Melampaui Formalisme Islam: Membaca Pemikiran Keagamaan Malik Fadjar

Melampaui Formalisme Islam: Membaca Pemikiran Keagamaan Malik Fadjar

Oleh: Pradana Boy ZTF

NAMA besar Pak Malik Fadjar tak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia, khususnya pendidikan tinggi, tidak lepas dari pemikiran dan visi futurisnya. Sosok Pak Malik juga tidak mungkin bisa dilepaskan dari politik dan visi kebangsaan. Kiprahnya dalam mewarnai proses-proses politik di Indonesia pada masa hidupnya, melalui aneka jabatan politik yang ia sandang, adalah bukti yang terlampau gamblang. Namun, di balik pemikiran dan kiprahnya dalam dunia pendidikan dan politik, ada dimensi lain yang jarang disentuh oleh publik, yakni pemikiran keagamaan. Walaupun pernah menjabat sebagai Menteri Agama, rupanya jarang sekali ada yang membahas pemikiran keagamaan Pak Malik ini.

Wacana Keilmuan dan Keislaman

Salah satu percik pemikiran Pak Malik dalam bidang keagamaan adalah sebuah jargon yang lalu digunakan di dua universitas: Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Jargon itu berbunyi: Wacana Keilmuan dan Keislaman. Secara umum, ungkapan ini bermakna bahwa perguruan tinggi Muhammadiyah hendaknya menjadi lahan bagi tumbuhnya aneka ragam ilmu pengetahuan dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pembingkai. Dengan demikian, nilai-nilai Islam akan mampu menjadi pembatas dan warna dalam aneka praktek kehidupan, tak terkecuali dalam bidang ilmu pengetahuan.

Karena nilai Islam adalah bingkai yang membatasi dan mewarnai semua bidang kehidupan, Pak Malik memandang praktik keberagamaan Islam bukanlah sesuatu yang terpisah dari aspek-aspek kehidupan manusia secara luas. Itu juga bermakna bahwa ajaran agama sesungguhnya berdialog dengan sejarah kemanusiaan sepanjang zaman. Dengan demikian, mengajarkan sejarah menjadi sangat penting. Dalam konteks keberagamaan di Indonesia belakangan ini, publik secara kasat mata menyaksikan gelombang semangat baru dalam beragama di kalangan masyarakat. Itu hal yang positif. Sayangnya, aktor-aktor yang terlibat dalam gelombang itu terjebak pada sikap pemutlakan, pada aspek-aspek yang seharusnya nisbi.

Dalam pemikiran fiqih Islam, pembahasan soal yang mutlak dan yang nisbi selalu mewarnai. Lagipula, bukankah fiqih sendiri adalah produk pemikiran para sarjana yang terbingkai ketakseragaman waktu, lokasi, orientasi, pengalaman individu, bahkan kebudayaan? Maka fiqih berubah-ubah, tetapi sumber dan tujuan dari fiqih itulah yang abadi. Maka fiqih adalah nisbi. Sedangkan al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber dan maqashid sebagai tujuan bersifat kedap masa.

Pak Malik bukanlah seorang ahli fiqih dalam arti formal. Namun, saat memimpin UMM, Pak Malik mengajak, tak hanya civitas akademika UMM, tetapi juga masyarakat Muslim secara luas, untuk memandang ajaran agama dalam sesuai dengan kadarnya. Jika berkadar nisbi, praktikkan sebagai kenisbian. Jika berbobot mutlak jangan coba dinisbikan. Sesungguhnya, itulah salah satu hakikat pemikiran para fuqaha’. Pada kebijakan tidak mewajibkan jilbab bagi mahasiswi UMM, saya melihat, ada misi Pak Malik untuk memandang agama dengan proporsional. Maka, di antara banyak contoh lainnya, kebijakan ini menarik untuk dihadirkan.

Melampaui Formalisme

Mungkin tak banyak yang menyadari fakta bahwa di UMM, mahasiswi tidak diwajibkan berjilbab. Begitu menyadarinya, aneka ragam respons bermunculan. Ada yang berpandangan kebijakan ini tak sejalan dengan identitas UMM sebagai sebuah perguruan tinggi Islam. Ingatan saya lalu melayang ke pertengahan dasawarsa 1990-an. Ketika itu sebagai siswa sekolah menjelang yang menjelang lulus, saya membaca berita tentang Pak Malik di sebuah koran yang bisa diakses dari kawasan pesisir utara Lamongan. Di antara banyak hal, berita itu menyinggung tentang kebijakan tak wajib jilbab di UMM. Saya mengernyitkan dahi, mencoba memahami berita ini dengan nalar seorang remaja belia. Tentu hanya kebingungan yang saya alami.

Tak sedikit pula orangtua mahasiswa yang melontarkan tanya seputar masalah ini. Tak berhenti pada kata tanya, ada juga yang melangkah lebih jauh dengan melempar kritik. Pak Malik, sebagai Rektor UMM pada saat itu, mengakui sering menerima kritik atas persoalan ini. Tentu, hal yang sama juga dialami oleh para penerusnya. Lontaran kritik itu wajar belaka, karena bagi yang tak memahami secara mendalam, ketidakwajiban berjilbab di UMM itu, lalu dibaca sebagai upaya pengikisan nilai-nilai Islam oleh UMM. Ada pula yang menanggapi fakta itu dengan anggapan bahwa UMM merupakan sebuah kampus Islam yang mengusung nilai-nilai sekular.

Berbeda dengan pandangan-pandangan tersebut, Pak Malik justru memandangnya sebagai salah satu bentuk penerjemahan dari Islam sebagai agama universal. Pak Malik menyatakan, “Saya menerima kritik itu. Tapi jangan saya diseret kepada formalisme kosong. Islam jangan dipersempit dengan sekadar jilbab, gaya kearab-araban.”

Apakah itu berarti Pak Malik anti-jilbab? Saya tak melihatnya demikian. Karena jika anti, maka bukan kebijakan tidak wajib jilbab yang dikeluarkan, melainkan kebijakan larangan berjilbab. Apa yang terjadi adalah tidak wajib berjilbab, tetapi tidak melarang jilbab. Bahkan belakangan, ketika kontroversi tentang cadar merebak, UMM tak pula melarang mahasiswi bercadar. Maka, sekali lagi, kebijakan soal jilbab ini hanyalah salah satu contoh saja bagaimana Pak Malik menerjemahkan visi keagamaannya yang luwes.

Secara khusus, ada beberapa poin penting yang bisa digarisbawahi.

Pada posisi pertama, Pak Malik hendak mengajarkan kepada umat bahwa Islam dan Arab tidaklah identik. Islam itu universal, sementara Arab adalah partikular. Bahwa Islam turun di Arab, dan elemen-elemen kearaban turut mewarnai Islam, adalah benar. Tetapi melakukan identifikasi buta atas Arab dan Islam akan mendistorsi Islam yang universal itu menjadi partikular.

Tidak pula berarti bahwa Pak Malik memandang jilbab bukan ajaran Islam. Namun pesan yang tersirat, janganlah mereduksi Islam semata-mata sebagai kebudayaan Arab. Reduksi semacam inilah yang oleh Pak Malik disebut sebagai formalisme kosong tadi. Di dalamnya terdapat kritik: jangan hanya membesarkan formalisme beragama, sementara wadah yang bernama formalisme itu nyatanya kosong dari nilai.

Pandangan Pak Malik ini sangat sosiologis sifatnya. Faktanya, Arab sendiri adalah sebuah konteks budaya yang tidak tunggal. Dengan begitu, identifikasi Arab sebagai Islam secara kategoris mengandung masalah. Saya teringat sebuah percakapan dengan seorang kawan dari Lebanon, yang kebetulan pada tahun 2017 lalu sama-sama sebagai International Fellow di King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID), Austria.

Syaikh Hassan al-Amin, nama kawan itu, bercerita bahwa jika berkeliling ke berbagai negara di Dunia Arab, maka akan didapati model dan bentuk jilbab yang tidak seragam di berbagai negara Arab itu. Bentuk dan model jilbab yang dipakai di Irak, kata Hassan al-Amin, akan berbeda dengan dengan yang berkembang di Saudi. Demikian pula bentuk dan model jilbab di Syiria berbeda dengan yang dipakai oleh wanita-wanita di Kuwait.

“Jika bentuk jilbab dimutlakkan sebagai bagian dari ajaran Islam, lalu jilbab di negara manakah yang paling layak disebut sebagai Islami?” demikian Hassan al-Amin. Maka, ketidakwajiban berjilbab bagi mahasiswi UMM ini, tidak boleh dibaca dari satu arah. Karena pada saat yang sama, UMM tidak melarang mahasiswi memakai cadar.

Bagi mereka yang memandang bahwa menjalankan ajaran Islam, atau bahkan Islam itu sendiri adalah sebangun dengan formalisme, arabisme dan ritualisme; maka pernyataan singkat Pak Malik di atas akan sangat menyinggung. Seolah-olah Pak Malik melakukan reduksi terhadap ajaran Islam sebagai budaya Arab. Namun sejatinya, prinsip Pak Malik itu menyatakan sikapnya tentang bagaimana seharusnya agama, nilai, identitas dan kebudayaan ditempatkan pada posisinya masing-masing.  (Bersambung)

Pradana Boy ZTF, Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang

Sumber: Majalah SM Edisi 3 Tahun 2021

Exit mobile version