Perpustakaan Masjid dalam Sejarah Awal Islam
Oleh: Azhar Rasyid
Dewasa ini, orang umumnya mengenal perpustakaan sebagai suatu bangunan tertentu yang dipenuhi oleh berbagai macam produk cetak seperti buku, majalah dan koran. Para pelajar kerap datang ke perpustakaan guna membaca dan meminjam buku-buku yang penting bagi studinya. Sejumlah perpustakaan kini juga sudah berubah menjadi sebagaimana layaknya taman bermain karena mengakomodasi kebutuhan hiburan serta menyediakan tempat bermain untuk anak. Di area perpustakaan biasanya terdapat mushala tempat pengunjung melaksanakan ibadah shalat.
Bila menilik sejarah Islam, dapatlah diketahui bahwa kehadiran perpustakaan di dunia Islam hampir sejalan dengan eksistensi Islam sendiri. Dan, semuanya bermula di masjid. Sejak kelahiran Islam, masjid menjadi ruang publik yang sangat penting bagi umat Islam. Masjid memiliki fungsi utama sebagai tempat ibadah, baik untuk shalat wajib maupun shalat sunnah. Kata ‘masjid’ itu sendiri berkaitan dengan arti kata ‘sujud’, yang berakar dari istilah ‘sajada’, ‘yasjudu’ dan ‘sujudan’. Di samping itu, masjid punya pula fungsi-fungsi berdimensi sosial, seperti sebagai tempat pengajian, pengadilan dan tempat berembuk.
Sebagaimana dikemukakan para sejarawan, pada mulanya tradisi pelestarian dan penyebaran pengetahuan di kalangan umat Islam dilakukan secara lisan. Barulah selepas Nabi Muhammad SAW wafat muncul gagasan bahwa kisah hidup dan ajaran yang disampaikan Nabi harus dituliskan. Catatan-catatan mengenai beliau mesti dikumpulkan lalu ditaruh dan disimpan pada suatu tempat sehingga bisa dibaca oleh generasi selanjutnya.
Inisiatif untuk menuliskan perikehidupan Nabi sebenarnya sudah dilakukan sejak abad pertama Hijriah. Namun, karya tulis penting tentang kehidupan Nabi baru muncul di abad kedua Hijriah, yakni karya yang ditulis oleh Ibn Ishaq (704-768 M), yang berjudul Sirah. Selepas itu ada sejumlah buku lainnya yang berkenaan dengan kehidupan Nabi. Kebutuhan akan ruang khusus untuk menyimpan buku-buku tersebut pun muncul. Dari sinilah lahir perpustakaan, yang pada mulanya adalah suatu bagian yang terletak di dalam ruangan masjid.
Ada satu alasan lain yang menurut para sejarawan berperan penting di dalam mendorong lahirnya perpustakaan di tengah umat Islam Arab. Kaum Muslim di tanah Arab sebenarnya tidak memiliki tradisi menulis, yang artinya mereka juga pada awalnya tidaklah membutuhkan institusi yang dapat menyimpan buah pikiran dalam bentuk tertulis. Keinginan untuk meningkatkan taraf literasi di antara umat Islam Arab baru muncul ketika mereka berhasil menguasai berbagai wilayah yang dikenal sebagai tempat berkembangnya ilmu pengetahuan di masa silam.
Interaksi semacam ini tak hanya mendorong kaum Muslim Arab untuk menghidupkan kembali pengetahuan yang berakar pada tradisi Yunani dan Persia yang lebih maju daripada tradisi Arab, tapi juga mendorong mereka untuk menjadi produsen dan penyebar pengetahuan yang mereka hasilkan sendiri. Di sini, perpustakaan yang melekat di masjid adalah salah satu medium penyebar pengetahuan itu.
Pada masa awal Islam, digunakan beberapa istilah dari bahasa Arab yang berkaitan dengan keberadaan ruang khusus untuk menyimpan buku. Di antaranya ialah ‘khazanah kitab-kitab’ (khizanat al-kutub) dan ‘rumah buku’ (dar al-kutub). Jadi, istilah yang dipakai berbeda dengan istilah dalam bahasa Arab dewasa ini yang mengacu pada perpustakaan, maktaba.
Pembangunan perpustakaan, termasuk pencarian dan pengumpulan koleksi buku, membutuhkan dukungan tidak hanya dari umat, tapi juga para penguasa. Dukungan ini bentuknya beragam, dengan yang terpenting adalah sumbangan buku-buku untuk perpustakaan masjid. Di masa ketika buku masih merupakan barang langka dan tidak banyak sarana yang tersedia untuk mengakses pengetahuan tertulis, sumbangan buku ini sangat bermakna bagi publik. Para raja biasanya adalah orang yang berpengetahuan luas karena memiliki perpustakaan pribadi dan memperkerjakan para ilmuwan di istananya. Selain sumbangan dari para penguasa seperti para sultan, koleksi buku di perpustakaan masjid datang pula dari para penulis maupun ilmuwan yang ingin karyanya dibaca oleh khalayak.
Salah satu perpustakaan masjid penting dalam sejarah Islam adalah perpustakaan di masjid Umayyah di Damaskus, Suriah. Masjid ini dibangun oleh al-Walid ibn Abd al-Malik pada tahun 714 M. Koleksi yang ada di perpustakaan masjid ini umumnya berkaitan dengan kajian-kajian Sunni serta kajian lain yang merupakan sumbangan dari berbagai individu.
Di masa selanjutnya, terdapat perpustakaan di masjid Abu Hanifah Nu’man. Eksis pada masa kekhalifahan Abbasiyah (750-1258 M), perpustakaan di masjid ini berisi buku-buku yang tak hanya penting dari segi keagamaan, tapi juga dari ilmu pengetahuan. Sejumlah buku tentang kedokteran disumbangkan kepada perpustakaan ini oleh ahli medis terkemuka di masa itu, Yahya Ibn Jazla, sementara buku-buku tentang kemasyarakatan berasal dari ahli bahasa dan sejarawan al-Zamakhshari.
Tidak lengkap bila membicarakan perpustakaan masjid tanpa menyebut perpustakaan di Masjid Al Azhar di Kairo, Mesir. Didirikan oleh kalifah Fatimiyyah, al-Muizz, pada 973 M, perpustakaan yang berada di suatu ruangan dekat mimbar masjid ini mulanya berfungsi sebagai medium penyebaran gagasan keagamaan Faitimiyyah yang berorientasi Syiah. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, tema-tema koleksi bukunya kian beragam.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan Muslim kala itu, buku-buku mengenai astronomi dan ilmu hitung turut menjadi bagian koleksi perpustakaan Masjid Al-Azhar. Perpustakan ini mengalami berbagai perubahan, misalnya dengan pendirian suatu perpustakaan pusat bagi Al-Azhar pada akhir abad ke-19, namun koleksi-koleksinya masih tetap dipakai publik, termasuk koleksi manuskrip langkanya.
Beberapa perpustakaan lain di dunia Islam memiliki corak dan koleksi khasnya masing-masing. Di Masjid Agung Cordoba di Spanyol, ada perpustakaan yang dibangun pada tahun 786 M oleh pangeran dari Dinasti Umayyah, Abd al-Rahman. Perpustakaan ini sempat mempunyai koleksi buku yang sangat banyak. Tapi, eksistensi perpustakaan ini berakhir pada 1236 M ketika Ferdinand III dari Kastila dan Leon menghancurkannya.
Sementara itu, di Maroko terdapat tiga perpustakaan yang berada di Masjid Qarawiyyin (masjid yang dibangun tahun 859 oleh Fatima la-Fihri) dan di Tunisia ada perpustakaan di Masjid Zaytuna, masjid yang yang didirikan tahun 699 M oleh Hassan Ibn al-Numan. Masjid, dengan demikian, bersama perpustakaan di dalamnya, dan madrasah di sekitarnya di mana para murid belajar agama, adalah beberapa pilar literasi di dunia Islam pada masa lalu.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2020