Membentuk Kader Pembela Kaum Mustadh’afin

kiai dahlan KH Ahmad Dahlan

K.H Ahmad Dahlan Foto Istimewa

Membentuk Kader Pembela Kaum Mustadh’afin

Oleh : Immawan Wahyudi

Intelektual punya makna : orang yang memiliki kemampuan pemikran dan komitmen sosial dan melibatkan diri dengan persoalan yang dihadapi masyarakat dengan terus berusaha mencari sosulsi atas problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat. Adapun Sarjana : secara harfiah artinya orang menyelesaikan studi di tingkat perguruan tinggi, tetapi secara historis adalah orang yang berhati-hati dalam berbagai hal yang dihadapi. Kader : orang yang telah menyetujui suatu tujuan tertentu dan secara terus menerus memperjuangkan tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

Saya akan memulai bahasan ini dengan meminjam filsafat politik dari Imanuel Kant yang ditulis oleh Howard Williams –yang diterbitkan oleh DPP IMM. Bukan hanya pemikiran substantif Emanuel Kant yang religius perlu kita gunakan dalam membahas topik kepedulian dan pembelaan terhadap kaum tertindas, tapi secara khusus saya ingin mengapresiasi kecenderungan kuat dari adik-adik yang memimpin IMM –di level manapun— yang mengunakan pendekatan ilmiah. Sebab itu buku yang berkualitas perlu kita apresiasi dengan membaca dan menjadikannnya rujukan.

Dalam buku Filsafat Politik Kant, diutarakan bahwa Kant membuat perbedaan penting dalam membas teori moral dalam politik. Menurut Kant politisi moral adalah orang yang memahami prinsip-prinsip kearifan politik sedemikian rupa sehingga ia bisa hidup dengan moralitas. Sedangkan moralis politik adalah orang yang mereka-reka moralitas supaya cocok dengan kalangan negarawan. Politisi moral tidak terjerumus dalam kubangan ambisi dan pencarian kekuasaan. Moralis politik menggabungkan antara politik dengan moralitas dengan cara yang sepenuhnya salah. Moralis politik memanfaatkan hasrat alami manusia untuk melihat tujuan pemimpin mereka dari sisi moral untuk menciptakan suatu etika yang hanya memenuhi tujuan segelintir orang yang berkuasa. (halaman 54 – 56)

Sengaja saya kutip agak rinci pemikiran filosofis ini untuk kemudian mari kita muhasabah, apakah status intelektualias juga terkena wabah penyakit “penghamba kekuasaan.” Sekedar ilustrasi apakah gelar “mahasiswa” telah kita gunakan untuk suatu tujuan ibadah dan gerakan sosial mulia atau kita gunakan “jaket anggun mahasiswa” untuk orientasi kepada hal-hal yang berbeda dengan makna substantif status mahasiswa atau gelar akademik yang kita sandang. Saya punya teman yang sedang jadi orang penting di suatu kampus negeri dengan jabatan akademiki dan gelar tertinggi yang merasa heran ada banyak orang yang mendatanginya untuk tujuan bagaimana caranya bisa memperoleh gelar profesor.

Jadi, alih-alih sikapnya sebagai intelektual sudah masuk pada fase persiapan –paling tidak– untuk mengemban tugas-tugas sosial karena adanya amanah gelar yang prestisius, tapi justru gelar itu sendiri menjadi tujuan dan dijadikan sebagai sumber kebanggaan tanpa makna. Sangat sulit diasumsikan bahwa tipologi pemegang gelar semacam ini akan menjadi orang yang setipe dengan moralis politik.

Makna Mustadh’afin

Makna mendalam Mustad’afin dalam konteks sosial saat ini, perlu kita fahami secara mendeksati otentik dari al-Qur’an. Istilah mustad’afin disebutkan dalam al-Qur’an pada 4 ayat yang kesemuanya dalam surat an-Nisa’ : yakni ayat 75, 97 dan 98 (yang berarti tertindas) dalam kaitan peristiwa hijrah dari Mekah ke Madinah. Satu ayat lainnya yakni ayat 127 diterangkan dalam tafsir Ibnu Katsir, istilah mustad’afin berarti lemah dan terkait dengan peristiwa perkawinan. Ada satu ayat lainnya yakni ayat 26 surat dalam surat al Anfal menggunakan istilah al-mustad’afuun yang juga berarti tertindas. (al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fadz al-Qur’an, 1981, hal. 421).

Surat an-Nisa’ ayat 75:

وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا

Artinya; “mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Ya Tuhan Kami, keluarkanlah Kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah Kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah Kami penolong dari sisi Engkau!”.

Dalam ayat 97 dan 98 surat an-Nisa’ artinya sama dengan ayat 75. Sedang Firman allah dalam surat an-Nisa ayat 127 :

وَيَسْتَفْتُوْنَكَ فِى النِّسَاۤءِۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِيْهِنَّ ۙوَمَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ فِى الْكِتٰبِ فِيْ يَتٰمَى النِّسَاۤءِ الّٰتِيْ لَا تُؤْتُوْنَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُوْنَ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْوِلْدَانِۙ وَاَنْ تَقُوْمُوْا لِلْيَتٰمٰى بِالْقِسْطِ ۗوَمَا تَفْعَلُوْا مِنْ خَيْرٍ فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ بِهٖ عَلِيْمًا

Artinya: “dan mereka minta fatwa kepadamu tentang Para wanita. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya.”

Adapun firman Allah dalam surat al-Anfal ayat 26

وَاذْكُرُوْٓا اِذْ اَنْتُمْ قَلِيْلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فِى الْاَرْضِ تَخَافُوْنَ اَنْ يَّتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَاٰوٰىكُمْ وَاَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهٖ وَرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Artinya; “dan ingatlah (hai Para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, Maka Allah memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezeki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”

Dalam kamus bahasa Arab istilah dha’if bisa berarti dha’if secara fisik, secara akal (bodoh, dungu), lemah kemauan, lemah hati (penakut). (Kamus Al-Munawwir, Arab Indonesia, Ahmad Warsun Munawwir, Ponpes al Munawwir Krapyak, 1984, hal. 88) Dalam arti yang berbeda kata dhaif justru berarti dobel (berlipat). Misanya dalam surat al-Furqan ayat 69

يُّضٰعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيٰمَةِ وَيَخْلُدْ فِيْهٖ مُهَانًا

Artinya: “(yakni) akan dilipat gandakan azab untuknya pada hari kiamat dan Dia akan kekal dalam azab itu, dalam Keadaan terhina.

Dari kutipan al-Qur’an tersebut arti mustadh’afin bisa dimaknai sebagai mereka orang-orang yang tertindas atau mereka orang-orang yang lemah. Status mustadh’afin ini harus jelas terlebih dahulu karena sebagai target gerakan yang cenderung gagal adalah gerakan yang tidak pernah mengidentifikasi secara rinci dan memperhitungkan akibat-akibat yang muncul sehingga sangat sulit untuk dicapai, jika tidak tercapai maka segera berakhir karena dampak yang ditimbulkan tidak terduga dan terantisipasi dengan baik.

Oleh sebab itu kita perlu bertanya secara radikal, apa sebenarnya problem yang mendasar yang dihadapi kaum mustadz’afin? KH. Hasyim Muzzadi dalam video yang beredar cukup lama menyebutkan bahwa di Indonesia isu kemiskinan sebenarnya lebih tepat disebut pemiskinan. Mengacu pada pendapat KH. Hasyim Muzadi maka kemiskinan di Indonesia bukan hanya karena persoalan warga tetapi sumber masalahnya justru ada pada hal yang mendasar yang merupakan wilayah kekuasaan pemerintah antara lain dalam peraturan perundang-undangan.

Amaliah Membela Kaum Mustadh’afin

Pembelaan terhadap kaum mustadh’afin yang fenomenal adalah apa yang oleh Prof Dien Syamsudin (yang mandegani gerakan) isebut sebagai “Gerakan jihad konstitusi.” Prof. Dien juga menegaskan bahwa ini merupakan gerakan” amar makruf nahi mungkar.” Gerakan ini berhasil dengan gemilang setelah Mahkamah Konstitusi pada 13 November 2012 mengabulkan uji materi Undang-undang Minyak dan Gas Bumi yang diajukan oleh Muhammadiyah. Dampak putusan dari putusan sangat strategis yakni : 1) Mahkamah Konstitusi membatalkan seluruh pasal tentang kedudukan, fungsi, dan tugas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan 2) oleh sebab itu Mahkamah Konstitusi menyatakan BP Migas harus dibubarkan. Melalui gerakan nyata jihad konstitusi ini, Muhammadiyah berhasil mengoreksi setiap undang-undang yang dianggap menabrak Undang-Undang Dasar 1945, agar sejalan dengan Pasal 33 UUD 1945 tentang Kedaulatan Ekonomi.

Dalam bahasa Allahuyarham Prof. Kunto Wijoyo ada istilah dakwah fungsional. Maksud dari almarhum Kunto Wijoyo diperlukan dakwah yang sejalan dengan realita hidup dari warga masyarakat. Jika dakwah di kalangan petani maka isu yang sejalan dengan konsep dakwah fungsional adalah dengan menyampaikan hal-hal yang bersesuaian dengan persoalan pertanian dan kehidupan kaum tani.

Dalam konteks kekinian dakwah yang sejalan dengan isu mustad’afin saat ini adalah isu-isu yang berkaitan persoalan kesulitan kehidupan ekonomi warga masyarakat di akar rumput. Pandemi Covid 19 sungguh-sungguh telah menjadikan kesulitan ekonomi warga masyarakat hampir secara keseluruhannya. Saya sebut hampir secara keseluruhan yang mengalami problem karena ada sebagian kecil usaha bisnis yang justru meningkat pesat karena berbisnis di bidang kesehatan atau yang terkait dengan urusan Covid 19.

Dalam bentuk yang kongkret bisa dilakukan oleh Warga Ikatan misalnya menyantuni para pengusaha dalam tiga makna : 1. Silaturahmi, 2. Mendengarkan apa problem mereke, 3. Bagaimana memberikan masukan agar para usahawan kelas menengah dan kelas bawah bisa survival. Demikian pula jika dakwah fungsional ini diterapkan di berbagai bidang sosial kemasyarakatan lainnya bisa diterapkan.

Beramal sosial dalam bentuk berfikir sebagai intelektual tidak akan kalah dengan amal sosial dalam bentuk membagi sembako, membagi segala macama yang dirasa diperlukan oleh warga masyarakat secara prgamtais. Bahkan mengacu pada hadits Nabi saw menuntut jika dibandingkan dengan ibadah –selain ibadah mahdlah—pahalanya lebih besar. Wallahu a’lamu bi ash-shawaab.

Semoga peristiwa sederhana ini (perkaderan dengan tema kepedulian kepada kaum mustadh’afin) bisa menjadi momentum untuk seluruh komponen Warga Persyarikatan dan utamanya Warga Ikatan untuk terus meningkatkan komitmennya dalam membela dan memperjuangkan kaum mustadh’afin. Aamiin.

Disampaikan dalam Studium General Perkaderan IMM Sleman

Immawan Wahyudi, Dosen FH Universitas Ahmad Dahlan (Uad) – Mantan Ketua Umum DPP (S) IMM Tahun 1985-1986

Exit mobile version