl. Kediri.
Beruntung sejak tahun 1976, atas inisiatif Kyai Ahmad Yazid, seorang Ustad yang menguasai delapan bahasa asing dan tinggal di belakang RS HVA, hanya beberapa ratus meter dari tempat tinggal Clifford Geertz, bertemu dengan seorang santri asal Kalimantan Timur bernama Kallen Osein, jebolan pesantren Gontor, yang berhasil mengembangkan Kampung Inggris Pare, yang kini menjadi ikon baru kebanggaan kota Pare.
Desa-desa Tulungredjo dan Pelem di pinggir barat kota Pare kini menjadi basis kursus Inggris luar sekolah yang tersistem dengan baik dalam belajar bahasa Inggris, sejak belajar vocabulary, speaking dan grammar, sehingga tidak saja menarik siswa-siswa dari seluruh pelosok nusantara, tapi bahkan juga siswa dari Timor Leste, Malaysia dan Thailand.
Trem kereta api uap, wahana peradaban kota Pare itu telah ditutup
Bersyukur antara Kediri-Pare-Jombang pada tahun 1950 itu dihubungkan oleh trem, kereta api uap kecil sebagai jalur perifer menuju jalur KA Cepat di Kediri dan Jombang. Atas jasa kereta api uap kecil, trem atau “sepur trutuk” itulah kita generasi muda Pare , termasuk saya, dibantu untuk dapat menuntut ilmu ke kota Kediri, yang berjarak 24 km. Dengan trem itulah selama enam tahun kami tiap hari harus ke Kediri untuk melanjutkan pendidikan ke SMP dan SMA Negeri di Kediri.
Trem jurusan Pare – Kediri berangkat tepat jam 05.00 pagi, dan tiba di Kediri jam 07.00 pagi, tepat waktu untuk berjalan cepat dari stasiun Kediri ke sekolah kita masing-masing. Sehingga praktis perjalanan sejauh 24 km dan ditempuh selama hampir dua jam, karena KA harus berhenti di setiap jarak dua kilometer untuk “memungut” pelajar-pelajar abonemenan itu. Kemudian jam 15.00 kita kembali ke Pare, dan tiba jam 17.00 sore. Itulah perjuangan mengejar peradaban yang harus kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan pendidikan di kota Pare.
Sayang karena perkembangan tehnologi transportasi membuat trem uap kami tersebut tak bisa bersaing dengan kemajuan otomotif, sehingga perjalanan dan kontribusi bagi peradaban trem uap historis tersebut harus di akhiri dan ditimbun pada tahun 1970.
Tanda Terima kasih saya ke Geertz dan Unversitas Harvard
Ketika Prof James Peacock yang juga alumni Universitas Harvard yang menyelesaikan disertasi PhD nya tentang ludruk di Surabaya pada awal 1960-an sedang mempersiapkan penterjemahan buku saya DUNIA BARAT DAN ISLAM (PT Gramedia, 2019) ke dalam bahasa Inggris, cukup lama beliau mencari penerbit mana yang sesuai dan bersedia menerbitkan Edisi Inggris buku saya tersebut. Sekitar dua bulan kesulitan mencari penerbit, sampai akhirnya Prof. Peacock mendapat saran dari koleganya, Prof. William Graham, gurubesar Islamologi dan mantan Direktur Harvard Divinity School (2002-2012), agar buku diterbitkan oleh Fons Vitae Publishing House di Louisville, Kentucky, karena penerbit tersebut banyak menerbitkan buku-buku tentang world religions, hubungan antar agama atau interfaith, bahkan banyak menterjemahkan buku-bukunya Al Ghazali.
Prof. William Graham sangat antusias begitu diberitahu bahwa penulis buku DUNIA BARAT DAN ISLAM, Sudibyo Markus adalah warga Modjokuto, dimana dua belas mahasiswa Doktoral dari Harvard pernah studi disana pada th 1952-1954. Bahkan Sudibyo Markus kenal baik dengan Clifford Geertz dan isterinya Hilderd Geertz. Ternyata nama Modjokuto sangat berkesan, dihormati dan tetap dikenang oleh para senior di Universitas Harvard.
Sayapun tak kalah bangga, bahwa penerbitan buku saya dalam bahasa Inggris, ISLAM AND THE WEST Reenvisaging A Global Humanity oleh penerbit Fons Vitae di Lousiville tersebut, saya anggap sebagai balas jasa masyarakat Modjokuto terhadap jasa besar Prof. Geertz dan Universitas Harvard yang telah mengangkat nama kampung Modjokuto ke ranah internasional, bahkan telah memperkaya kajian sosiologi agama di Indonesia. Walaupun Buya Syafii Ma’arif menyebut buku saya DUNIA BARAT DAN ISLAM sebagai “buku dahsyat”, tapi saya sadar, tak sedahsyat buku Clifford Geertz yang disebut The Most Influential Books of Southeast Asian Studies oleh Institute of Southeast Asia Studies (ISEAS) di Singapore pada tahun 2009.