Al-Majîd, Allah Yang Maha Memuliakan
Lafaz al-Majîd bermakna Yang Mulia. Lafal al-Majîd yang mensifati Allah dan sekaligus nama agung bagi Allah bermakan Allah Yang Maha Mulia atau Allah Yang Maha Memuliakan. Di dalam al-Qur’an kata sifat al-Majîd disebut pada empat tempat. Tiga di antaranya menyifati al-Qur’an yakni pada surah al-Burûj: 15 dan 21, serta surah Qaf: 1. Adapun kata al-Majîd yang mensifati Allah terdapat pada surah Hud: 73,yang berbunyi,
قَالُوا أَتَعْجَبِينَ مِنْ أَمْرِ اللّهِ ۖ رَحْمَتُ اللّهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الْبَيْتِ ۚ إِنَّهُ حَمِيدٌ مَّجِيدٌ
Para malaikat itu berkata, “Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah”.
Makna “Mulia” pada kata al-Majîd tertuju pada dua aspek, pertama menjelaskan bahwa Allah adalah Zat Yang Maha Mulia, dan kedua menjelaskan bahwa dengan kemuliaan-Nya Allah memuliakan makhluk-Nya. Dengan demikian, Allah tidak akan pernah menghinakan makhluk-Nya, dan “Mulia” merupakan sifat azali Allah.
Berdasarkan sifat Mulia dan Memuliakan, manusia sebagai makhluk Allah harus menyadari sedalam-dalamnya bahwa dirinya telah dimuliakan oleh Allah (QS. Al-Isra’ [17]: 70]. Oleh karena itu, kesadaran itu harus membangkitkan semangat untuk juga selalu memuliakan Allah dalam kondisi apapun. Konsekuensinya dalam kehidupan sehari-hari, kita harus memuliakan sesama manusia dan sesama makhluk. Hal ini dilakukan karena dengan segala kemuliaan-Nya, Allah telah memuliakan kita.
Sebenarnya tanpa kita memuliakan-Nya, Allah tetap Zat Yang Maha Mulia. Namun, sebagai bentuk ketundukan dan kepatuhan kepada Allah, manusia wajib memuliakan Allah secara hubungan vertikal. Selanjutnya untuk hubungan horizontal manusia juga wajib memuliakan manusia lain dan makhluk-makhluk Allah yang lain karena mereka semua (manusia dan makhluk lain) telah dimuliakan Allah juga.
Jika kita menghinakan manusia lain berarti kita telah menghinakan makhluk yang telah dimuliakan oleh Allah. Hal ini sangat bertentangan dengan aqidah Islamiyah. Sebaliknya sifat memuliakan Allah dan orang lain merupakan bentuk sikap ketakwaan kepada Allah, yakni menciptakan kemuliaan dan kebaikan (QS. Al-Nahl [16]: 30). Wallahu a’lam.
Ustadi Hamsah, Department of Religious Studies Faculty of Ushuluddin (Islamic Theology & Thought) State Islamic University Sunan KalijagaYogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 9 Tahun 2019