Tangisan Cinta: Aku Tidak Ingin Jatuh Cinta Lagi

Alif

Tangisan Cinta: Aku Tidak Ingin Jatuh Cinta Lagi

Oleh: Alif Sarifudin Ahmad (ASA) Ketua PDM Kota Tegal

Para pembaca yang budiman! Bumi yang sedang kita diami, kini semakin berduka karena ulah tangan-tangan manusia. Ada banjir, bencana, awan panas, gunung meletus….orang banyak menyebutnya bencana alam. Alam juga punya hati seperti kita. Kalau hati sering disakiti maka semakin berduka. Sungai berduka karena banyak yang tidak menjaganya.  Gunung berduka karena banyak yang mengkhianatinya. Pencemaran di mana-mana. Alam pun menjadi merana, patah hati, dan cemburu….

Biarkan hari-hari berbuat sesuka hati,

Tegar, lapangkan jiwa saat takdir menghakimi.

Jangan resah hanya karena petaka semalam menghampiri,

Ingat, tak ada musibah di dunia yang kekal abadi.

Jadilah lelaki yang kuat menghadapi kegentingan,

Dan karaktermu tetap lapang dada penuh kesetiaan.

Seandainya celamu banyak di mata manusia,

dan engkau ingin ada tirai yang menutupinya.

Maka tutupilah dengan tirai kedermawanan, karena dengannya

Akan tertutupi segala cacat sebagaimana masyhur katanya.

Itulah penggalaan puisi karya Imam Syafii.  Kutipan tersebut pernah penulis sampaikan dalam tulisan yang berjudul Puisi Imam Syafii dalam Cinta Bersemi yang Tak Peernah Pudar (Suara Muhammadiyah, 1 Maret 2021)

Penulis telah menyusuri dakwah puluhan tahun dari satu daerah ke daerah lain. Pada hari Ahad, 9 Januari 2022 perjalanan dakwah dari Tegal ke Pekalongan dengan menggunakan sepeda motor di bawah rintik-rintik hujan untuk menebar kebaikan, Alhamdulillah lancar dan berkah. Berangkat dini hari sebelum subuh dan mampir di salah satu pondok pesantren untuk menunaikan shalat shubuh berjamaah.

Sesampai di masjid Daarul Iman Pekalongan Timur, penulis menyampaikan materi dakwah berjudul  Cinta Itu Memberi Bukan Memaksa. Antusias jamaah pun luar biasa, dengan dihadiri sekitar seribu jamaah penulis pun semangat untuk menyampaikan materi. Setelah kajian,  kembali penulis berdakwah lewat konten yutube dan tibalah di daerah Lolong Kabupaten Pekaongan. Dari tempat ini, lahirlah tulisan ini yang berjudul Tangisan Cinta: Aku Tidak Ingin Jatuh Cinta Lagi

Mentari pagi menampakkan wajahnya dengan gagah dan cerah. Burung-burung berlari berkejaran berbondong-bondong mencari makanan tuk keluarganya. Sepasang burung merpati bertengger di atas genting rumah yang sudah tua dan sudah tak terurus oleh penghuninya. Tiba-tiba derit pintu terbuka dan keluarlah penghuni rumah. Ya…. seorang ibu tua sendirian karena anaknya yang semata wayang telah pergi merantau.

Perpisahan memang menyayat hati. Tapi hal itu pasti kan terjadi kepada siapa saja. Kini ibu tua itu sudah ditinggal anaknya, Bachreisy lima belas tahun yang lalu tepatnya 20 Desember 2007. Secarik kertas bertuliskan kalimat perpisahan itu masih tersimpan rapi di laci meja ruang tamu sekaligus ruang serba guna.  Rumah tua itu sebagai saksi perpisahan anak dan ibu.

Hari itu Suami mbok Saryem sudah lama wafat. Perpisahan memang menyedihkan. Sejak ditinggal ayahnya, Bachreisy sering termenung. Waktu itu Bachreisy masih kelas 5 SD. Kini Bachreisy sudah lulus S2 dengan perjuangannya yang luar biasa. Ia meninggalkan kampung halamannya dan meninggalkan ibunya setelah lulus SMP merantau dan bersekolah dengan banting tulang sendiri.

Selama belajar di Perantauan, Bachreisy tak mengenal cinta. Setelah menyelesaikan studinya Bachreisy pulang dan ternyata pertemuan dengan ibunya hanya beberapa hari saja karena ibunya telah dipanggil Yang Maha Kuasa. Ya ….kini Bachreisy seorang diri ditinggal ayah dan ibunya. Tetapi perjuangan di ibu kota telah menģerti arti tantangan hidup.

Ia menyesal belum bisa memenuhi keinginan ibunya agar segera menikah. Ia sebenarnya pergi ke Jakarta untuk menggantikan ayahnya sambil kuliah bekerja dan setiap bulannya mengirimkan  sejumlah uang untuk biaya hidup ibunya di kampung dan memperbaiki rumahnya. Bachreisy merasa menyesal belum bisa memenuhi keinginan ibunya.

Bunga-bunga cinta kini tumbuh di hati Bachreisy. Ketika ia menemui seorang gadis desa teman sekolahnya di SD…baru sebulan menjalin cinta ternyata kandas karena sang gadis telah dijodohkan dengan pilihan orang tuanya.

Bachreisy membantu mengajar di salah satu pendidikan yayasan ternama di kampungnya. Karena kecerdasannya ia diminta untuk memimpin yayasan itu menjadi semakin maju. Banyak gadis yang ingin dinikahi oleh Bachreisy tapi tak satu pun yang memikat hatinya. Kejenuhan mulai menggerogoti Bachreisy. Kini ia bercita-cita melanjutkan belajarnya agar bisa meraih gelar doktor. Tanpa pikir panjang ia pun merantau ke luar kota.

Kini ia kuliah S3 dan di hari-hari sibuknya, ia mengajar di salah satu perguruan tinggi. Mungkin cintanya sudah terlambat. Akhirnya ia menemukan gadis pilihannya, dan sang gadispun menyambut cintanya. Takdir berkata lain, Bachreisy harus bersabar karena gadis pilihannya telah meninggal dunia yang ternyata telah menderita sakit dan sakit itu kembali kambuh hingga tak bisa tertolong lagi. Bachreisy telah lulus S3 dalam usia yang masih muda. Ia kini berusia 28 tahun. Karena cintanya yang sering gagal ia tidak ingin jatuh cinta lagi.

Tepat di musim haji,  Bachreisy menunaikan ibadah haji seorang diri. Di depan Ka’bah sering berdoa untuk ayah dan ibunya. Teringat kisah Uwais Al Qorni yang begitu sayang pada ibunya dan telah mengguncang langit sehingga ia dianggap keluarga malaikat. Akhirnya Bachreisy memutuskan untuk tinggal di Makkah selama dua tahun   Tahun haji berikutnya  menghajikan ayahnya dan tahun haji selanjutnya untuk ibunya.

Di Makkah belajar bahasa Arab dan menghafal Al Quran. Ada gadis Mekah yang sangat cantik dan ingin dinikahinya,  tetapi gadis itu tidak menggetarkan hatinya dan dengan bahasa yang halus ia menolaknya.

Di bawah guyuran hujan setelah prosesi ibadah haji untuk ibunya. Manasik terakhir adalah thowaf wada. Di bawah lindungan ka’bah,  ia berdoa agar dipertemukan dengan ayah dan ibunya kelak di surga. Dalam doanya ia meminta maaf kepada ibunya karena belum bisa memberikan hadiah seorang istri. Kisah cintanya yang sering kandas bukan menjadikan ia berhenti belajar. Ia semangat untuk mencintai  ilmu agama terutama Al Quran. Semangatnya yang membara. Bahreisy seolah-olah telah menikah dengan ilmu kesukaannya.

Setelah berusia 40 tahun Bachreisy mempunyai karya yang luar biasa. Buku-bukunya banyak diminati oleh para mahasiswa terutama yang belajar tafsir hadis. Ia pun keliling dunia untuk menjadi dosen tamu. Seluruh Jazirah Arab telah di jelajahinya. Bahkan sebagian negara Eropa, Australia, juga Asia hingga Indoneaia negara Asalnya. Usia 60 tahun belum juga Bachreisy mempunyai tambatan hati.

Saat thowaf sunnah ketika Bachreisy yang sudah usia 63 tahun melaksanakan umroh. Di Bawah Lindungan Ka’bah Bachreisy sudah tidak kuat lagi. Pada putaran yang kelima sebenarnya sudah tidak kuat. Tetapi karena cintanya pada Allah ia lanjutkan putaran keenam. Akhirnya pada putaran ketujuh tepat di depan Hajar Aswad, ia menghembuskan nafas terakhir. Sebelum wafat ia dipertemukan dengan ayah dan ibunya dalam mimpinya. Bachreisy dalam doa terakhirnya bertobat karena belum bisa menikah dan memohon kepada Allah agar diizinkan menikah di surga. Sebenarnya secara syah sudah menikah dengan gadis Mesir ketika mengajar menjadi dosen tamu dan dinikahinya dengan mahasiswa terbaik.

Bachreisy meminta maaf dengan gadis Mesir yang telah dinikahkan oleh syeikh terkemuka di Mesir. Ia meninggalkan dan belum sempat menyentuhnya. Cinta tidak bisa dipaksa. Cinta itu memberi bukan memaksa. Akhirnya ia sah berpisah dengan gadis Mesir yang cantik tersebut. Bachreisy wafat tepat saat berumur 63 tahun di bawah lindungan ka’bah.

Exit mobile version