Beragama yang Sesungguhnya, Belajar Kepada Abu Aya dari Irak

Belajar

bu Ada duduk di kursi sebelah kanan pada saat mengikuti pengajian di Masjid Omar Wollongong beberapa waktu lalu

Beragama yang Sesungguhnya, Belajar Kepada Abu Aya dari Irak

Oleh: Haidir Fitra Siagian

Keberadaan umat Islam di Kota Wollongong serta kawasan Illawara dan sekitarnya diakui telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kehidupan dan perekonomian di kota penghasil besi baja ini. Data terakhir tahun 2016 lalu, menunjukkan 4.600 jiwa atau 2,3 persen dari 219.000 jiwa, penduduk kota ini merupakan pemeluk agama Islam. Sebagian besarnya adalah Muslim keturunan Timur Tengah, Turky, Afrika Utara, serta dari kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Terdapat pula Muslim asal Malaysia dan Indonesia.

Kehidupan beragama di sini sangat kondusif. Walaubagaimanapun warga Wollongong lebih banyak yang tidak beragama atau memandang agama tidak penting dalam kehidupan mereka. Umat Islam di sini bebas menjalankan ibadah. Meskipun dikatakan bebas, tetap saja aturan yang tidak boleh dilanggar. Misalnya tidak boleh membuat suara berisik atau ribut, juga peraturan-peraturan lainnya yang berlaku untuk semua warga. Di kawasan Wollongong, terdapat lima buah masjid yang dipakai untuk salat Jumat. Baik yang merupakan bangunan baru maupun bekas bangunan gereja yang dibeli lalu diformat menjadi masjid.

Dilihat dari jenis kependudukan umat Islam di sini, dapat dikategorikan menjadi dua jenis. Yang pertama adalah pekerja yang sudah menjadi warga negara (citizen) atau permanen residen. Kategori kedua adalah para pelajar internasional yang menuntut ilmu di University of Wollongong, utamanya dari negara-negara Arab yang kaya minyak. Mereka datang ke sini berbondong-bondong atau saling mengajak teman, juga membawa keluarganya. Dari mereka pemerintah Kota Wollongong mendapatkan pemasukan dari dana pendidikan ratusan juta per semester, biaya hidup dan pajak sewa rumah.

Sedangkan Muslim yang menjadi permanen residen maksudnya adalah mereka yang sudah mendapat hak-hak yang sama dengan warga negara, tetapi belum menjadi warga negara. Dengan kata lain masih menjadi warga negara resmi di tempat dimana dia berasal. Terdapat sebagian warga negara Indonesia yang memiliki jenis ini. Sedangkan Muslim yang sudah menjadi warga negara Australia itu adalah paling banyak para pendatang dari Timur Tengah dan keturunannya, juga para pengungsi yang datang dari berbagai negara yang ditimpa konflik atau korban perang.

Para pengungsi yang sudah menetap sekian lama di sini, lalu mereka memohon kepada pemerintah Australia untuk diterima sebagai warga negara Australia. Tentu untuk menerima permohonan ini, dengan persyaratan yang sangat ketat, terutama pertimbangan keamanan dan kesehatan. Tidak semua permohonan para pengungsi ini bernasib baik, terlebih bagi pengungsi yang datang dengan menggunakan transportasi laut. Ada yang diterima dan ada pula yang sebaliknya. Bagi mereka yang ditolak, akan dikarantina atau dideportasi kembali ke negaranya.

Di antara mereka yang diterima menjadi permanen residen atau citizen di sini adalah seorang sahabat saya, sebut saja bernama Abu Aya. Dia berasal dari Irak dan sudah cukup lama tinggal di Wollongong bersama istri dan anak-anaknya. Usianya sekitar empat puluh lima tahun. Kami sama-sama jamaah Masjid Omar Wollongong. Rumahnya tidak jauh dari jauh dari masjid ini, sekitar tiga ratus meter ke arah pusat kota. Berada di sudut jalan poros, persis di depan stasiun pengisian bahan bakar minyak. Rumah itu adalah kontrakan yang disewa. Biasanya harga rumah sewa di sini, setara dengan tiga hingga empat juta Rupiah per minggu.

Saya sudah mengenalnya sejak tiba di sini sekitar dua setengah tahun lalu. Perkenalan kami adalah karena sama-sama berada di masjid antara Magrib dan Isya. Selesai salat magrib, dia tidak langsung pulang, tetapi menunggu hingga selesainya salat Isya sambil tadarrus atau jika ada mendengar pengajian rutin. Hampir setiap malam, dia berada di Masjid. Boleh pula dikatakan bahwa dia tidak pernah absen salat Magrib dan Isya. Pada waktu Duhur dan Ashar, sekali-kali dia datang. Sedangkan salat Subuh, tampaknya sangat jarang.

Jika dia datang ke masjid, selalu ditemani oleh dua orang anaknya yang masih berusia sekitar lima dan depalan tahun. Datang dengan menggunakan kursi roda bermesin, mirip dengan sepeda motor berwarna merah. Jadi dia tidak perlu memutar roda layaknya kursi roda. Dia mengalami masalah dengan salah satu kakinya. Sehingga kalau masuk ke masjid, dia tetap memakai sepatu. Sepatunya itu terlebih dahulu dibungkus kantong plastik bersih yang selalu dia sediakan. Turun dari kursi roda kemudian berjalan pelan-pelan menuju saf paling depan sebelah kanan. Semua orang tahu, bahwa dia selalu berusaha datang ke masjid meskipun dalam kondisi cuaca yang tidak bersahabat, seperti hujan atau cuaca dingin.

Pada saat menunggu waktu Isya, dia mengajari anak-anaknya hafalan Al Qur’an. Kedua anaknya juga setia menemani ayahnya. Kadang kala, mereka dibelikan makanan atau membawa makanan dari rumah. Sekali dua kali, saya mendapat bagian. Saya pernah diberikan burger, kentang goreng, jeruk dan buah-buahan lainnya. Pada saat yang berbeda, saya juga pernah buatkan mereka teh. Selain itu, pada hari Jum’at, mereka juga ikut menikmati sajian Thai Tea yang sengaja disajikan untuk jamaah Jum’at.

Di samping itu, ternyata putriku juga berteman dengan putrinya Abu Aya. Keduanya adalah satu sekolah di Wollongong High School of the Performing Arts, setingkat kelas dua SMA. Kerap kali putriku pergi bermain di rumahnya. Awalnya saya tidak tahu putriku berteman dengan putrinya Abu Aya. Sampai Ramadhan yang lalu, dia mendapat undangan buka puasa. Setelah diceritakan bahwa dia akan ke rumahnya Abu Aya untuk berbuka puasa, saya arahkan istriku untuk ikut mendampingi. Setelah itu mereka pulang ke rumah dengan membawa makanan yang cukup banyak. Makanan yang gurih dan lezat rasa Timur Tengah.

Satu hal yang saya belum ketahui dari Abu Aya adalah apakah pekerjaannya. Mengingat beliau adalah seorang penyandang cacat, tak berani saya bertanya. Sedangkan istrinya, sebagaimana kebudayaan orang Timur Tengah, lebih banyak tinggal di rumah. Dalam berbagai kesempatan, saya pernah bertemu dengan Abu Aya di kompleks supermarket Wollongong atau di sekitar pusat perkantoran, sekitar dua kilometer dari rumahnya. Istriku pun beberapa kali mendapati beliau dalam bus kota, dari arah kota dan turun di halte tak jauh dari rumahnya.

Pada bulan Desember 2021 yang lalu, putriku memberitahu bahwa Abu Aya bersama dengan anak-istrinya akan berangkat ke Iraq. Ingin bertemu dengan sanak-saudaranya setelah bertahun-tahun tak bersua. Juga sekaligus mengisi liburan sekolah yang berlangsung hampir dua bulan. Akan tetapi besok harinya, kami dapat kabar mereka ada masalah di Bandara Sydney. Hanya Abu Aya yang bisa berangkat ke Irak, sedangkan istri dan anak-anaknya tidak jadi berangkat.

Mereka sebenarnya sudah berada di Bandara Sydney, sekitar 90 km dari Wollongong. Hanya saja pada saat pemeriksaan di loket Imigrasi, baru ketahuan bahwa paspor anak-istrinya sudah lewat masa berlakunya. Tampaknya mereka sudah lama tidak menggunakan paspor dan lupa mengeceknya. Jadi mereka kembali ke Wollongong dengan tas atau koper berisi barang-barangnya. Padahal tiket sudah dibeli. Sedangkan Abu Aya berangkat seorang diri. Meskipun menyandang cacat, mengingat bahwa paspornya masih berlaku dan untuk meminimalisir kerugian atas tiket yang sudah terlanjur dibeli.

Dua hari lalu (Kami, 20 Januari 2022) setelah salat Magrib, putriku mendapat pesan singkat dari temannya, putrinya Abu Aya. Dia mengabarkan bahwa ayahnya baru saja meninggal dunia. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Satu jam kemudian kami juga membaca kabar yang sama melalui grup sosial Masjid Omar. Kami sangat sedih mendengar berita ini, apalagi anak-anaknya Abu Aya masih kecil. Anaknya paling tua, seorang putri, sekitar enam belas tahun dan yang paling bungsu sekitar lima tahun. Sedangkan istrinya, tidak memiliki pekerjaan tetap. Juga kurang begitu fasih berkomunikasi dalam bahasa di sini. Wanita ini akan menjadi orang tua tunggal dengan tugas utama merawat dan membesarkan para buah hati.

Kemarin malam jamaah Masjid Omar Wollongong sengaja mengadakan salat Ghaib untuk mendiang Abu Aya. Karena kondisi yang tidak memungkinkan, saya tidak bisa ikut salat ke masjid. Melalui media sosial, Pengurus Masjid Omar mengabarkan kondisi Abu Aya. Rupanya beliau meninggal dunia saat transit di Bandara Istambul Turky, dalam perjalanan pulang dari Irak dan akan kembali ke Australia.

Bagi jamaah tetap Masjid Omar, tentu sangat mengenal Abu Aya. Harus diakui bahwa sosok Abu Aya adalah cermin seorang Muslim yang fanatik beragama. Fanatik dalam arti yang sesungguhnya sesuai dengan apa yang dia yakini. Bukan abal-abal, bukan pula pencitraan. Bagaimana mungkin seorang yang cacat masih rela ke masjid untuk berjamaah? Cuaca yang tidak bersahabat bukan halangan. Kadang saya dengar sendiri, Pak Imam Masjid atau pengurus lainnya, menyarankan dia agar tak usah ke masjid dulu, melihat keadaan fisiknya dan cuaca yang buruk.

Tetapi dia tetap datang ke masjid. Menunaikan keyakinannya untuk menyerahkan diri kepada Tuhannya, berjamaah dengan saudara-saudaranya. Tentu hal ini karena dia memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran agamanya. Dia berusaha melaksanakan ajaran agamanya di tengah keterbatasan fisiknya, terutama sebagai lelaki agar senantiasa datang ke masjid. Salat berjamaah, yang nilainya dua puluh tujuh rakaat dibanding nilai salat seorang diri. Dia meyakini, bahwa salat berjamaah adalah bekal yang paling baik buat dirinya di akhirat nanti.

Tentu kami semua jamaah Masjid Omar merasa kehilangan Abu Aya. Kehilangan atas suara khasnya, cara jalannya yang sedikit berjingkrak, juga kursi roda merahnya yang terparkir depat pintu masjid. Istriku pun kenal akan kursi roda ini. Jika ada kursi roda bermesin warnah merah terparkir depan pintu masjid, berarti Abu Aya sudah di dalam bersiap melaksanakan salat berjamaah. Sekarang, kursi roda itu sudah tidak akan parkir lagi di masjid. Karena pemiliknya sudah berangkat ke hadapan Sang Pencipta. Menuju tempat yang paling mulia di sisi-Nya. Tempat yang paling dicita-citakan umat yang beriman, umat yang fanatik melaksanakan ajaran agamanya. Insya Allah.

Haidir Fitra Siagian, Dosen UIN Alauddin Makassar / Ketua PRIM NSW Australia

Exit mobile version