Menanggapi Kritik Tanpa Dendam

Menanggapi Kritik Tanpa Dendam

Oleh: Mohammad Fakhrudin

Mengkritik tanpa kebencian dan tanpa mengolok-olok bukan hal yang mudah. Menanggapi kritik, olok-olok, apalagi fitnah tanpa dendam, jauh lebih sulit. Dikatakan demikian kerena menanggapi kritik, olok-olok, apalagi fitnah tanpa dendam memerlukan kebesaran jiwa. Boleh jadi, ada orang berilmu, berpangkat, dan berjabatan tinggi, tetapi berjiwa kerdil!

Nabi Menanggapi Kritik, Olok-olok, dan Fitnah

Di dalam buku Etika Diskusi yang ditulis oleh World Assembly of Moslem Youth dikemu­kakan contoh etika diskusi yang diterapkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara contoh tersebut adalah diskusi ketika membagi harta pampasan perang (hlm. 32-34). Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam membagi harta pampasan perang lebih banyak kepada kaum Quraisy dan beberapa kabilah Arab dibandingkan dengan yang diterima oleh kaum Anshar.

Berikut ini disajikan penggalan narasi diskusi kaum Nabi Raulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kaum Anshar.

…. Melihat kenyataan itu, marahlah sebagian mereka dan ada yang sampai berkata, “Demi Allah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menjumpai kaumnya sendiri” Sampai Sa’ad bin Ubadah datang menjumpai beliau seraya berkata, “Wahai, Rasulullah shaallallahu ‘alaihi wa sallam! Sebagian dari kaum Anshar keberatan dengan keputusanmu dalam masalah harta rampasan yang engkau peroleh. Engkau membaginya kepada kaummu dan kepada kabilah Arab dalam jumlah yang sangat besar. Sementara kaum Anshar tidak mendapatan sedikit pun.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai, Sa’ad! Kamu sendiri bagaimana?”

Sa’ad   menjawab, “Wahai, Rasulullah! Aku tiada lain kecuali bagian dari kaumku.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kumpulkan kaummu di tempat ini.”

Sa’ad lalu keluar dan mengumpulkan kaum Anshar. Setelah berkumpul, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berbicara di hadapan mereka. Dengan terlebih dahulu memanjatkan pujian kepada Allah, beliau berkata, “Wahai sekalian Anshar! Telah sampai kepadaku berita bahwa kalian marah atas apa yang telah aku putuskan. Bukankah aku telah datang kepada kalian ketika kalian dalam keadaan sesat, lalu Allah memberikan petunjuk-Nya, ketika itu kalian dalam keadaan miskin, lalu Allah mencukupi dengan rezeki-Nya; ketika itu kallian dalam keadaan saling bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hati kalian?”

Mereka menjawab, “Benar. Allah serta Rasul-Nya lebih banyak pemberiannya dan lebih utama”.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Wahai, kaum Anshar! Mengapa alian tidak menjawab pertanyaanku?”

Mereka berkata, “Wahai, Rasulullah! Dengan apa lagi kami harus menjawab pertanya­anmu? Sungguh bagi Allah dan Rasul-Nyalah segala pemberian dan keutamaan.”

Beliau shallallahu a’alaihi wa sallam kemudian berkata, “Demi Allah! Seandainya kalian mau, kalian bisa menjawab dengan mengatakan sesuatu dan kalian benar adanya jika mengatakan sesuatu tersebut. Kalian bisa mengatakan kepadaku, “Bukankah engkau datang kepada kami dalam kedaan didustakan. Lalu, kami membenarkanmu. Engkau datang dalam keadaan terhina. Lalu, kami menolongmu. Engkau diusir dari kampung. Lalu, kami menam­pungmu. Engkau dalam kedaan fakir. Lalu, kami menyantunimu? Wahai, sekalian orang Anshar apakah kalian mempersoalkan harta yang sedikit jumlahnya itu, yang dengannya hati suatu kaum bisa bersatu lalu masuk Islam?

Adapun kalian, saya serahkan kalian kepada keislaman kalian. Wahai sekalian orang Anshar, tidak relakah kalian jika orang lain pulang membawa kambing dan unta, sedangkan kalian pulang ke tempat tinggal kalian dengan membawa Rasulullah? Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya jika bukan karena hijrah, niscaya aku adalah bagian dari kaum Anshar. Seandainya suatu kaum melewati lembah, seandainya kaum Anshar melewati lembah yang lain, niscaya aku akan berjalan di lembah yang dilalui oleh kaum Anshar. Ya, Allah! Rahmatilah kaum Anshar, putra Anshar, dan anak cucu Anshar.”

Seketika itu, menangislah mereka hingga basah jenggot-jenggotnya sembari berkata, “Kami rela Rasulullah sebagai jatah pembagian kami.”

Satu di antara sekian banyak pelajaran yang harus dipetik oleh umat Islam adalah sikap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak mencela kaum Anshar, padahal menerima kritik dan celaan. Beliau membalas keburukan dengan kebaikan. Hal ini sesuai benar dengan firman Allah Subhhaanahu wa Ta’aala di dalam surat Fushilat (41): 34,

“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang baik sehingga orang yang di antara kamu dan dia tadinya ada rasa permusuhan, seolah-olah teman yang sangat setia.”

Di samping surat dan ayat tersebut, ada surat dan ayat lain yang juga harus kita jadikan rujukan untuk menanggapi kritik, olok-olok, celaan, dan/atau fitnah misalnya an-Nahl (16): 125, yang artinya,

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

 Mencontoh Nabi

Banyak contoh yang dapat kita jadikan bahan renungan berkaitan dengan tradisi akademis dan ulama dalam hubungannya dengan menanggapi kritik. Berikut ini dikemukakan beberapa contoh.

Seorang linguis lulusan luar negeri bergelar Ph.D. menjadi pemateri dalam seminar internasional. Pada kesempataan berdikusi, ada seorang peserta yang mengkritik teori yang dijadikannya sebagai referensi pendapat. Hal yang menarik adalah pengkritik itu memilih cara  tidak langsung. Dia bertanya, “Maaf. Apakah Bapak sudah membaca (sambil menunjukkan buku yang dipegangnya) buku ini?”

Bagaimana respon pemateri tersebut? Dengan jujur, dia menjawab, “Belum. Jika Bapak berkenan, saya akan membacanya atau Bapak berkenan menyampaikannya secara ringkas.”

Disampaikanlah secara padat salah satu bab yang berisi kritik terhadap teori yang dijadi­kan rujukan pemateri. Lalu, pemateri mengucapkan terima kasih dan tetap berniat untuk mempelajari buku itu.

Sikap akademis yang lebih menarik lagi berkenaan dengan menghadapi kritik adalah ketika ada pemateri yang secara kesatria mengatakan, “Maaf. Saya belum dapat menjawab pertanyaan Saudara.” Apakah peserta seminar menertawakannya? Tidak! Menjawab dengan, “Saya tidak tahu” bukan aib. Imam Malik pun pernah menjawab, “Saya tidak tahu” jika memang tidak tahu!

Ada lagi tradisi akademis yang tidak kalah menariknya. Seorang promotor disertasi telah menyetujui draf disertasi mahasiswa yang dibimbingnya. Mahasiswa itu selanjutnya diarahkan untuk berkonsultasi dengan kopromotor. Kemenarikan kasus ini adalah ketika kopromotor mengkritik atau mengomentari teori yang dijadikan referensi mahasiswa, dia tidak melaku­kannya di depan mahasiswa, tetapi berbicara langsung dengan promotor itu tentang kelemahan teori itu. Bagai­mana respon promotor? Dengan kelapangan hatinya, dia merespon, “Nah, itulah fungsi kopro­motor!”

Seorang guru besar salah satu perguruan tinggi yang berkelas internasional sedang menulis buku. Ketika mengajar di pascasarjana, dia membahas suatu topik. Materi yang dibahasnya diambil dari draf buku itu. Setelah menyampaikan uraiannya, profesor itu memberikan kesem­patan kepada mahasiswa untuk mengkritisi pendapatnya. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh mahasiswa. Dia mengkritisi pendapat profesor itu. Bagaimana respon mahaguru itu? Ia berterima kasih kepada mahasiswa tersebut, bahkan, memberinya nilai A.

Fenemona berikut ini pun sangat menarik: ada pejabat publik yang berlatar belakang akademisi. Di antara mereka, ada yang bergelar akademik Ph.D, bahkan, berjabatan fungsional profesor. Namun, dia istiqamah (meminjam istilah Hamka di dalam Tafsir Al-Azhar) dalam menghadapi kritik, olok-olok, celaan, dan fitnah. Dengan kelapangan hati dan pikirannya, dia menang­gapinya. Dia sama sekali tidak merasa tersinggung dengan olok-olok itu. Dia menang­gapinya tanpa kemarahan, apalagi dendam, padahal dari segi cara menyampaikan kritik tersebut, sarat olok-olok. bahkan, sering mengarah ke fitnah. Dia sangat selektif; dapat menentukan  mana yang perlu dan mana yang tidak perlu ditanggapi.

Irena Handono et al. menulis buku Islam Dihujat Menjawab Buku The Islamic Invasion. Buku itu berisi jawaban atas fitnah dan olok-olok Robert Morey terhadap Islam. Salah satu olok-olok Morey adalah bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam adalah penderita epilepsi. Olok-olok itu dijawab oleh Handono dengan memaparkan lebih dahulu secara padat, tetapi utuh olok-olok Morey tentang keadaan Muhammad shallallahu a’alaihi wa sallam ketika menerima wahyu, yakni menggigil kedinginan, menetes-netes keringatnya, kejang-kejang, dan dari mulutnya keluar busa. Apabila sudah sadar kembali, dia lalu membacakan apa yang dikatakannya sebagai wahyu.

Dalam menjawab olok-olok itu, Handono menjelaskan bahwa gejala epilepsi yang dise­butkan oleh Morey sama sekali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Handono mengata­kan bahwa serangan epilepsi tidak akan meninggalkan bekas yang dapat diingat oleh penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan, penderitanya lupa sama sekali apa yang telah dialaminya. Penyebabnya adalah segala pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total. Dijelaskan juga oleh Handono bahwa Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu inteleknya sedang dalam puncak kesadarannya (hlm. 242-243).

Di kalangan ulama pun ada yang tidak tergesa-gesa menanggapi kritik, olok-olok, bahkan juga fitnah. Boleh jadi, dia bermaksud menjaga nama baik sesama ulama. Dia tidak ingin mempermalukannya. Rupanya dia sangat yakin dan masyarakat juga memahami bahwa substansi kritiknya berbeda dari substansi yang dibahasnya, bukan masalah argumen. Jadi, jika kritik itu ditanggapi tentu mempermalukan pengritik. Mungkin karena ulama yang dikritik tidak (segera) menanggapi kritik yang disampaikan dengan gaya “mengolok-olok”, ada ulama lain (yang juga guru besar di perguruan tinggi) yang memberikan “pencerahan”. Dia “menguatkan” kebenaran pendapat ulama yang dikritik, sedangkan kepada pengritik, dia berkomentar bahwa penda­patnya betul, tetapi berbeda dari topik yang dibahas ulama yang dikritiknya.

Orang atau kelompok yang sadar akan keterbatasannya, justru sangat terbuka sikapnya menerima kritik, bahkan, celaan, olok-olok, atau fitnah sekalipun. Dalam tradisi akademis, kritik malahan dinyatakan sebagai hal yang sangat penting. Bukankah kemajuan sains dan teknologi dibangun melalui kritik? Melalui penelitian, para peneliti melakukan kajian secara kritis terhadap temuan yang telah ada. Lalu, mereka menyempurnakannya atau membangun teori baru. Namun, teori yang ditemukannya itu boleh jadi bersifat mantap dalam kurun waktu tertentu, tetapi dinamis meskipun kedinamisan itu tidak berarti berlaku hanya dalam hitungan bulan apalagi pekan.

Di dalam buku Al Qur’an dan Ilmu Pengetahuan karya Achmad Baiquni, misalnya, dikemukakan temuan di bidang sains dan teknologi sebagai hasil penelitian. Temuan itu berupa teori baru. Sebagai temuan baru, teori itu merupakan bantahan atau kritik terhadap teori lama. Di antara temuan baru itu adalah temuan Abu Raihan Al Bairuni. Di dalam buku karya Baiquni itu (hlm. 9) dijelaskan oleh Baiquni bahwa Al Bairuni mengkritik model alam Plotemaeos, yang geosentris, secara fisis tidak masuk di akal karena langit, yang begitu besar, dengan bintang yang katanya menempel padanya dinyatakan berputar mengelilingi bumi sebagai pusat.

Baiqui selanjutnya menjelaskan bahwa ketika enam abad kemudian Johann Kepler berhasil menemukan hubungan antara waktu edar planet-planet dengan sumbu utama elips masing-masing, maka muncullah pada abad XVII karya Isaac Newtown “Principia” yang berisi teori gra­vitasinya. Sejak itu orang mengetahui apa kendala yang mengekang planet tata surya untuk ber­gerak mengitari matahari.

Fenemona Lain

Akhir-akhir ini, cukup banyak orang yang sangat berani mengkritik (lebih-lebih yang dilakukan berdasarkan ketidaksukaan), tetapi mereka tidak mempunyai kesiapan mental ketika mengha­dapi kritik balik. Mereka menanggapi kritik balik itu dengan kemarahan yang berlebihan, bahkan, dengan dendam mendalam.

Sementara itu, ada pula pejabat publik yang ketika menerima kritik, celaan, atau olok-olok, dia (dalam hitungan jam atau menit) langsung menanggapinya dengan “garang.” Ada yang lang­sung melakukannya sendiri, tetapi ada juga yang “meminjam tangan”. Ujung-ujung­nya, pengritik berurusan dengan “hukum”.

Di dunia kademis terjadi juga fenomena antikritik pada dosen dan mahasiswa. Di antara dosen senior, ada yang sangat tersinggung ketika menerima kritik dari dosen junior, baik dari usia maupun dari jabatan fungsional, apalagi kritik dari mahasiswa. Masalah menjadi sangat kontraproduktif ketika ada perbedaan pendapat antara dosen yang satu dan dosen yang lain dalam pembim­bingan skripsi dan mereka bersikukuh dengan pendapatnya masing-masing. Jika hal ini terjadi, tentu mahasiswa menjadi korban.

Ada pula mahasiswa yang merasa “sok” lebih pintar daripada dosen. Ketika menulis skripsi, atau tesis, atau bahkan disertasi, mereka over confident. Mereka tidak mau menerima kritik dari dosen pembimbingnya. Mereka memilih tidak menyelesaikan penulisan skripsi, tesis, atau disertasinya.

Masih ada lagi fenomena yang perlu kita renungkan juga. Pernah ada seorang cendekiawan muslim Indonesia menerjemahkan kalimat Laa ilaaha illallah dengan, “Tidak ada tuhan selain Tuhan.” Berkenaan dengan itu, banyak ulama yang mengkritiknya. Salah seorang di antara mereka adalah ulama dan sekaligus cendekiawan muslim juga. Timbullah “kegaduhan” di internal umat Islam. Ketika menanggapi kritikan tersebut, cendekiawan muslim yang dikritik itu menyatakan bahwa ada intelectual gap antara dia dan orang pengritik.

Di kalangan kiai pun terjadi fenomena seperti itu terjadi. Mereka mengkritik, mengolok-olok, bahkan memfitnah kiai lain, tetapi tidak siap mental menerima kritik balik. Terjadilah debat tidak sehat. Jika kiai “sepuh” yang dikritik, dia membalas kritikan dengan kata-kata yang berna­da meremehkan kiai muda. Jika kiai muda yang dikritik, dia membalasnya dengan kata-kata yang bernada merendahkan juga.

Hal yang memprihatinkan juga adalah ada kiai yang mengatakan bahwa Muhammadiyah sebagai wahabi. Namun, anehnya terdapat kontradiksi di dalam pendapatnya itu. Pada bagian awal dia mengatakan bahwa Muhammadiyah adalah wahabi, tetapi pada bagian berikutnya dia bingung sendiri karena Muhammadiyah menetapkan Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha berdasarkan hisab, yang tidak dilakukan oleh kaum wahabi.

Sejak awal berdirinya, Muhammadiyah memang “digempur” dengan berbagai macam fitnah dan olok-olok. Di dalam buku Muhammadiyah Gerakan Reformasi Islam di Jawa pada Awal Abad Kedua Puluh karya A. Jaenuri (hlm. 85) dikemukakan fitnah dan olok-olok itu sebagai berikut: Ahmad Dahlan adalah seorang wahabi; menyimpang dari Ahlu Sunnah wal Jam’ah; menolak apa yang dihasilkan oleh para imam mazdhab; hendak meruntuhkan agama; seorang Mu’tazilah, dan  dicap sebagai orang kafir.

Perbedaan Muhammadiyah dengan salafi wahabi dapat diketahui pada tabel beikut ini.

 Beda Muhammadiyah dan Salafi

MUHAMMADIYAH ASPEK SALAFI
memahami dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani 1. Memahami Qur’an

dan Sunnah

memahami secara literal
kepada muslim dan nonmuslim dengan prinsip hikmah 2. Berdakwah kepada muslim saja agar bermanhaj salaf, nonmuslim dipandang kafir
peran domestik dan publik 3. Perempuan sektor domestik, bepergian harus didampingi mahram
prinsip utama monogami 4. Pernikahan mendukung poligami
yang penting adalah menutup aurat. Boleh memakai pakaian tradisional, lokal, Arab, ataupun Barat 5. Cara Berpakaian membiasakan empat identitas: jalabinya, tidak isbal, lihya, dan niqab bagi perempuan
aktivitas bermusik, bernyanyi, bermain drama bisa menjadi media dakwah 6. Bidang Seni bida’ah dan haram
metode ilmu hisab 7. Penentuan Ramadhan, Idul Fitri,

dan Idul Adha

metode rukyat dan Idul Adha mengikuti ketentuan wukuf di Arafah
membolehkan dengan uang dalam keadaan tertentu 8. Zakat Fitrah harus makanan pokok
bisa diberikan untuk kesejahteraan umum 9. Peruntukkan Zakat harus kepada 8 asnaf
bisa dilakukan jika membawa mashlahat karena termasuk muamalah 10. Peringatan Maulid Nabi mutlak haram

Suara Muhammadiyah, 15 Juni 2021

.Dengan demikian, jika berpikiran dan bersikap akademis, semestinya tidak ada seorang pun atau kelompok pun yang menyebut Muhammadiyah sebagai wahabi.

Dalam menanggapi fitnah bahwa Muhammadiyah adalah wahabi, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dengan gaya khasnya yang santun, memberikan penjelasan bahwa kitab-kitab rujukan K.H. Ahmad Dahlan berbeda dari kitab-kitab rujukan salafi wahabi. Namun, di dalam organisasi apa pun pasti ada dinamika internal. Oleh karena itu, dapat dipahamai jika ada warga Muhammadiyah yang secara invidual menanggapi fitnah dengan gaya yang bervariasi.

Biasanya, orang (kelompok) yang antikritik adalah orang (kelompok) yang merasa dirinya (kelompoknya) paling benar dan paling pintar atau mereka yang over confident. Lupa bahwa yang benar mutlak adalah Allah Subhaanahu wa Ta’aala. Menurut H.M. Rasjidi, sebagaimana dijelaskan di dalam buku Filsafat Agama, manusia biasa hanya sampai pada tepian kebenaran.

Muhammadiyah menghormati semua imam madzhab dan tidak taqlid pada salah satu madzhab. Muhammadiyah “Tidak mengikat diri kepada suatu madzhab, tetapi pendapat-pendapat madzhab dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan hukum, sepanjang sesuai dengan jiwa al-Quran dan as-Sunnah atau dasar-dasar lain yang dipandang kuat”. Muhammadiyah memang tidak terikat kepada salah satu di antara madzhab-madzhab tertentu, tetapi juga tidak berarti Muhammadiyah antimadzhab. Kualitas keilmuan para imam madzhab tidak diragukan, tetapi bagaimana pun juga pendapat-pendapat para imam tidaklah memiliki kebenaran secara mutlak sebagaimana kebenaran al-Quran dan as-Sunnah ash-Shahihah. Pendapat-pendapat para imam tersebut sangat erat kaitannya dengan kondisi pada masa mereka hidup, yang tentunya terdapat perbedaan dan juga ada hal-hal yang kurang relevan lagi dengan masa sekarang (Jawaban Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah terhadap pertanyaan, “Mengapa Muhammadiyah Tidak Bermadzhab?” yang disidangkan Jumat, 4 Jumadal Ula 1429 H / 9 Mei 2008 M).

Kontradiktif

Sungguh sangat kontradiktif jika ada di antara umat Islam, apalagi ustadz/ustadzah, menanggapi kritik, olok-olok, celaan, dan/atau fitnah dengan dendam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menanggapinya dengan akhlak terpuji. Beliau menjelaskan pendapat atau ke­pu­tusannya dengan argumen yang sangat rasional, tidak marah, dan tidak mencela pengritik.

Lalu, jika ada di antara umat Islam (lebih-lebih ulama), pejabat publik, atau aka­de­misi yang membalas kritik, olok-olok, celaan, atau fitnah dengan dendam, merujuk kepada siapa, ya?

Wa Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, warga Muhammadiyah, tinggal di Kota Magelang.

Exit mobile version