Al-Bai’ts, Yang Maha Membangkitkan
“Al-Bai’ts” dari kata “ba’atsa-yab’atsu-ba’tsan” yang artinya : mengutus, mengirim, membangkitkan, membangunkan. Jadi, kata “Al-Ba’its” artinya : Yang (Maha) Pengutus, Yang (Maha) Pengirim, Yang (Maha) Pembangkit, Yang (Maha) Pembangun.
Secara urut Al-Qur’an menjelaskan makna “al-Bai’ts” itu, pertama, Bersangkutan “Kekuasaan Allah s.w.t.”. Dalam hal ini meliputi 3 (tiga) tema utama.Tema pertama, kuasa Allah s.w.t. “Mengutus dan mengirim” Rasul (Utusan) (QS Al-Baqarah, 2: 213; QS An-Nahl, 16: 36; Qs Al-Furqan, 25:51). Sosok rasul adalah “manusia pilihan”, apalagi “pilihan Allah s.w.t.”’ sekalipun para Rasul tersebut adalah manusia biasa dari segi fisik (QS Al-Isra’ , 17: 94; QS Al-Kahfi, 18: 110; QS Al-Fushshilat, 41: 6) namun ditakdirkan memiliki kemampuan rohani dan intergritas pribadi dan karenanya layak menerima wahyu yang isi pesannya sungguh “berat” yang dalam Al-Qur’an diturunkan ke sebuah gunung maka gunung tersebut akan hancur lumer dan berkeping-keping (QS Al-Basyr, 59: 21).
Tema kedua, kuasa Allah s.w.t. “membangunkan (baca: mengaruniai) kekuasaan” kepada orang yang telah dipilihnya (QS Al-Baqarah, 2: 247). Karunia Kekuasaan tersebut bisa karena dipilih lewat berbagai model pemilihan, bisa juga karena keturunan seperti yang pernah berlaku dalam sistem kerajaan. Dalam ayat 247 Surat Al-Baqarah tersebut dikisahkan Allah s.w.t. telah mengaruniai kekuasaan kepada Thalut bagi Bani Israil setelah Musa a.s wafat. Tema ketiga, kuasa Allah s.w.t. “membangkitkan dari kematian” atau “menghidupkan kembali setelah mengalami kematian”.
Untuk menjelaskan tema ketiga ini, secara urut Al-Qur’an memberikan argumentasi secara bertahap. Tahap pertama, kaum kafir menolak adanya “kebangkitan dari mati” itu dengan alasan badan sudah hancur dalam tanah (QS Al-Isra’, 17: 49 dan 98), dan lahir-mati merupakan daur hidup alamiah (QS Al-Mu’minun, 23:37),serta daur hidup tersebut karena putaran waktu yang bersifat alamiah pula (QS Al-Jatsiyah, 45: 24). Karena itu mereka (kaum kafir) sampai bersumpah tidak akan menerima (mengimani) bahwa “bangkit dari kematian” tersebut dapat terjadi karena kekuasaan Allah s.w.t.
Tahap kedua, Allah s.w.t menjelaskan secara faktual bahwa kelahiran manusia di dunia ini melalui sebuah proses, yaitu : semula dari sari tanah (turab), berubah menjadi sperma/mani (nuthfah), lalu berubah menjadi embrio (‘alaqah; setelah bersatu dengan sel telur/ovum), kemudian berubah lagi menjadi sebuah janin (mudghah) yang terus berkembang di dalam rahim ibu yang mengandungnya (al-arham) , lalu lahir, ada tidak sampai dewasa, ada yang sampai dewasa, bahkan sampai tua renta (pikun). Siapa yang memroses itu semuanya? Tentu saja Allah s.w.t Tahap ketiga, dengan demikian “membangkitkan manusia dari kematian” jauh lebih mudah ketimbang proses melahirkan manusia di dunia ini. Jadi, membangkitkan manusia yang telah mati dan dikuburkan bukan sesuatu yang mustahil (Qs Al-Hajj, 22:7). Karena itu sumpah penolakan kaum kafir terhadap fenomena “kebangkitan dalam kubur” adalah tertolak, baik dari sudut penalaran fakta, apalagi dari sudut keimanan (Qs An-Nahl, 16:38). Allah s.w.t. punya kuasa terhadap semuanya itu. Wallahua’lam
Mohammad Damami Zain, Pengajar PUTM Yogyakarta
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2019