Sekolah Muhammadiyah Hadir di Wilayah Tak Terjangkau Negara
MALANG, Suara Muhammadiyah – Anggota Komisi X DPRI-RI yang membidangi pendidikan Prof. Dr. H. Zainuddin Maliki, MSi mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang digerakkan masyarakat seperti Muhammaidyah acapkali mengisi kekosongan di wilayah di mana negara belum mampu untuk hadir memberikan pelayanan bagi masyarakat.
“Namun seringkali pemerintah tidak menyadari hal ini bahkan tidak memberikan apresasi, terbukti dengan migrasi besar-besaran guru-guru Muhammadiyah ke sekolah negeri melalui program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK),” ujar Zainuddin di acara Bincang Edukasi #3 yang diselenggarakan Rumah Baca Cerdas (RBC) Institute A. Malik Fadjar mengambil tema Catatan Pendidikan Nasional: Dari Politisasi, Desentralisasi, hingga Problem pada Masa Pandemi via Zoom (26/01/22).
Zainuddin mengatakan pemerintah berlindung di balik UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), padahal pasal 1 ayat 2 memungkinkan guru-guru diberikan ‘tugas negara lainnya’ yang bisa dalam bentuk mengajar di sekolah swasta.
Zainuddin menambahkan bahwa unsur-unsur masyarakat lainnya seperti LP Maarif NU PBNU, PGRI, Perguruan Persatuan Taman Siswa, Majelis Nasional Pendidikan Katolik dan Majelis Pendidikan Kristen di Indonesia perlu senantiasa bekerjasama berikhtiar agar tidak ada kebijakan negara yang merugikan masyarakat.
Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah yang juga penulis buku Education Decentralisation in Indonesia H.R. Alpha Amirrachman, MPhil, PhD memaparkan sebagian dari isi bukunya yang menggambarkan dan menganalisis perubahan kebijakan pendidikan dari sentralisasi ke desentralisasi dengan memberikan fokus pada aspek partisipasi masyarakat, market, politik dan identitas lokal.
“Desentralisasi pendidikan dilakukan dengan terburu-buru tanpa konsultasi publik yang luas dan kajian yang matang, akibatnya malah menimbulkan permasalahan,” ujarnya.
Alpha memberikan ilustrasi berdasarkan hasil penelitiannya bagaimana disparitas kualitas bukan hanya antar daerah, tapi juga antar sekolah semakin melebar karena resources yang juga sangat beragam.
“Ada sekolah atau daerah dengan resources yang memadai maka pendidikannya akan melesat maju, sementara yang tidak akan tertatih-tatih,” ujarnya.
Alpha menambahkan bagaimana desentralisasi juga memunculkan politisasi pendidikan di mana guru-guru yang berada di bawah kewenangan daerah terjebak pada politik lokal seperti saat pemilihan kepala daerah.
Nuansa identitas lokal juga ikut menyeruak di sekolah di mana kelompok-kelompok tertentu muncul sebagai superior dari yang lainnya, yang berpotensi menimbulkan ketegangan bahkan menggerus identitas nasional dan semangat persatuan.
Kepala Biro Organisasi Setda Jawa Timur Dr. H. Ramliyanto, SP, MP menengarai bagaimana saat ini aroma sentralisasi mulai hadir kembali dengan berbagai kebijakan pendidikan.
Terkait sentralisasi dan desentralisasi yang disertai sisi positif dan negatifnya, Ramli menyebutkan beberapa isu strategis pendidikan yang perlu mendapatkan perhatian: Pertama, disparitas kualitas pendidikan. Kedua, sarana dan prasarana pada satuan pendidikan. Ketiga, guru dan tenaga kependidikan. Keempat, kapasitas fiskal sekolah. Kelima, angka partisipasi pendidikan kesetaraan. Keenam, relevansi spektrum kompetensi SMK dengan dunia industri. Ketujuh, akses dan kualitas pelayanan pendidikan khusus dan layanan khusus. Kedelapan, paradigma sekolah negeri versus sekolah swasta. Kesembilan, lulusan SMA/SMK yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Kesepuluh, pendidikan di masa pandemi Covid-19.