Politik Silaturahmi
Oleh: Immawan Wahyudi
DALAM perspektif masa lalu, silatrahmi mempunyai kekuatan yang ampuh dan efekktif untuk menjaga kekeluargaan, kebersamaan dan persahabatan. Silaturahmi dalam tataran ini bersifat normatif dan terkait dengan empati, kepedulian dan saling menolong. Di samping landasan yuridis-etiknya dalah al-Qur’an dan as-Sunnah, silaturahmi juga berhubungan dengan semangat kekeluargaan yang di pedesaan disebut dengan trah atau istilah lain yang sejenis. Mungkin silaturahmi tipe ini bisa diklaim yang paling autentik.
Semakin maju dan modern kultur masyarakat semakin banyak residu sosial yang dihasilkannya. Muncullah gagasan silaturahmi yang terkait dengan kedinasan, orientasi keanggotaan Ormas (organisasi massa) atau Orpol (organisasi politik). Dalam tataran ini silaturahmi menjadi lebih bersifat struktural (atasan dan bawahan), resmi, dan tentu mengandung keperluan spesifik dan dengan cara (termasuk biaya) yang spesifik pula.
Semakin besar keuntungan yang diharapkan akan semakin besar pula biaya sosial dan finansialnya. Dengan tidak bermaksud mengecilkan arti silaturahmi semacam ini, namun jika dilhat dari gelagat dan cara yang ditempuh silaturahmi ini autensitasnya cukup diragukan, sebagaimana disindir dalam al-Qur’an : “..tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syatta..” (al-Hasyr (59): 14).
Dalam konteks kekinian, dimana Ummat Islam Indonesia sedang mengalami berbagai rongrongan, pelecehan dan ancaman terhadap para ‘Ulama, silaturahmi kadang muncul sebagai harapan dan dalam bahasa yang lebih politis: Ummat Islam harus bersatu. Dalam diksi bersatu ini, istilah silaturahmi kurang muncul, Padahal politik Ummat islam ya silaturahmi. Sarana untuk bisa bersatu mesti harus melalui semangat silaturahmi.
Jawaban atas seruan Ummat Islam harus bersatu pun variatif. Ada yang semangat menyambut seruan itu dan menghubungkannya dengan problematika politik saat ini. Ada pula yang skeptis, tidak mengiyakan tidak pula menidakkan. Dalam bahasa anak muda EGP (emnagnya gue pikirin). Namun ada pula yang menyepelekan seruan bersatu itu. Mungkin, dalam prasangkanya, diksi berssatu malah merugikan mereka.
Mungkin juga mendasarkan pada realita: Ummat Islam Indonesia makin hari makin variatif beban morilnya karena friksi baik dalam dalam konteks khilafiyah maupun orientasi politik.. Muncullah rumus pesimistis: “sepanjang urusan sentimen baik pribadi maupun kelompok belum bisa diturunkan tensinya maka persatuan adalah istilah yang terlalu mewah untuk Ummat Islam.
Dalam pilihan silaturahmi yang manapun, kehebohan politik akhir-akhir ini yang terkait dengan eksistensi dan peran Ummat Islam Indonesia kita harus memertimbangkan politik silaturahmi dengan seksama. Kalau silaturahmi zaman pra kemerdekaan dengan segala keterbatasannya bisa menghasilkan Indonesia Merdeka maka sudah seharusnya silaturahmi masa kemajuan saat ini bisa dijadikan tonggak memperkuat eksistensi dan peran Ummat Islam dalam kancah pembangunan nasional secara menyeluruh. Urusan yang secara mutlak harus diselesaikan adalah sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 103 yang artinya:
“dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.”.
Wallahu a’lamu bi ash-Shawaab.
Immawan Wahyudi, Dosen FH UAD