Revolusi Pertanian di Masa Keemasan Islam
Oleh: Azhar Rasyid
Periode yang dikenal sebagai Masa Keemasan Islam (Islamic Golde Age) berlangsung sejak kira-kira abad ke-8 M hingga abad ke-13 M. Angka tahun persisnya bervariasi, demikian pula dengan istilah yang tepat untuk menggambarkan zaman tersebut. Namun, yang jelas adalah adanya kesepakatan di kalangan sejarawan bahwa ini adalah momen ketika penyebaran Islam yang sangat cepat ke luar Jazirah Arab diiringi dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan ekonomi yang memberi sumbangan krusial kepada banyak bagian dunia. Ciri paling menonjol dari era ini ialah kelahiran dan pertumbuhan pusat-pusat pengetahuan di mana ilmu-ilmu dari dunia klasik pra-Islam dihidupkan kembali dan berbagai eksperimen baru di bidang sains diadakan. Muncullah para ilmuwan Muslim yang menjadi pemikir penting di bidang ilmu yang digelutinya, misalnya di bidang filsafat, kedokteran, kimia, dan astronomi.
Publik sudah cukup banyak tahu tentang posisi kunci pengetahuan saintifik dalam tegaknya Masa Keemasan Islam. Namun, periode ini sebenarnya tak hanya ditandai oleh revolusi pengetahuan, tapi juga oleh satu revolusi lainnya yang kurang banyak dikenal orang, yakni revolusi pertanian. Ada beberapa istilah yang dipakai untuk merujuk kepada revolusi ini, seperti ‘revolusi pertanian Islam, ‘revolusi pertanian Muslim’ dan ‘revolusi pertanian Arab’.
Ketiganya mengacu pada fenomena sejarah yang sama, yaitu masa tatkala berbagai jenis tanaman baru plus teknik pembudidayaannya diperkenalkan di daerah-daerah luas yang baru saja dikuasai bangsa Arab-Muslim sejak sekitar abad ke-8 M. Pengenalan tanaman-tanaman ini merupakan sebuah eksperimen botani yang berhasil karena tanaman diambil dari tempat-tempat asalnya untuk ditanam di wilayah lain yang jauh dan memiliki perbedaan iklim. Artinya, pengetahuan soal ilmu tanaman serta teknik-teknik pertanian memainkan peranan signifikan di sini.
Para sejarawan menyebut bahwa semuanya bermula dari penyebaran Islam yang masif terutama di abad ke-7 M dan ke-8 M dan kemunculan entitas politik Islam yang kuat dan stabil serta mengkover area yang luas. Islam menjangkau wilayah-wilayah di luar jazirah Arab, antara lain mencakup Semenanjung Iberia di Eropa barat daya, Afrika bagian utara, hingga ke Persia dan India. Wilayah kekuasaan yang luas ini, yang ditopang oleh keamanan yang relatif stabil, membuat perkembangan antarwilayah berlangsung dengan aktif dan menguntungkan.
Di sisi lain, hal itu juga memudahkan perpindahan barang dan orang dari satu titik ke titik lainnya. Salah satu jenis barang yang banyak ditransportasikan di masa itu ialah tanaman. Orang-orang yang berpindah di dunia Islam membawa tak hanya diri mereka sendiri, tetapi juga tanaman serta teknik pertanian yang asing bagi wilayah baru yang mereka datangi.
Revolusi pertanian itu berakar pada pengetahuan mendalam soal ilmu tanaman. Landasannya sudah dibangun sejak masa Dinasti Umayyah di Spanyol pada pertengahan abad ke-8 dan seterusnya. Kalifah al Hakam al Mustansir (berkuasa tahun 961-976) dikenal sangat mencintai pengetahuan, dengan koleksi perpustakaan yang luar biasa dan menginisiasi penerjemahan buku dari bahasa Yunani dan Latin. Buku-buku yang dimilikinya tak hanya berkenaan dengan matematika dan medis, tetapi juga mencakup suatu dokumen berisi daftar panjang berbagai jenis tanaman baru. Satu lagi warisan pentingnya ialah suatu proyek irigasi untuk mengairi tanah-tanah di wilayah kekuasaannya.
Menurut Zohor Idrisi dalam suatu tulisannya mengenai sejarah ilmu pertanian di dalam dunia Islam, perkembangan pesat ilmu pertanian di dunia Islam terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Murabithun (Almoravid) yang berkuasa di barat laut Afrika dan Semenanjung Iberia di Eropa barat daya di sekitar pertengahan abad ke-11 hingga seabad setelahnya, dan kemudian dilanjutkan oleh Dinasti Muwahhidun (Almohad), yang berkuasa antara tahun 1130-1269.
Pada masa kedua dinasti inilah ilmu pertanian mendapatkan tempat yang setara dengan ilmu-ilmu lain yang pada masa itu lebih banyak digeluti ilmuwan dan dibutuhkan banyak orang. Sebelumnya, para ilmuwan Muslim umumnya lebih tertarik memperhatikan dan meneliti pikiran dan fisik manusia (yang bermuara pada filsafat dan ilmu medis) serta pergerakan benda-benda langit (yang memunculkan ilmu astronomi). Di masa Dinasti Murabithun dan Muwahhidun, lahir ilmuwan-ilmuwan yang berkonsentrasi pada unsur lain yang tak kalah pentingnya di bumi, yaitu tanah. Di antara mereka ada sosok-sosok ilmuwan ahli tanah seperti Ibn Bajjah dan al-Ishbili.
Para ilmuwan pengkaji tanah di masa itu dengan seksama mengamati tanah, lalu mengkategorikannya menjadi berbagai jenis yang berbeda satu sama lainnya. Mereka dipisahkan berdasarkan komposisi pembentuknya. Dari sana kemudian dilakukan amatan terhadap jenis pupuk yang dapat dipakai untuk membuat kesuburan tanah menjadi optimal. Teknik pertanian model lama yang hanya tergantung kepada peristiwa alam seperti hujan ataupun keberadaan sumber air seperti sungai pun mengalami perubahan. Metode artifisial yang diperkenalkan para ilmuwan yang mengkaji soal tanah itu dapat membuat tanah ditanam lebih sering dengan hasil panen yang lebih banyak. Mereka memperkenalkan penggunaan pupuk untuk tanah-tanah yang mengalami erosi dan pemakaian irigasi untuk mengatasi masalah tanah yang mengalami kekeringan.
Irigasi atau sistem pengairan mendapatkan atensi tersendiri di dunia Islam masa itu. Sejumlah tanaman membutuhkan suplai air yang lebih banyak, misalnya tebu. Di sisi lain, karena tanaman ditanam lebih sering daripada biasanya, maka air yang diperlukan juga menjadi berkali-kali lipat. Salah satu solusi untuk masalah ketersediaan air adalah dengan mengembangkan kincir air yang lebih maju, yang dapat mengangkat air dengan lebih banyak dan teratur. Matematika dan pengetahuan gaya tarik bumi dipakai untuk mendapatkan air dengan lebih maksimal. Sumur-sumur digali untuk memperoleh sumber air baru.
Satu sistem pengangkatan dan distribusi air yang khas di masa itu ialah apa yang dikenal sebagai na’ūra (noria). Ini adalah mesin hidrolik yang berfungsi untuk mengangkat air yang kemudian didistribusikan ke area pertanian atau disebarkan ke berbagai tempat di kota. Roda air ini memiliki diameter hingga pulihan meter dan sanggup mengangkat air dalam jumlah besar dari sungai.
Sejarawan Andrew M. Watson di dalam studi klasiknya tentang inovasi pertanian yang dibawa ilmuwan Arab-Muslim, ‘The Arab Agricultural Revolution and Its Diffusion, 700-1100’ di The Journal of Economic History (1974), mengemukakan setidaknya tiga arti penting revolusi pertanian ini. Pertama, cakupan pengaruhnya yang sangat luas secara geografis. Mulanya revolusi ini hanya berlangsung di beberapa bagian di timur Jazirah Arabia, seperti di Persia dan Mesopotamia, serta juga di bagian selatannya, seperti di wilayah yang sekarang menjadi Yaman. Tapi, sejak abad ke-11, wilayah cakupannya menjadi jauh lebih luas lagi, antara lain dengan mencapai tempat-tempat seperti Transoxania, Persia, Mesopotamia, Levant (negeri-negeri di pesisir timur Mediterania), Mesir, Maghribi, beberapa bagian Afrika bahkan hingga Spanyol dan Sisilia di Eropa.
Kedua, jenis tanaman yang disebarluaskan ke berbagai penjuru dunia Islam sangat banyak. Awalnya bangsa Arab menemukan tanaman-tanaman ini di India, di mana iklim tropis dan kelembaban memudahkan tumbuhnya beraneka ragam tanaman. Dari sana tanaman-tanaman itu dibawa ke wilayah-wilayah yang bangsa Arab baru kuasai namun dengan iklim yang berbeda, baik karena lebih dingin atau lebih kering.
Daftar tanamannya tergolong panjang, dengan beberapa di antaranya ialah padi, sorgum, gandum keras, tebu, katun, semangka, terong, bayam, artichoke, colocasia, jeruk asam, jeruk lemon, jeruk nipis, pisang, pisang plantain, dan kelapa serta mangga (dua buah terakhir ini hanya bisa dibudidayakan di wilayah tropis, misalnya di Arab selatan). Sejumlah wilayah di dunia Islam sebelumnya tidak mengenal tanaman-tanaman baru itu. Watson menggarisbawahi bahwa daftar itu masih belum lengkap, mengingat masih ada lagi tanaman-tanaman yang penyebarannya tidak terdeteksi di dalam sumber sejarah yang ada.
Ketiga, revolusi ini bukan hanya soal budi daya tanaman atau penggunaan pupuk saja. Revolusi ini membawa dampak yang jauh lebih besar daripada hanya memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Bidang-bidang yang dipengaruhinya amat luas, mulai dari ketersediaan hasil pertanian, gaya hidup, pola makan, resep makanan, kuliner, nutrisi, pakaian, jenis pekerjaan baru, perdagangan, dan pertumbuhan industri yang berkaitan dengan makanan. Bahkan, kelahiran kota-kota yang muncul dengan cepat di dunia Islam salah satunya ditopang oleh revolusi pertanian ini.
Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam
Sumber: Majalah SM Edisi 18 Tahun 2020