Internasionalisasi Muhammadiyah: Wadah Syiar Islam Berkemajuan di Mancanegara

MANCANEGARA, Suara Muhammadiyah – Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar telah mengamanatkan kepada segenap pimpinan Muhammadiyah beserta kader dan aktivisnya untuk melakukan intenasionalisasi Islam berkemajuan. Selama satu abad Muhammadiyah telah menterjemahkan pemahaman atas Islam yang progresif dan bekemajuan dalam bentuk amal-amal sosial, dakwah, pendidikan, kesehatan, kebudayaan dan sebagainya. Maka tepat jika di momentum Muktamar yang lalu Muhammadiyah mengamanatkan kita untuk mengeksplorasi segala potensi diri serta melakukan internasionalisasi ajaran Islam yang rahmatan lil alamin.

Hingga saat ini tercatat ada 23 Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) yang tersebar di berbagai benua dan negara. Capaian ini merupakan sebuah bentuk ikhtiar dan syiar dakwah Islam berkemajuan kepada masyarakat dunia. Sehingga Islam menjadi ajaran agama kontekstual yang benar-benar dipahami dan diamalkan. Oleh karena itu, untuk meneguhkan kembali tali persaudaraan antar warga persyarikatan di seluruh dunia, Pimpinan Pusat Muhammadiyah bersama seluruh PCIM menyelenggarakan pengajian umum dengan tema “Bermuhammadiyah di Mancanegara” (14/1).

Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah mengatakan bahwa agenda ini bisa disebut sebagai pengajian internasional karena menghadirkan narasumber dari 3 benua. Hal ini sekaligus menggambarkan jangkauan Muhammadiyah yang luas mencakup hampir seluruh negara di dunia. “Internasionalisasi yang dilakukan Muhammadiyah ini merupakan bagian dari usaha untuk melaksanakan keputusan Muktamar Makassar ke-47. Agenda ini akan lebih kita perkuat dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo, November tahun ini,” ujarnya.

Lebih dari itu Mu’ti menegaskan bahwa Muhammadiyah tak henti-hentinya menyemai risalah kenabian Muhammad untuk mewujudkan Islam yang memberikan rahmat bagi semesta. Meski secara implisit tidak mengkaji ayat kauliyah, silaturahmi tersebut tetap melakukan kajian ayat yang bersifat kauniyah melalui 3 narasumber yang memiliki latar belakang pengalaman dan keilmuan yang berbeda-beda. “Mudah-mudahan pengajian ini bisa menjadi inspirasi untuk kita berkhidmat dan bermuhammadiyah, baik di Tanah Air maupun mancanegara. Karena mereka yang berada di mancanegara pun memiliki semangat yang tinggi untuk berdakwah di tengah berbagai kesibukan dan keterbatasan yang ada,” pesannya.

Syamsul Hidayat Daud, Ketua PCIM Turki menyampaikan, kebijakan pemerintah Turki mencabut larangan jilbab di ruang publik atau kebijakan menambah jumlah sekolah agama yang dikhususkan untuk mendidik imam dan khatib di masjid-masjid, yang angkanya bisa dibilang sangat signifikan menunjukkan bahwa umat Islam di Turki selalu menunggu keterlibatan negara terlebih dahulu. Berbeda dengan umat Islam Indonesia, kita bisa secara mandiri menentukan apa saja yang harus dilakukan, tanpa menunggu uluran tangan dari negara.

“Sangat tepat apa yang dilakukan oleh Muhammadiyah yang memiliki konsen tersendiri di dalam ranah pendidikan, sosial, dan keagamaan,” ungkap Hidayat dalam akun youtube Muhammadiyah Channel.

Tantangan dakwah PCIM Turki kontemporer menjadi diskursus tersendiri yang berkelanjutan, di antaranya pertentangan antara Islam dan sekulerisme di Turki. Secara umum ada lima fungsi PCIM, garis besarnya adalah sebagai wadah silaturahmi antar anggota dan wadah pembinaan organisasi serta ideologi Muhammadiyah. Selain itu sebagai mediator bagi persyarikatan dengan pemerintah dan lembaga setempat. (diko)

Exit mobile version