Akademisi UM Bandung Sebut Dua Sebab Maraknya Kasus Penistaan Agama
BANDUNG – Terkait maraknya perilaku, khususnya di media sosial, yang diklaim menyinggung, menista, dan bahkan menodai agama akhir-akhir ini, akademisi Universitas Muhammadiyah Bandung (UM Bandung) Cecep Taufikurrohman, M.A., Ph.D. angkat bicara.
Buya Cecep—sapaan akrabnya—mengatakan bahwa fenomena munculnya orang yang menistakan agama, khususnya di media sosial, disebabkan karena dua hal.
Pertama, kasus penistaan terhadap agama (agama apa pun) itu terjadi karena semakin jauhnya masyarakat dari agama dan pemahaman tentang agama.
”Jadi, pertama fenomena orang yang menistakan agama itu sebetulnya bukti semakin jauhnya masyarakat dari pemahaman keagamaan. Mereka tidak lagi bisa membedakan antara agama sebagai sebuah ajaran ketuhanan yang sangat mulia, yang sangat tinggi, sangat transenden, kemudian disamakan dengan persoalan lain, yang semua orang bisa berkomentar seenaknya, tanpa beban” ujar Buya Cecep di kampus UM Bandung, Selasa (11/01/2022).
Ditegaskan Buya Cecep bahwa agama merupakan sebuah ajaran transenden yang sangat mulia, yang tidak bisa setiap orang dapat berkomentar seenaknya tanpa pengetahuan mumpuni tentang agama tersebut.
Wakil Dekan Fakultas Agama Islam UM Bandung ini kemudian menyitir Alquran Surah Al-Isra ayat 38 yakni walaa taqfu maa laisa laka bihii ‘ilmun yang artinya janganlah kamumengomentari apa-apa yang kamu tidak memiliki ilmu tentangnya.
Buya Cecep menilai, pemahaman agama yang meluntur ini jangan dibiarkan. Harus ada upaya memahamkan kembali,bahwa seseorang tidak boleh sembarangan berbicara sesuatu hal, apalagi menyinggung masalah agama tanpa adanya pengetahuan.
”Kita ini sebagai manusia dan warga Indonesia yang menganut Pancasila dengan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, di mana sila ini merupakan ruh bagi sila-sila yang lainnya, hendaknya tidak berbicara sesuatu, apalagi terkait agama, yang kita tidak sadar bahwa isi omongan kita itu memuat kebencian dan penistaan terhadap agama,” tutur alumnus Universitas Al-Azhar, Cairo-Egypt, Fakultas Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam ini.
Selain karena minimnya pemahaman keagamaan, Buya Cecepjuga menganilisis bahwa kasus penistaan terhadap agama bisa juga terjadi karena faktor kedua, yakni unsur kesengajaan. Ia sadar, bahwa ia sedang menistakan agama, tetapi ia terus melakukannya. Ini biasanya dilakukan oleh pihak-pihak yang ingin membuat keruh suasana.
Mereka ingin mengadu domba umat dengan statement-statement tertentu yang kemudian diharapkan terjadi gesekanatau konflik antar-penganut agama.
”Jadi, antara dua itu, yakni memang orang yang tidak paham terhadap nilai dan hakikat agama, agama apa pun itu, atau memang perbuatan tersebut benar-benar sengaja. Mereka sebetulnya paham agama, tetapi sengaja ingin membuat kekeruhan, ingin mengadu domba agama-agama tertentu di negeri ini. Mereka tidak ingin melihat negeri ini dalamkeadaan hidup tenang dan damai,” tegasnya.
Sikap yang seharusnya
Terkait harus seperti apa sikap masyarakat kalau ada kasus terindikasi penistaan terhadap agama, Ketua Umum Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Mesir (2006-2008) ini mengatakan masyarakat jangan ikut-ikutan terpancing situasi.
”Saya kira kalau kita mendapati orang yang menistakan agama, kemudian kita viralkan di media sosial, maka orang yang menistakan agama itu benar-benar berhasil memancing.Mereka itu kan ingin terkenal intinya, ingin dapat perhatian,dan ingin membuat kita emosi,” katanya.
Kalau ada kasus semacam ini, hendaknya masyarakat media sosial tidak ikut terpengaruhi arus negatif dengan tujuan membalas apa yang mereka katakan.
Hendaknya kita mendorong pihak-pihak pemegang otoritas, baik pemerintah maupun organisasi-organsiasi keagamaan, untuk memproses mereka secara hukum dan mengawasi penegakan hukum pada sang pelaku tersebut.
”Kalau ada tindakan menjurus kepada penistaan agama, pelakunya jangan diadili secara liar di hutan belantara media sosial. Itu tidak akan ada solusinya. Malah masalah jadi semakin keruh dan bisa menjadi bola api yang liar di masyarakat. Ini yang tidak kita harapkan. Sebagai umat Islam, kita tidak diperkenankan mencaci maki pemeluk agama lain,” tuturnya.
Kemudian, dosen UM Bandung jebolan Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat, ini mengutip Alquran Surah Al-An’am: 108, yakni walaa tasubbulladziina yad’uuna min duunillaahi fayasubbullaaha ‘adwam bi ghairil ‘ilmi.
”Kita juga tidak boleh mencaci maki, tidak boleh mem-bully orang-orang yang menyembah sesuatu selain Allah. Kenapa? Karena mereka akan berbalik mencaci Allah, padahal mereka tidak mengerti tentang apa yang mereka cercakan itu,” ungkapnya.
Buya Cecep menegaskan bahwa silakanlah setiap orang ingin terkenal dengan cara apa pun. Namun, jangan menyinggung dan menjadikan agama sebagai komoditas karena agama merupakan wilayah yang paling sensitif.
Terakhir, Buya Cecep berharap otoritas yang punya kewenangan hukum untuk merespons kasus-kasus penistaan terhadap agama dan menindak mereka sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sehingga pelakunya jera dan dapat menjadi pelajaran bagi yang lain.
”Tujuannya tentu agar tidak ada lagi pihak-pihak yang seenaknya menistakan agama, baik di media sosial maupun di kehidupan nyata sekitar kita,” pungkasnya.***(Feri/Firman)