Oleh: Mardliyah, Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
“Demi Allah, aku tidak pernah memperoleh pengganti
yang lebih baik daripada Khadijah. Ia yang beriman kepadaku
ketika semua orang ingkar. Ia yang mempercayaiku
tatkala semua orang mendustakanku. Ia yang memberiku harta
di saat semua orang enggan memberi. Dan darinya aku
memperoleh keturunan – sesuatu yang tidak kuperoleh dari
isteri-isteriku yang lain” (HR Ahmad).
Saking pentingnya fungsi kisah, Allah menurunkan satu surat yang dinamakan dengan surah Al-Qashash; kisah-kisah. Menurut Ath-Thahir (2017), penulis buku “Shahih qashashil Qur’an” (Kisah-kisah dalam Al-Qur’an), umat manusia ditakdirkan untuk memulai sejarahnya sejak awal kehidupan manusia pertama ketika Adam As. diciptakan dan diturunkan ke bumi. Dari sinilah muncul gagasan pertarungan antara yang hak dan batil, antara kebaikan dan keburukan; kebaikan yang diwakili oleh risalah-risalah samawi, dan keburukan yang diwakili oleh sikap mengikuti hawa nafsu dan kebatilan.
Pertarungan ini mengisi lembah-lembah sejarah sesuai ukurannya, lalu muncullah rentetan peristiwa-demi peristiwa yang saling terkait satu sama lain tanpa ada satu pun peristiwa yang terlepas darinya. Bahkan, rentetan peristiwa ini menjelma dalam tumpukan bangunan, yang setiap batu bata dalam bangunan sejarah yang bertumpu kepada kenabian itu mencerminkan satu peristiwa sejarah, sehingga setiap masa tidak pernah terlepas dari keberadaan para nabi dan rasul, sampai ditutup oleh Nabi Muhammad Saw. “Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami mengutusmu untuk menjadi saksi, pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan; dan untuk menjadi penyeru kepada (agama) Allah dengan izin-Nya dan sebagai cahaya yang menerangi. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang mukmin bahwa sesungguhnya mereka akan diberi karunia yang besar dari Allah” (QS Al-Ahzab [33] ; 45-47).
Masa kini tidak lain adalah anak sah dari masa lalu, dan Islam tidak lain adalah fase terakhir pemakmuran bumi, serta risalah yang petunjuk umat manusia mencapai titik kesempurnaan di dalamnya. Oleh karena itu, kisah-kisah orang terdahulu patut direnungkan dan menjadi bahan pelajaran. Memang benar kisah “Romeo and Yuliet” ini tidak tercantum di dalam Kitab Suci Al-Qur’an. Namun beliau sang Nabi Saw. dikenal sebagai “The living Qur’an”. Maka sudah sepatutnya umat Islam belajar dari salah satu kisah hidupnya.
Nabi Muhammad Saw. menegaskan bahwa cinta berada dalam kuasa Allah : “Inilah kesanggupanku (menerapkan keadilan dalam bidang non-cinta terhadap isteri-isteriku). Maka, janganlah tuntut aku (menyangkut keadilan cinta) yang menjadi milik dan wewenang-Mu dan bukan dalam kemampuanku”. (Diriwayatkan oleh pengarang kitab Sunan melalui Aisyah Ra) (Shihab, 2018).
Sayyidina Ali Ra. melukiskan Nabi sebagai: “Beliau adalah orang paling terbuka tangannya untuk memberi, yang paling berani hatinya menghadapi bahaya, paling benar dalam ucapannya, paling setia memenuhi janjinya, paling lemah lembut budinya, paling baik pergaulannya. Siapa yang melihat sepintas, dia merasakan wibawanya dan siapa yang telah bergaul lama dengannya, dia akan mencintainya”. Itulah sedikit gambaran tentang Muhammad Saw. yang tidak mungkin dapat dilukiskan kepribadiannya secara utuh. Sungguh tepat Iman Al-Bushiri dalam Burdah-nya ketika menyatakan: “Batas pengetahuan tentang beliau adalah beliau seorang manusia dan bahwa beliau adalah sebaik-baik makhluk Allah seluruhnya”. Di samping itu, perlu dicatat bahwa riwayat-riwayat berbeda tentang usia Muhammad dan Khadijah ketika mereka menikah. Yang populer adalah Muhammad Saw. berusia 25 tahun dan Khadijah 40 tahun. Tetapi ada riwayat yang menyatakan beliau menikah dengan Khadijah dalam usia tiga puluh tahun dan Khadijah 35 tahun. Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Khadijah ketika itu berusia 28 tahun, tetapi ini diriwayatkannya tanpa sanad (rentetan perawi). Perkawinan mereka dikaruniai 2 putera, Al-Qasim dan At-Thayyib/At-Thahir; 4 puteri, Ruqayyah, Zainab, Ummi Kultsum dan Fathimah (Shihab, 2018).
Sejarah Singkat Khadijah
Menurut Umar (2017), dia si wanita kaya adalah Khadijah binti Khuwailid ibnu Asad ibnu ‘Abdil ‘Uzza ibnu Qushay. Pada nama Qushay, kakeknya yang keempat, nasabnya Khadijah bertemu dengan Rasulullah Saw. Ibu Khadijah bernama Fatimah binti Za’idah. Nenek Khadijah dari pihak ibu bernama Halah binti ‘Abdu Manaf. ‘Abdu Manaf adalah kakek ketiga Rasulullah. Jadi, dari pihak maupun ibu Rasulullah dan Khadijah memiliki hubungan kekerabatan yang dekat.
Ayah Khadijah, Khuwailid, terkenal sebagai lelaki yang cerdas, kaya, terhormat, berakhlak mulia, jujur dan bisa dipercaya. Khadijah juga memiliki saudara sepupu Waraqah ibnu Naufal ibnu Asad, salah satu dari empat orang Arab yang menolak penyembahan berhala oleh kaum Quraisy. Salah seorang dari mereka berkata : “ Kaum kami telah menyalahi agama Ibrahim –leluhur mereka sendiri. Mereka menyembah batu yang tidak mendengar dan tidak melihat, yang tidak mendatangkan manfaat maupun bahaya. Kita harus mencari agama yang benar”.
Empat orang ini kemudian pergi mencari jalan masing-masing. Yang mereka cari adalah hanifiyyah, agama Nabi Ibrahim. Setelah pencarian sekian lama, Waraqah akhirnya memeluk agama Nasrani dan mempelajarinya. Waraqah pun kemudian dianggap sebagai salah satu dari sedikit orang yang paling mengetahui ajaran-ajaran agama Nasrani di masanya.
Khadijah lahir 15 tahun sebelum Rasulullah. Khadijah muda adalah seorang gadis yang cantik parasnya dan baik perilakunya. Suami pertamanya adalah Abu Halah an-Nabbasy ibnu Zurarah at-Taymi. Pernikahan ini berakhir ketika Abu Halah wafat meninggalkan dua anak laki-laki, yakni Hindun dan Halah (Hindun dan Halah adalah nama-nama perempuan. Tetapi, orang-orang Arab juga menggunakan nama-nama perempuan untuk anak laki-laki mereka).
Khadijah kemudian menikah lagi dengan ‘Athiq ibnu ‘Aidz al-Makhzumi. Dari suaminya yang kedua ini, Khadijah memperoleh seorang anak perempuan – lagi lagi – diberi nama Hindun. Hindun menikah dengan sepupunya sendiri yang bernama Shfiy ibnu Umayyah ibnu ‘Aidz al-Makhzumi. Keturunan Khadijah dari pernikahan keduanya ini sempat tinggal di Madinah dan sering disebut dengan Bani Thahirah (Keturunan Wanita Suci).
Di masa jahiliyah, Khadijah diberi gelar “wanita yang suci” (thahirah). Setelah dua kali menikah, banyak lelaki yang meminangnya dengan menawarkan sejumlah harta sebagai maskawin. Tetapi Khadijah menolak semua pinangan itu. Perhatiannya difokuskan pada upaya mengasuh anak dan mengelola perdagangan.
Dalam dunia perdagangan saat itu, Khadijah adalah nama yang sangat diperhitungkan. Hampir setiap kafilah memuat barang dagangannya dalam jumlah besar. Khadijah juga memperkerjakan orang-orang Quraisy yang jujur dan tepercaya untuk mengawasi barang-barang dagangannya itu.
Keistimewaan Khadijah dan ‘love not at first sight’
Menurut Umar (2017), bahwa Khadijah memperoleh pemeliharaan dan bimbingan langsung dari Allah sepanjang hidupnya. Allah-lah yang mengarahkan Khadijah untuk menjadi teman hidup Rasulullah. Allah pula yang memunculkan tekad di hatinya untuk senantiasa membela, membangkitkan tekad dan mengobarkan semangat suaminya itu. Allah yang menganugerahkan kepadanya akal yang cerdas dan akhlak yang mulia. Allah pula yang menjaganya dari segala cela sehingga penduduk Mekkah menjulukinya dengan “wanita suci” (thahirah).
Khadijah ditakdirkan untuk mengelola sendiri urusan-urusan perdagangannya, dengan itu ia belajar bersabar dan bersikap tegas dalam mengambil keputusan. Pengalaman itu membuat Khadijah tidak pernah kehilangan semangat serta tidak pernah ragu mengorbankan harta dan jiwa raganya dalam membela agama Islam. Ia tetap tegar menghadapi setiap permusuhan dan intimidasi kaum aristokrat Quraisy. Imannya tidak pernah goyah. Dalam membantu Rasulullah melawan tipu daya mereka, ada kalanya menggunakan pikirannya yang cerdik. Tetapi, ada kalanya juga ia mencurahkan kasih sayang seorang ibu atau cinta seorang isteri. Dihadapinya semua tantangan dengan keberanian dan keteguhan hati. Tak pernah ia gentar maupun gusar. Ia selalu tenang dan sabar.
Bimbingan Allah pula yang membuatnya menolak setiap lamaran dari para bangsawan Quraisy sebelum akhirnya ia menikah dengan pemuda Muhammad. Allah yang memberinya petunjuk untuk memilih Muhammad sebagai pengelola urusan dagangnya ke Syam. Kekagumannya kepada integritas moral dan kemuliaan akhlak Muhammad juga bagian dari takdir Allah yang terencana. Dan itu membuatnya mampu melampaui segenap adat kebiasaan masyarakat jahiliyah sehingga ia sendiri yang memutuskan untuk memilih Muhammad sebagai pendamping hidupnya. Pilihan itu, tidaklah didasarkan atas kekayaan materi dan otoritas sosial, melainkan atas dasar budi pekerti Muhammad yang luhur – karakter yang membuat masyarakat Mekkah menjulukinya yang terpercaya, al-amin.
Bagi Khadijah, harta dan kekayaan materi adalah sesuatu yang tidak permanen. Sementara adat dan tradisi jahiliah, menurutnya, adalah seperangkat konvensi yang ditetapkan oleh para leluhur dalam menangani persoalan-persoalan spesifik di zaman mereka sendiri. Ketika zaman telah berubah, sebagian dari adat dan tradisi itu tidak lagi memadai untuk dijadikan pedoman. Pertimbangan itulah yang membuat Khadijah menjadi pelopor bagi upaya memberi hak pada kaum wanita untuk memilih teman hidup mereka sendiri. Tidak seorang pun berhak memaksanya untuk duduk manis di rumahnya, menunggu datangnya seorang lelaki yang melamarnya. Khadijah berpendapat bahwa wanita juga berhak melakukan pendekatan kepada lelaki yang ia inginkan untuk menjadi suaminya.
Setelah menikah dengan Muhammad, Khadijah menyerahkan semua urusan perdagangan serta pengelolaan finansial kepada suaminya yang terkenal cerdas dan jujur. Ia juga mendukung keputusan suaminya itu untuk bersedekah kepada fakir miskin dan membantu orang-orang yang tertimpa kemalangan. Khadijah memang sejak awal memiliki karakter yang mulia. Keputusannya itu ternyata tidak salah; harta di tangan Muhammad selalu bertambah sebanyak yang ia sedekahkan.
Allah pula yang membimbing Khadijah untuk tidak menghalangi suaminya melakukan uzlah di Gura Hira’, menyendiri dan menjauhi praktik penyembahan berhala serta kehidupan hedonis di Mekkkah selama sebulan penuh setiap tahun. Khadijah tidak saja membiarkan Muhammad, suaminya, melakukan uzlah. Ia bahkan berusaha mendorong dan menyiapkan perbekalan untuk keperluan uzlah suaminya tercinta itu.
Bersambung…