Reforma Agraria, Ikhtiar Pemenuhan Berkeadilan Hak Pangan dan Hak Mukim Rakyat
Oleh: Yana Fajar Basori dan Amalia Nur Milla
Istilah land reform seringkali dipergunakan secara bergantian dengan agrarian reform walau tidak persis sama. Agrarian reform memiliki arti yang lebih luas daripada land reform, yang tidak hanya memuat pengertian redistribusi lahan tetapi juga penyediaan infrastuktur serta layanan menghidupkan tanah. Menurut Wiradi, agrarian reform (reforma agraria) adalah land reform ditambah dengan program penunjang. Inti reforma agraria memang land reform atau melakukan land reform saja tanpa program penunjang, masih bisa disebut reforma agraria, sebaliknya jika hanya program penunjang tanpa land reform tidak dapat disebut reforma agraria (Saluang, 2019: 316; Lipton, 2009: 328-331).
Penjelasan UUPA 1960 bagian II angka (7) menyebutkan: “…apa yang disebut ‘land reform’ atau ‘agrarian reform’, yaitu, bahwa,’tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri.” “Land reform atau agrarian reform, yaitu upaya-upaya untuk menata ulang struktur penguasaan tanah dengan jalan membatasi dan melakukan redistribusi penguasaan tanah-tanah yang berlebihan serta redistribusi terhadap tanah-tanah negara dan memberikan prioritas kepada penguatan ekonomi rakyat di pedesaan yang diikuti dengan pemberian kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan, sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain, dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain.” (Penjelasan UUPA 1960).
Pengurusan Land Reform
Pengurusan land reform dipahami sebagai ikhtiar meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, untuk kesatuan dan kesederhanaan sistem hukum pertanahan, serta meletakkan dasar-dasar untuk kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya yang akan menjadi alat untuk membawakan kemakmuran, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (Penjelasan UUPA 1960). Pengurusan land reform di Indonesia, yaitu berdasarkan UUPA No. 5/1960, disebut Gouwgioksiong (1961: 549), “memajukan azas nasionalisme yang kuat yang memungkinkan warga negara Indonesia untuk mendapat hak-hak kepemilikan dan penggunaan yang penuh atas tanah.”
Soemardjan (1962) meringkas prinsip-prinsip UUPA No. 5/1960 sebagai berikut: (1) lahan pertanian untuk petani, (2) hak kepemilikan tanah, seperti kepemilikan pribadi, secara eksklusif untuk warga negara Indonesia, tetapi warga negara asing dapat memperoleh hak sekunder untuk menyewa atau menggunakan tanah dengan batasan waktu dan luasan tanah yang ditetapkan oleh hukum, (3) kepemilikan tanah secara absentee, tidak diperbolehkan kecuali untuk orang-orang yang sedang menjalankan tugas negara dan untuk kasus luar biasa lainnya, (4) petani yang secara ekonomi lemah harus dilindungi dari mereka yang menempati posisi yang lebih kuat.
Landasan negara untuk mengurus land reform di Indonesia dimulai dengan penetapan larangan tanah perdikan (UU No. 13/1946), penyediaan lahan untuk cabang produksi penting (UU No. 13/1948) serta penghapusan tanah partikelir (UU No. 1/1958), UU No. 5/1960 tentang Pokok-Pokok Peraturan Agraria (UUPA) serta Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria. Implementasi land reform diberlakukan melalui ketentuan pembatasan kepemilikan lahan, larangan kepemilikan secara absentee serta kewenangan negara untuk membagikan tanah-tanah tersebut kepada rakyat petani yang paling membutuhkan (Safitri, 2018: 87-110).
UUPA No.5/1960 yang diikuti dengan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 56/Prp/1961 tentang Pembatasan Tanah Pertanian, dan Peraturan Pemerintah No. 224/1961 tentang Redistribusi Tanah dan Prosedur Ganti Rugi, serta UU No. 21/1961 tentang Pengadilan Land Reform merupakan kerangka pelaksanaan program land reform yang bertujuan membatasi kepemilikan lahan individual (Bachriadi dan Wiradi, 2011). Implementasi land reform yang sesuai dengan amanah UUPA 1960 hanya sempat dijalankan selama kurun waktu 4 tahun, sejak 1961 hingga 1965, yaitu berakhirnya rezim Soekarno dan menjadi awal berkuasanya Orde Baru.
Orde Baru mengubah politik pengurusan agraria dengan lebih memperhatikan investasi modal asing, tidak menetapkan pembatalan UUPA 1960 namun memandulkannya. Orde Baru (1966-1998) mengubah politik agraria yang dilanjutkan oleh rezim berikutnya. Orde Baru bertolak belakang dengan rezim sebelumnya yang berpandangan land for people dan land to the tiller yang dijalankan melalui land reform. Sejak berkuasa, terjadi misplaced jurisdiction over agrarian reform yang berlangsung terus hingga penetapan UU No. 12/2020 tentang Cipta Kerja yang mereduksi berbagai ketentuan terkait dengan agraria. UUPA tidak dijadikan dasar pedoman peraturan perundang-undangan untuk sumber-sumber agraria (Kartodihardjo, 2011).
Landreform, Hak Pangan dan Hak Mukim
Pascarezim Orde Baru, upaya menempatkan reforma agraria menjadi rujukan kebijakan dalam pembangunan nasional bisa berhasil dengan dikeluarkannya TAP MPR No. IX/2001. Tahun 2007, Presiden SBY mengumumkan program Pembaharuan Agraria Nasional, yang mulai dilaksanakan pada 2010. Terbitnya Perpres No. 86/2018 tentang Reforma Agraria memperkuat harapan tersebut. Namun demikian, secara umum kementerian atau lembaga yang terkait dengan pelaksanaan reforma agraria belum melakukan kerja-kerjanya dengan maksimal.
Ketimbang menjalankan land reform, pemerintah Jokowi (2014-2019) mengulang kesalahan yang sama dari rezim sebelumnya: sertifikasi tanah menjadi unggulan dan diklaim sebagai implementasi land reform. Capaian target 9 (sembilan) juta hektar plus 18 ribu bidang dalam kerangka reforma agraria menunjukkan redistribusi tanah 29,7%, legalisasi aset 51,9% dan legalisasi tanah transmigran 19,16%, pelepasan kawasan hutan 0,24%, IP4T 30,62% (KPA, 2018). Besarnya capaian legalisasi asset memperlihatkan itikad pemerintah untuk merombak ketimpangan struktur agraria belum kuat. Alih-alih menata ulang penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah yang timpang terlebih dahulu, pemerintah justru langsung mempercepat proses sertifikasi tanah.
Makna pembukaan UUD 1945 alinea keempat terkandung fungsi dan sekaligus tujuan negara Indonesia yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kebutuhan pokok manusia adalah pangan, sandang dan papan.
Prioritas pembangunan yang dilakukan hendaknya mengarah pada pemenuhan hak warga negara akan hak pangan dan hak mukim (papan) yang merupakan kewajiban negara dalam memenuhinya. Melalui land reform, sebenarnya pemerintah dapat menunaikan kewajibannya. Bagaimanapun lahan adalah dasar usaha tani, tidak ada kegiatan pertanian tanpa adanya lahan. Pertanian adalah penyumbang ketersediaan pangan. Demikan juga dengan hak mukim. Pemukiman sangat memerlukan lahan. Kepemilikan lahan bagi rakyat perlu dipenuhi oleh pemerintah sebagai penyelenggara negara sehingga menjadi strategi pembangunan untuk memenuhi hak pangan dan hak mukim bagi rakyat Indonesia. Lebih dari itu, land reform senantiasa relevan dengan konteks kecenderungan global, di antaranya pemenuhan lahan untuk hunian serta jaminan ketahanan pangan dan pertanian berkelanjutan.[]
Yana Fajar Basori, Dosen Prodi Ilmu Administrasi Publik FIAH Universitas Muhammadiyah Sukabumi
Amalia Nur Milla, Dosen Prodi Agribisnis FAPERTA Universitas Muhammadiyah Sukabumi