Perspektif Syariah dan HAM dalam Persoalan Pernikahan di Bawah Umur
Oleh: Bevy Yoga Kharisma
Pernikahan adalah sebuah keterikatan yang sah secara agama dan juga negara, yang melibatkan sebuah perikatan maupun perjanjian dalam hal ini adalah sebuah komitmen seorang pria dan wanita.
Dengan tujuan membina bahtera rumah tangga, antara dua insan laki-laki dan perempuan. Dalam pernikahan, ada sebuah kriteria ataupun syarat-syarat yang harus dipenuhi. Dalam agama Islam biasanya disebut sebagai Rukun dan Syarat nikah.
Dalam rukun maupun syarat sahnya perkawinan maupun pernikahan, ada beberapa hal yang harus diperhatikan sekaligus dilaksanakan.
Dalam hal ini, agama Islam mengatur terkait syarat sah pernikahan yakni: berusia baligh (dewasa), adanya persetujuan wali pihak perempuan, adanya Ijab dan Kabul, adanya dua orang saksi dalam pernikahan, adanya mahar dari seorang laki-laki yang diberikan kepada perempuan, dan tidak ada paksaan didalamnya.
Adapun syarat sah pernikahan ditinjau dalam segi aturan negara yakni, tidak ada paksaan juga didalamnya, harus mendapat izin dari orang tua calon pengantin, ada batas minimal usia, tidak adanya hubungan darah, dan tidak ada keterikatan perkawinan lain atau sudah memiliki istri (poligami).
Dalam dimensi aturan negara maupun agama, perihal batasan minimal umur bagi calon pengantin yang ingin mengikat keduanya dalam status pernikahan telah diatur dalam undang-undang maupun syara’ itu sendiri. Sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 dan berubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang dimana batas usia pernikahan telah diubah yang sedianya minimal 16 tahun menjadi minimal 19 tahun dalam perubahan Undang-undang tersebut.
Sedangkan dalam dimensi agama (Islam) tidak disebutkan secara detail dan mengikat batasan minimal usia pernikahan bagi seorang laki-laki maupun perempuan.
Hanya saja disebutkan usia baligh menjadi kriteria dasar dalam Islam. sebagaimana dalam nash-nash Al Qur’an, dalam QS. An Nur ayat 59 yang berbunyi “balagha al-hulum” yang mengandung arti kedewasaan seseorang dengan ditandai dengan mimpi basah.
Maka dalam hal ini (usia baligh) pernikahan dalam Islam, menyebabkan Ikhtilaf atau perbedaan pendapat oleh sebagian para ulama. Beberapa ulama Madzhab beranggapan bahwa usia minimal dalam baligh tersebut, sebagaimana pendapat Madzhab Syafi’I yang berkeyakinan bahwa usia baligh pada laki-laki yaitu 15 tahun, dan 19 tahun untuk perempuan.
Madzhab Hanafi beranggapan bahwa balighnya seorang laki-laki adalah pada usia 18 tahun, dan perempuan 17 tahun. Menurut Madzhab Hambali berkeyakinan perihal usia baligh dalam Islam adalah keduanya sama-sama berusia 15 tahun.
Sedangkan menurut pendapat Madzhab Maliki perihal usia baligh adalah ditandai dengan tumbuhnya rambut halus pada area atau tempat tertentu, sebagaimana kondisi fisik manusia pada lazimnya.
Batasan-batasan usia yang telah kita tarik dalam aturan baik Agama maupun Negara, rata-rata usia 17 tahun sampai 19 tahun adalah batasan minimal seorang laki-laki dan perempuan bisa mengikrarkan diri dalam sebuah pernikahan atau perkawainan.
Lalu bagaimana ketika sebelum batas usia minimal yang telah tertuang dalam aturan Undang-undang keduanya belum mencapai kriteria atau syarat yang telah ditentukan. Persoalan demikian secara realita sekarang, adalah sebuah perbuatan yang sudah umum kita ketahui.
Maka perbuatan tesebut adalah suatu perbuatan melanggar hukum yang telah ditetapkan dan diterapkan. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dibawah umur atau dikenal sebagai pernikahan dini.
Beberapa alasannya adalah pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan diluar nikah, sehinggah mendorong rasa mau dan tidak mau harus segera dinikahkan, lalu ada pernikahan yang didorong oleh adat istiadat setempat atau dorongan orang tua, dan lain sebagainya.
Demikian yang terjadi pada sebuah desa atau kampung yang terletak di sebelah utara Kota Lamongan Jawa Timur, yang dimana dalam kampung atau desa tersebut praktik nikah muda atau pernikahan dini sudah menjadi rahasia umum yang telah diketahui oleh khalayak masyarakat umum.
Pernikahan dini atau nikah muda yang terdapat pada kampung atau desa tersebut, sama halnya praktik-praktik yang terjadi di kebanyakan daerah pada umumnya.
Akan tetapi yang menjadi fokus kita dalam hal ini adalah praktik nikah muda atau pernikahan dini ini kebanyakan dilakukan oleh seorang perempuan.
Dimana seharusnya perempuan itu adalah pendidikan utama kelak bagi anak-anaknya, tidak memikirkan bagaimana mempersiapkan tanggungjawab tersebut. kasus yang terjadi di kampung atau desa tersebut memang sudah sejak lama, artinya menjadi sebuah perilaku yang turun menurun dilakukan.
Perihal apakah sudah ada edukasi terkait dampak atau akibat dari pernikahan dini memang pastinya sudah ada, dan dilakukan oleh pemerintah setempat. Guna mengatur dan menekan angka pertumbuhan yang tidak berimbang dengan keadaan sosial.
Sehingga menyebabkan persoalan-persoalan atau dinamika yang terjadi di tengah masyarakat.
Pernikahan dini yang terjadi di kampung atau desa tersebut di dominasi oleh kaum perempuan sebagai subjek pernikahan dini. Banyak hal yang melatarbelakangi adanya pernikahan dini di tempat tersebut.
Ada yang karena tuntutan orang tua, ada juga yang memang karena ingin menikah (sedang usianya saja belum mencukupi aturan yang ditetapkan oleh negara), dan ada juga karena hamil diluar nikah yang mau tidak mau harus dinikahkan keduanya.
Kebanyakan memang usia-usia remaja atau setelah lulus Sekolah Menengah Atas/Sederajat yang tidak melanjutkan studi lanjutnya. Bahkan ada sebagian pernikahan dini yang dilakukan ketika masih dalam usia sekolah Menengah Pertama/Sederajat.
Akan tetapi uniknya pelaku pernikahan dini atau nikah muda di kampung atau desa tersebut, dirasa sukses dalam hal berumah tangga. Karena kebanyakan kasus perceraian saja, ditahun 2021 sangat tinggi.
Dengan prosentase 90% angka perceraian diakibatkan oleh faktor ekonomi dan juga kekerasan dalam rumah tangga, dan didominasi oleh angka pernikahan atau perkawinan yang relatif masih muda. Sehingga dengan demikian, bisa kita simpulkan bahwa perempuan dalam pernikahan dini ini menjadi pelaku yang lebih dominan daripada laki-laki.
Tentunya berpengaruh kepada kehidupan sosial dari pernikahan dini tersebut. terlepas dengan apa dasar yang menjadi alasan pernikahan dini, atau latar belakang yang mendasari pernikahan dini ini, kiranya kita harus melihat bagiamana hukum agama (syariah) mengatur, dan bagaimana juga Hak Asasi Manusia ini melihat realitas sosial yang terjadi demikian.
Berbicara terkait dengan Hak Asasi Manusia adalah berbicara juga mengenai kemerdekaan yang dimiliki dan harus dijaga oleh individu-individu sebagai manusia. HAM disini tidak hanya sebagai hak prerogatif yang dimiliki setiap insan atau manusia sejak ia dilahirkan.
Akan tetapi HAM disini juga memperhatikan segala aspek yang sedang dan akan terjadi manakalah suatu perbuatan tersebut tidak selaras maupun belum ideal untuk dilakukan. Sehingga menimbulkan persoalan-persoalan baru dalam permasalahn tersebut.
Maka jika kita berbicara mengenai pernikahan dini dalam perspektif agama Islam, maka pernikahan dini adalah sebuah perilaku melanggar hukum.
Sebagaimana telah disebutkan sedianya dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan berubah menjadi UU Nomor 16 Tahun 2019.
Sehingga mengakibatkan sebuah tanggungan maupun keharusan bagi pasangan nikah muda, tidak bisa menikmati dan menjalankan kehidupan remaja layaknya anak seusianya. Akibatnya Hak Asasi Manusia yang seharusnya juga didapat oleh seorang anak tersebut, tidak semestinya didapat sebagaimana mestinya.
Adapun dampak-dampak yang terjadi akibat pernikahan dini ini, tentunya adalah sangat berpengaruh kedalam kehidupan sosial bermasyarakat.
Anggapan sebagai laki-laki maupun perempuan yang tidak bisa menjaga kesuciannya, dan berkonotasi terhadap perilaku yang batil ditengah-tengah anggapan masyarakat. Pernikahan dini atau di usia muda juga berpengaruh kepada mental dari setiap masing-masing pihak atau pasangan.
Maka ketika salah satu pihak atau keduanya tidak siap dalam hal mental, menjadikan sebuah pernikahan yang sedianya adalah kemuliaan dalam hidup, menjadi sebuah beban dalam hidup. Perceraian menjadi sebuah solusi yang diambil dari pernikahan yang tidak disiapkan secara matang.
Mengakibatkan kesenjangan sosial, status anak, stigma buruk keluarga dan juga banyak lagi hal-hal yang bermunculan ketika sebuah pernikahan berujung dengan perceraian.
Pernikahan dalam usia muda atau pernikahan dini ini juga memperbesar resiko adanya KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
Berhubungan juga dengan kondisi mental pasangan tersebut. Ketika kekerasan sudah mewarnai dalam dimensi pernikahan atau keluarga, maka bertolakbelakang dengan prinsip Syariah dan HAM yang mengatur akan keselamatan dan menolak segala bentuk kekerasan.
Belum lagi pada aspek ekonomi yang menjadi hal dasar atau fundamental dalam berumah tangga. Kewajiban memenuhi kebutuhan dan menghidupi keluarga adalah kewajiban yang dasar dari pernikahan.
Maka pernikahan dini atau pernikahan di usia muda ini perlu kiranya menjadi sebuah renungan dan referensi kepada khalayak umum, bahwa pernikahan dini maupun pernikahan di usia muda mempunyai banyak sekali sebab dan akibat didalamnya. Sehingga peninjauan dalam perspektif Syariah dan HAM perlu digalakkan mengenai edukasi terhadap masyarakat umum.
Bevy Yoga Kharisma, Mahasiswa UMM