Wabah Penyakit Pada Masa Turki Usmani dan Penanggulangannya

turki

Ilustrasi Dok BBC

Wabah Penyakit Pada Masa Turki Usmani dan Penanggulangannya

Oleh: Azhar Rasyid

Berbicara mengenai wabah penyakit yang menimpa masyarakat, orang biasanya akan langsung teringat dengan apa yang dikenal sebagai Black Death (Maut Hitam). Menghantam Eropa antara tahun 1347 hingga 1351, Black Death menyebabkan kematian sekitar 25 juta orang Eropa kala itu. Jumlah ini kurang lebih setara dengan sepertiga total jumlah penduduk Eropa pada kala itu, dan dipandang sebagai jumlah kematian tertinggi akibat wabah penyakit yang dialami manusia hingga saat itu.

Sementara di Eropa Black Death merupakan salah satu wabah terburuk sepanjang sejarahnya yang banyak menimbulkan korban, dunia Islam dan Arab pernah pula dihantam oleh berbagai wabah penyakit. Menurut Michael Walter Dols dalam The Black Death in the Middle East (1977), para sejarawan Islam menyebut bahwa wabah paling awal dalam sejarah Islam ialah apa yang dikenal sebagai ‘wabah Shirawayh’, yang terjadi pada tahun 627-628 M di Madain (Ctesiphon), sebuah kota metropolitan kuno yang berlokasi di Irak.

Nama wabah ini merujuk pada nama raja dinasti Sasaniyah yang memerintah di Iran, Raja Siroes (Kobad II), yang memerintah sejak tahun 628. Sang raja hanya memerintah kurang dari satu tahun, karena pada tahun 629 ia tutup usia terkena wabah penyakit yang timbul mulai akhir musim panas tahun 628 itu. Wabah itu tersebar dari Irak hingga ke sisi barat wilayah kekuasaan Sasaniyah dan membuat ribuan penduduk Sasaniyah kehilangan nyawanya.

Wabah-wabah lain yang muncul selepas itu antara lain ialah ‘wabah Yezdigird’ (dinamai seperti nama raja Sasaniyah terakhir, Raja Yezdigird II, yang memerintah dari tahun 634-642) dan ‘wabah ‘Amwas’ (diambil dari nama sebuah desa di Palestina) yang terjadi tujuh tahun selepas Nabi Muhammad SAW wafat, tepatnya di tahun 639 (ketika kekuasaan politik Islam berada di tangan Kalifah Umar bin Khatab), dengan sebaran mencapai daerah-daerah antara Suriah dan Arabia serta Mesir dan Irak, dan dengan korban mencapai angka antara 25.000-30.000 jiwa.

Ada pula ‘wabah al-Jarif’ di Basrah, Irak, pada 688-689, dengan korban mencapai 200.000, yang meninggal hanya dalam waktu tiga hari berturut-turut. Wabah ini disebut-sebut menyapu Basrah ‘seperti banjir’ dan bahkan ikut menjangkiti orang-orang Badui yang nomaden dan tinggalnya terpencar-pencar di gurun pasir.

Beberapa abad selepas wabah Black Death, sejumlah wabah muncul di Turki, salah satu pusat politik dunia Islam yang kala itu berada di bawah kekuasaan orang-orang Usmani. Wabah-wabah ini terjadi dalam skala desa dan kota. Beberapa wabah di masa Turki Usmani yang tercatat dalam sejarah adalah wabah di Damaskus (pertengahan abad ke-16), wabah di Erzurum (1577), wabah di Aleppo (1718), pandemi di Acre dan sekitarnya (1760-1762) dan epidemi di Tunis pada tahun 1720an.

Yaron Ayalon dalam Natural Disasters in the Ottoman Empire: Plague, Famine, and Other Misfortunes (2015) mengemukakan berbagai cara yang dilakukan pemerintahan Turki Usmani, baik di level pusat, maupun para gubernur dan penguasa lokal lainnya, untuk mengatasai wabah itu. Ada beberapa tindakan vital yang diambil. Pertama, mencegah penyebaran lebih luas wabah itu. Belajar dari penyebaran luas wabah Black Death, yang bermula dari Asia Tengah (pendapat lain mengatakan dari Cina), yang kemudian tersebar hingga ke Turki, dan lalu menyeberang hingga ke Eropa, maka dapat dikatakan bahwa pergerakan manusia melintasi batas-batas desa atau kota merupakan faktor penting yang membuat wabah tersebar.

Maka, ada beberapa langkah penting yang diambil oleh penguasa Usmani, khususnya di tingkat provinsi dan kota, dalam rangka menghentikan penyebaran wabah-wabah penyakit ini. Tindakan ini diambil baik karena perintah dari pusat, inisiatif pemimpin lokal, maupun dengan mengambil contoh dari usaha-usaha yang sama yang dilakukan di Eropa kala itu. Yang pokok adalah dengan melakukan karantina, baik dengan perintah penguasa maupun dengan memberi contoh.

Karantina antara lain dilakukan di saat pandemi di Acre tahun 1760an. Saat itu, gubernur Usmani di kota itu memerintahkan dilakukannya karantina kepada semua pedagang yang datang ke kota itu. Barang-barang yang mereka bawapun tak luput dari karantina. Selama delapan hari mereka tidak diperbolehkan keluar dan berinteraksi dengan masyarakat setempat. Sementara itu, gubernur yang berkuasa di Aleppo, mengarantina dirinya sendiri di bentengnya sebagai tindakan pencegahan agar tidak tertular wabah yang terjadi di wilayahnya pada tahun 1718.

Dalam kasus wabah-wabah lainnya, otoritas kota setempat bahkan melacak riwayat perjalanan orang-orang yang dikarantina guna memastikan apakah sebelum sampai di kota itu mereka pernah melalui daerah yang terjangkiti wabah. Tindakan lain yang diambil ialah mengarantina kapal-kapal yang bersandar di pelabuhan untuk mencegah penularan dari luar ke dalam kota. Bagi korban yang meninggal dunia akibat wabah, maka jenazahnya harus dimakamkan di luar tembok kota guna mencegah penyebaran penyakit pada warga kota.

Langkah kedua yang dilakukan penguasa Usmani dalam rangka merespon penyebaran wabah adalah mengurangi penderitaan masyarakat akibat wabah tersebut. Wabah menyebabkan orang jatuh sakit bahkan meninggal, rumah dan desa ditinggalkan, pekerjaan terbengkalai, dan berujung pada ekonomi yang memburuk. Dampaknya pada individu dan keluarga sangat jelas. Otoritas Usmani mencari berbagai cara untuk mengatasi problem ini.

Kelangkaan makanan saat terjadi wabah adalah suatu hal yang menjadi perhatian penguasa yang wilayahnya terkena wabah. Pada saat terjadinya wabah ‘Amwas di abad ke-7, dipercaya bahwa salah satu hal yang membuat banyaknya korban adalah bencana kelaparan yang terjadi ketika wabah itu datang. Kelaparan membuat kondisi fisik manusia melemah dan membuatnya mudah terjangkit penyakit.

Di sisi lain, ada pula wabah yang menyebabkan terjadinya kelaparan, mengingat orang berhenti mengolah tanahnya dan memilih melarikan diri dari wabah. Alhasil, stok makanan menipis dan masyarakat pun tidak bisa lagi makan dengan normal. Maka, dalam mengatasi daerah yang dilanda wabah, salah satu langkah yang diambil pemerintah Usmani adalah dengan mengirimkan gandum dari wilayahnya yang mempunyai kelebihan pangan ke daerah-daerah yang terkena wabah. Pengiriman ini dilakukan via laut.

Ketiga, mencegah dampak lanjutan dari wabah. Wabah memang menyebabkan tubuh menjadi sakit, dan dalam kasus yang serius dapat menghilangkan nyawa. Tapi, itu tidak berarti wabah hanya berkaitan dengan soal penyakit. Ada berbagai dampak sosial yang muncul lantaran wabah. Salah satunya adalah desa-desa yang ditinggalkan penghuninya. Penduduk melarikan diri ke tempat lain yang lebih aman dan mengosongkan kampung mereka.

Ini bisa dilihat dari beberapa kasus yang terjadi, seperti pada saat terjadinya wabah pada tahun 1570an di sejumlah desa di Istanbul dan di kawasan Erzurum. Desa yang kosong bukan hanya membuat aktivitas sosial dan ekonomi di desa itu lumpuh, tetapi bahkan memancing tindak kriminal. Ada di antara desa-desa yang kosong itu yang didatangi para penjahat. Oleh sebab itu, penguasa Usmani meminta agar warga kembali dan desa bisa dihuni lagi, dan dengan demikian kehidupan bisa berjalan dengan normal.

Terakhir, yang tak kalah krusialnya ialah melakukan usaha-usaha lanjutan agar di masa depan kemunculan wabah bisa dicegah atau penyebarannya bisa dihentikan. Yang paling penting di sini adalah memastikan kebersihan di tempat publik yang akan berguna untuk meningkatkan taraf kesehatan masyarakat serta mencegah datangnya binatang pembawa virus yang berkembang biak di tempat-tempat kotor. Dua binatang yang dianggap sebagai pembawa virus kala itu adalah kucing dan tikus.

Usaha preventif ini bisa dilihat dari inisiatif yang diambil di Istanbul pada pertengahan abad ke-16. Proyek pekerjaan umum yang dilakukan salah satunya ditujukan guna meningkatkan kesehatan publik, misalnya dengan pembersihan jalan, selokan dan kanal serta penyediaan tempat-tempat yang didesain sebagai tempat menerima dan mengolah sampah. Bahkan, yang dilawan di Aleppo pada abad ke-18 bukan hanya virus tetapi juga bau busuk di jalan. Jalan-jalan dibersihkan agar wangi karena diyakini bahwa bau busuk, dan terutama sekali penyebabnya, baik sampah maupun binatang, akan memudahkan kemunculan dan penyebaran penyakit.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2020

Exit mobile version