Kisah ‘Tongkat Nabi Musa’ di RS Pendidikan

Kisah ‘Tongkat Nabi Musa’ di RS Pendidikan

Foto Dok Ilustrasi

Kisah ‘Tongkat Nabi Musa’ di RS Pendidikan

Oleh: Wildan

Memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa.

(Pembukaan UUD 1945)

Tahun 1986 setelah lulus sebagai dokter jiwa, saya melapor ke Direktorat Kesehatan Jiwa Depkes RI, selanjutnya di tempatkan di salah satu RSJ di Jateng. Ketika  melapor , saya dapat wejangan dari Kepala Direktorat Kesehatan Jiwa, Prof. Kusumanto Setyonegaro, yang juga Guru Besar Psikiatri FK-UI, kira-kira demikian :”Gangguan jiwa itu identik dengan penderitaan manusia (human suffering), gangguan psikotik (bahasa awam, gila) merupakan puncak penderitaan  manusia, mereka tidak bisa membela diri dan memperjuangkan nasibnya”.

Kesan saya, beliau melakukan transfer of knowledge sekaligus transfer of value kepada diri saya, agar saya turut andil membela nasib para penyandang gangguan jiwa. Imunisasi untuk mencegah gangguan jiwa hingga saat ini belum ditemukan. Gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Brain, mind and behaviour, otak, jiwa dan perilaku. Otak sehat, jiwa sehat; otak terganggu, jiwa pun terganggu. Oleh karena itu, batas sehat jiwa dan gangguan jiwa tidak selalu tegas seperti perbedaan warna hitam dan putih, kadang abu-abu. Tidak selalu orang yang tampaknya sehat jiwanya perilakunya logis dan realistis.

‘Tongkat Nabi Musa’ dan RS Pendidikan

Tahun 2010, setelah pensiun saya melamar dan dapat pekerjaan sebagai salah satu pengajar di FK-Universitas Swasta di DIY. Selain mengajar satu mata kuliah psikiatri juga mendapat tugas sebagai Dokter Pendidik Klinis para Koas, baik di Puskesmas  maupun di  Poli Jiwa RSU Swasta, sebagai lahan pendidikan yang saat itu statusnya RSU Tipe C.

Era BPJS tiba, BPJS sukses menjadi BPJS (Bikin Pasien Jadi Senang), dulunya pasien jiwa antara ada dan tiada, berubah jadi ‘Laut Merah’ pasien jiwa. Ibaratnya saya sebagai guru calon petinju yang handal, para Koas punya ‘sparring partner’  karena jumlah pasien jiwa yang cukup memadai. Atau, saya sebagai guru renang, para Koas calon perenang yang hebat harapannya, mereka punya ‘kolam’ yang cukup dalam sehingga mereka dapat berenang ‘wira-wiri, ngalor-ngidul, ngetan bali ngulon’ punya peluang untuk unjuk kebolehan, membuat anamnesis, memeriksa, mendiagnosis & memberikan terapi.

Kepada mereka saya katakan, “Anda lebih beruntung daripada saya baik ketika saya masih Koas maupun ketika jadi Residen Psikiatri’. Mengapa? Salah satu contoh, saya baru di sini mendapat tiga pasien dengan  Skizofrenia Simpleks, kasus yang sangat jarang, saya dapat mendiagnosis berdasarkan ciri-cirinya  yang pernah diceritakan oleh guru saya Prof Soeyono. Andaikata guru saya tidak memberitahu, bisa jadi saya gagal mendiagnosis & memberikan terapi”.

Keluarga pasien menjadi berbahagia, beban keluarga mendjadi menurun, karena pasien menjadi produktif. Memang, gangguan jiwa itu tidak menyebabkan kematian secara langsung, tapi membuat individu itu menjadi tidak produktif dan kualitas hidupnya menurun.

Ketika seorang pasien wanita usia 76 tahun, diagnosis Skizofrenia, gangguan jiwa yang berat, datang ke Poli Jiwa diantar oleh keluarganya, saya katakan kepada para Koas : “Ibu ini usianya 4 tahun lebih tua dari saya. Ini adalah contoh keluarga yang Pancasilais, menjalankan sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab secara sungguh-sungguh. Biasanya pasien dengan diagnosis Skizofrenia jarang yang berumur panjang, karena dia tidak bisa membela diri dan memperjuangkan nasibnya. Dia kadang ‘diplekoto’, ‘dikerjain’ bahkan ditelantarkan  oleh orang-orang (yang merasa) sehat di lingkungan sekitarnya”.

Kepada keluarga yang ikut menderita karena stigma (cap buruk) dari masyarakat di sekitarnya, akibat ada anggota keluarga mereka yang menderita gangguan jiwa, saya memberi contoh kepada para Koas mengedukasi keluarganya  : “Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa Indonesia itu miskin, adanya hanya sehat jasmani dan sehat ruhani (biasanya ditulis rohani). Mestinya, sehat jasmani (badan atau fisik), nafsani (jiwa), ruhani (spiritual), mujtama’i (sosial). Hal ini sesuai dengan UU RI No. 16 Tahun 2009, Tentang Kesehatan. Akibatnya, para koruptor sorak-sorak bergembira, padahal mereka sebenarnya yang sakit ruhani atau tidak sehat spiritual.

Kesehatan spiritual itu berkaitan dengan kebermaknaan hidup atau the meaning of life. Orang yang sehat spiritual perilakunya bermakna atau bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia. Perilakunya manusiawi, tidak hewani, tidak berperilaku homo homini lupus, manusia yang merupakan serigala bagi manusia lainnya. Mulutnya sih bilang anti-PKI, padahal kelakuannya PKI (Pokoke Kantong Isi). Pasien gangguan jiwa yang mendapat getahnya, dianggap sakit ruhani, akibat karena berbuat dosa, dikutuk Tuhan, kurang iman dan seterusnya. Poli Jiwa disamakan dengan Poli Roh”.

Suatu saat saya bercerita kepada para Koas, ketika saya jadi dokter umum  (1978 – 1981)di  Soa-sio, Kabupaten (Administratif) Halmahera Tengah) Propinsi Maluku, pas mendapat giliran memberikan pelayanan kesehatan pada para pegawai maupun buruh tambang nikel di Pulau Gebe atas permintaan perusahaan tambang itu kepada Dinas Kesehatan Halmahera Tengah. Seorang buruh tambang mengeluh kepada saya, tentang bercak-bencak warna putih yang ada di lengan bawahnya. Saya diagnosis & obati sebagai sakit panu alias Pytiriasis Versicolor. Giliran berikutnya, dr. Alex Manuputty, lulusan FK Unhas, yang pergi ke sana.

Sepulang dari sana, dia menemui saya dan memberitahu saya bahwa itu bukan penyakit panu, tapi kusta stadium awal. Saya kaget dan tidak mengira, karena saat saya Koskap di Bagian Kulit & Kelamin yang saya temui hanyalah pasien kusta stadium lanjut, pasien dengan facies leonina (wajah singa). Semua Koas pasti tahu, itu adalah dampak penyakit kusta stadium lanjut. Oleh karena itu, ketika ada pasien dengan Episode Depresi Sedang atau Ringan dengan Gejala Somatik, saya selalu mewanti-wanti Koas, agak kelak jika menjumpai pasien dengan keluhan somatik atau badan, jangan lupa di cari  di balik keluhan itu, siapa tahu pasien itu sebenarnya menderita depresi.

Saya juga cerita pada para Koas, bahwa saya baru dapat menjumpai pasien Malaria Tertiana ketika Koskap di RS Tegalyoso (sekarang Suradji Tirtonegoro), Klaten, karena ditunjukkan oleh guru saya dr. Aryono, Spesialis Penyakit  Dalam. Ketika di Halmahera Tengah, saya tidak hanya sekedar tahu penyakit malaria, bahkan justru sampai menghayati penyakit malaria karena kesalahan saya, tidak mau minum Cloroquin sebagai upaya pencegahan (bila minum sakit kepala & mau muntah). Akibatnya kena malaria sampai dua kali. Baru sembuh setelah minum obat antimalaria Fansidar atas petunjuk atasan saya dr. Sutarya Enus, lulusan FK Unpad.

Beberapa kisah-kisah di atas sebagai gambaran, bahwa tanpa ada pasien ibaratnya saya sebagai guru para petinju, hanya bisa melakukan shadow boxing. Hasilnya?  Atau, seperti diberi tugas mendidik agar menjadi pelaut yang handal, tapi latihannya cuma di ‘daratan’ karena peluang untuk berlayar di ‘Laut Merah’ pasien seperti  ditutup, setelah terjadi  perubahan status menjadi  RSU Tipe B Pendidikan. Sumonggo dipun penggalih

Martabat dan ‘Martabak’

Suatu saat, saya diajak adik perempuan saya dan suaminya untuk njagong manten ke Malaysia, karena salah satu leluhur suaminya, dulu waktu jaman Jepang pergi merantau dan akhirnya menetap di sana, yang pada akhirnya dia dan anak keturunannya menjadi WN  Malaysia. Ketika di Kuala Lumpur kami bertiga bertemu dengan seorang mantan Dosen FT di Yogya, dulu teman sesama dosen adik saya di FT.

Kepadanya saya bertanya :”Kesan saya, rakyat Malaysia itu hidup lebih makmur daripada rakyat Indonesia, mengapa?”. Jawaban dia : “Para pejabat Malaysia itu lebih amanah daripada para pejabat Indonesia !”. Saya tidak perlu bertanya lebih lanjut kepadanya alasan dia ‘hijrah’ ke Malaysia menjadi dosen di sana, daripada menjadi dosen di alma maternya. Sudah bukan rahasia lagi ,Dosen sering diplesetkan menjadi nDobose banter bayaranne sak sen ! Dengan kata lain, antara martabat dan ‘martabak’ tidak seimbang.

Cerita serupa saya dengar dari salah satu teman sejawat seorang dokter anak. Dia dapat cerita dari kakek-kakeknya para guru, yang dulu pernah di’ekspor ‘ke Malaysia. Di Indonesia kira-kira gajinya dua jutaan. Di Malaysia digaji kira-kira antara 10 – 15 jutaan. Bekerja dengan senang, mengajar dan mendidik para murid dengan sabar dan tekun, jadi guru di-gugu lan di-tiru ora wagu tur saru.

Kepala tidak puyeng memikirkan bagaimana caranya agar dapur tetap ngepul , , cari biaya untuk menyekolahkan anak dan seterusnya. Dulu Indonesia lebih maju, maka Malaysia ‘impor’ guru dari Indonesia. Sekarang terbalik, Indonesia belajar ke Malaysia jika ingin maju. Kata pepatah ‘Guru kencing berdiri, sekarang (maaf) murid mengencingi guru’.

Alkisah, ketika Jepang kalah dalam PD II, Kaisar Hirohito tidak bertanya berapa (sisa) jenderal atau tentara. Justru beliau bertanya berapa jumlah guru yang tersisa. Alasannya karena itu menentukan masa depan Bangsa Jepang. Terbukti pasca-PD II Jepang cepat bangkit dari keterpurukan sebagai bangsa yang kalah perang.

Dalam rangka menyongsong Indonesia Emas 2045, perlu Pembangunan SDM, perlu Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya, nyatanya Pembangunan Manusia Indonesia Sebutuhnya.  Akibatnya, SDM berubah dari Sumber Daya Manusia menjadi sekedar Selamatkan Diri Masing-masing !

Pertengahan bulan Januari Tahun 2022, seorang pasien wanita, paruh baya, dengan wajah keheran-heranan  bertanya kepada saya : “Kok sakmenika sepen (kok sekarang sepi)?”. Karena pasien ini menderita skizofrenia (gangguan jiwa berat) tentunya dalam menjelaskan fenomena penurunan jumlah kunjungan pasien kepadanya sesuai dengan daya dong-nya (kemampuan memahami). Penjelasan saya kepadanya :

Bu, sakmenika sepen pasien amargi peraturanipun mekaten. Upaminipun kulo menika guru cukur rambut, supados murid-murid kulo pinter nyukur, mestinipun pun pasok gundul-gundul ingkang bade dipun cukur. Sakmenika pasienipun sepen, murid-murid kula anggenipun bade dados pinter nyukur rambut rak kangelan sangat to, wong mboten wontan gundul ingkang saged dipun cukur (Bu, sekarang sepi pasien karena peraturannya demikian.

Misalnya saya  ini guru potong rambut, supaya murid-murid saya pandai potong rambut, tentunya dipasok kepala-kepala yang akan dicukur. Sekarang pasien sepi, murid-murid saya supaya jadi  pandai potong rambut tentunya kesukaran sekali to, karena tidak ada kepala yang dapat dicukur). Tanggapan pasien atas penjelasan saya, dia mengangguk-angguk sambil berkata : “Leres, leres (betul, betul)”.

Ada ke-tidak sinkron-an, antara maksud dan tujuan mendidik calon dokter dengan metode dan sistem pendidikan saat ini. Kita-para guru- diminta mencetak dokter yang handal, tapi RS Pendidikan tipe B bukanlah surganya para koas, bukan ‘laut merah’ yang diharapkan para koas. Sistem rujukan berjenjang dan sistem klaim BPJS membuat contact rate koas dengan pasien malah menjadi semakin rendah di RS Pendidikan. Butuh duduk bersama untuk mencari solusinya.

Di sisi lain, dengan sepinya jumlah kunjungan pasien, kondisi ini justru mendukung terwujudnya program unggulan Kemendikbudristek saat ini, yaitu Merdeka (dari) Belajar ! Yang penting segera lulus dokter, segera disumpah jadi Dokter Baru, dapat ijazah dan syukur-syukur sekaligus ijab syah ! Dan segera dapat cari ‘martabak’!

Akhirnya, saya samasekali tidak tahu apakah ‘Tongkat Kanjeng Nabi Musa’ itu dipukulkan ke ‘Laut Merah’ pasien atas petunjuk dari langit atau keinginan (ambisi) pribadi? Hanya Tuhanlah yang tahu.

dr.Wildan, Dokter Spesialis Jiwa, seorang pendidik koas di Jogja

Exit mobile version