Tatap 2024, Integritas Penyelanggara Pemilu Harga Mati
JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Integritas penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) Indonesia merupakan harga mati karena pentingnya Pemilu 2024 dalam membangun demokrasi Indonesia. Integritas penyelenggara pemilu adalah titik awal dalam menjadikan Pemilu 2024 sebagai pijakan untuk lepas landas agar demokrasi di Indonesia memasuki tahap baru yang berkualitas. Selain integritas dari penyelenggara pemilu, para pemangku kepentingan pemilu (stakeholders) terkait seperti partai politik, institusi penegak hukum serta para pemilih juga harus mempertahankan integritasnya agar melahirkan para pemimpin yang dapat diandalkan dan bersih dari korupsi.
Demikian salah satu benang merah Seminar Pentingnya Penyelenggara Pemilu yang Berintegritas hari Kamis (13/1). Hadir dalam seminar ini Wakil Ketua Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Saan Mustopa MSi, Anggota Tim Seleksi Anggota Komisi Pemilihan Umum 2022-2027 Dr. Endang Sulastri MSi, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA dan nara sumber lainnya yakni mahasiswa Magister Ilmu Politik dan Magister Ilmu Komunikasi FISIP UMJ. Seminar yang dipimpin Dr. Asep Setiawan ini diselenggarakan Program Studi Magister Ilmu Politik, FISIP UMJ, dibuka oleh Wakil Dekan FISIP UMJ Djoni Gunanto. Hadir sekitar 90 peserta mulai dari anggota KPUD, mahasiswa, akademisi dan masyarakat umum.
Perhatian mengenai pentingnya integritas penyelenggara Pemilu ini menjadi sorotan karena pada bulan Februari ini DPR menyeleksi anggota KPU dan Bawaslu. Saan menyatakan bahwa sebelum tanggal 21 Februari 2022 harusnya penyelenggara pemilu telah diumumkan kepada publik. Selanjutnya Wakil Ketua Komisi II DPR ini menjelaskan bahwa integritas itu menyangkut banyak hal seperti reputasi, kemandirian, independensi dan tidak tergoda tarikan-tarikan politik. Integritas merupakan hal utama bagi penyelenggara pemilu dan dalam penyelenggaraan pemilu. Reputasi yang baik bagi menjadi sangat penting dalam pemilu serentak karena tingkat kerumitannya. Selain itu penyelenggara pemilu dihadapkan pada berbagai kepentingan politik dalam Pilpres karena tidak ada petahana.
Selain faktor integritas, pemilu 2024 memiliki tingkat kerumitan yang tinggi. Pemilu nanti akan dibayang-bayangi pandemi Covid-19. Oleh karena itu penyelenggara pemilu perlu memiliki kemampuan manajerial kepemiluan yang sangat memadai. “Mereka akan mengelola pemilu yang sangat besar dan terstruktur sampai tingkat TPS. Kemampuan manajerial ini sangat penting. Bagaimana mereka mereka bisa mengkonsolidasikan seluruh aparat pemilu, mengawasi dan mengontrol penyelenggaraan pemilu” katanya.
Saan menambahkan bahwa penyelenggara pemilu juga perlu memiliki kemampuan teknis kepemiluan karena tingkat kerumitan pemilu nanti. Penyelenggara pemilu juga mampu meyakinkan kepada publik antara pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislaif sama sama pentingnya. Dengan demikian pemilih tidak hanya memperhatikan pilpres tapi mengabaikan pemilihan legislatif.
Sementara itu Prof. Dr. R. Siti Zuhro, MA menjelaskan terdapat empat hal dalam kaitan penyelengga pemilu yakni integritas, kompetensi, indepensi dan kepemimpinan. Pertama, integritas penyelenggara ini penting dan tidak bisa ditawar-tawar lagi karena vital dalam pelaksanaan pemilu. Kedua tentang kompetensinya. Jadi kalau sudah lulus integritas wajib memenuhi kriteria lain yakni kompetensi. Profesionalitas di bidang kepemiluan tidak hanya paham politik, kepemiluan tetapi juga hukum.
Yang ketiga dia memiliki independensi. Unsur ini penting karena tarikan politik luar biasa dan KPU ini mengelola pemilu nasional sampai daerah. Penyelenggara harus dapat dipercaya, jujur dan amanah. Yang keempat adalah kemampuan manajerial, kepemimpinan dan kerjasama. Unsur ini juga tidak kalah pentingnya untuk penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.
Menurut Siti Zuhro semua anggota KPU harus memenuhi kualifikasi persyaratan tersebut. Pemilu yang trusted adalah pemilu yang diselenggarakan oleh penyelenggara yang juga trusted. Sengketa pemilu terjadi antara lain dipicu (trigger) oleh penyelenggara pemilu yang partisan yang tidak amanah karena mereka bermain politik praktis selama menyelenggarakan tugasnya sebagai komisioner.
Mantan komisioner KPU dan anggota panitia seleksi KPU 2022-2027 menegaskan bahwa integritas penyelenggara pemilu merupakan harga mati. Mengapa demikian? Endang Sulastri menekankan bahwa penyelenggara pemilu ikut berkontribusi dalam menciptakan proses pemilu baik substansi maupun prosedurnya. “Kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu akan berpengaruh terhadap kepercayaan pada proses dan hasil pemilunya,” jelas Dr. Endang Sulastri yang juga mantan Dekan FISIP UMJ. Ditambahkan, pada akhirnya ketidakpercayaan terhadap penyelenggara pemilu bisa berakibat fatal karena bisa menimbulkan ketidakpercayaan pada pemimpin yang dihasilkan.
Menurut Endang Sulastri mengutip pengertian dari International IDEA penyelenggara pemilu perlu memiliki independensi yakni posisi atau keadaan tidak terkait pihak mananpun. Selanjutnya imparsialitas yakni memperlakukan semua pesera pemilu secara merata, adil dan setara tanpa sedikitpun memberikan keuntungan kepada kelompok tertentu. Sedangkan unsur integritas menyangkut keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran.
Dr. Endang juga menjelaskan bahwa lembaga penyelenggara pemilu ini sangat penting dalam kehidupan demokrasi karena dia merupakan lembaga atau organisasi yang memiliki tujuan dan bertanggung jawab secara legal untuk menuelenggarakan sebagian atau semua elemen yang esensial untuk menyelenggarakan pemilu. Ini adalah instrumen pelaksanaan demokrasi langsung seperti referendum dan pemungutan suara ulang.
Menentukan Demokrasi
Pemilu 2024 ini penting terlaksana dengan lancar karena akan menentukan masa depan demokrasi Indonesia. Mengenai kerumitan Pemilu Serentak 2024, Endang Sulastri mencatat bahwa akan ada pemilihan anggota DPR di 80 daerah pemilihan, DPD RI di 34 daerah pemilihan, DPRD Provinsi di 272 daerah pemilihan dan anggota DPRD Kabupaten/Kota di 2.306 daerah pemilihan. Selain itu pemilih juga menentukan Presiden dan Wakil Presiden.
Catatan lainnya, pada tahun 2024 juga akan ada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupat/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota secara serentak sebanyak 567 daerah pemilihan dengan pejabat Gubernur sebanyak 24 dan pejabat Bupati/Walikota sebanyak 247.
Sementara itu berdasarkan pengalaman tahun 2019, rakyat secara langsung memilih anggota DPR pusat, DPD dan DPRD tingkat Provinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota. Pada Pemilu tahun 2019 rakyat memilih 575 anggota DPR, 136 anggota DPD, 2.207 anggota DPRD Provinsi dan 17.610 anggota DPRD Kota/Kabupaten. Pemilih tidak hanya menentukan wakil rakyat di tingkat pusat dan daerah, tapi juga memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia secara langsung.
Dengan tanggung jawab yang besar tersebut penyelenggara pemilu (dalam hal ini adalah Komisi Pemilihan Umum: KPU) diharapkan dapat berperan penting. KPU diharapkan mampu menjaga kualitas pemilu agar bisa berlangsung secara jujur adil bebas rahasia, dan tak boleh terjebak pada pemilu yang hanya formalitas atau prosedural semata. Sebagai sebuah institusi yang anggotanya dipilih lima tahun sekali, keberadaan anggota KPU ini sangat penting.
Anggota KPU yang saat ini sedang dalam proses seleksi di DPR diharapkan memiliki integritas dan profesionalitas yang mampu mewujudkan proses pemilu yang terukur dan berkualitas. Calon anggota KPU yang akan diseleksi terdiri atas 10 lelaki dan 4 perempuan. Mereka dalam urutan abjad adalah August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Dahliah, Hasyim Asy’ari, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Idham Holik, Iffa Rosita, Iwan Rompo Banne, Mochamad Afifuddin, Muchamad Ali Safa’at, Parsadaan Harahap, Viryan, Yessy Yaty Momongan, dan Yulianto Sudrajat. DPR dijadwalkan akan memulai proses seleksi minggu depan.
Hasil pemilu akan memberikan dampak terhadap perjalanan demokrasi Indonesia. Penyelenggara pemilu yang tak memiliki integritas akan menyebabkan menurunnya demokrasi dan menghasilkan pemilu yang distortif. Pasca pemilu 2019, misalnya, publik menyaksikan salah satu komisioner KPU RI terkena OTT KPK. Selain itu, keanehan-keanehan yang dibuat KPU seperti pengumuman hasil Pilpres ditengah malam (Pukul 02:30 WIB) menimbulkan kebingungan publik. Demikian juga dengan keputusan KPU untuk menggunakan kardus sebagai kotak suara, telah banyak menimbulkan kontroversi di tengah publik. (Asep Setiawan)