Lima Pemikiran Modernisasi Islam Siti Walidah
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Pusat Tarjih Muhammadiyah menyelenggarakan forum kajian yang diberi nama “Santri Cendekia Forum” dengan tema kajian “Pemikiran Modernisasi Islam Nyai Siti Walidah”. Adapun narasumber dalam kajian ini adalah Adib Sofia (Pimpinan Pusat Aisyiyah dan Dewan Redaksi Aisyiyah). Forum ini diselenggarakan secara online via Zoom Meeting dan live streaming Youtube di channel “Pusat Tarjih Muhammadiyah” pada Selasa (1/2).
Adib Sofia mengawali materinya dengan menyampaikan latar belakang dan kepribadian dari Nyai Siti walidah. Beliau adalah seorang perempuan yang dilahirkan di Kauman tahun 1872. kemudian beliau menikah dengan Muhammad Darwis (nama asli dari Ahmad Dahlan) di tahun 1889 pada usianya yang ke-17. Dari pernikahan tersebut beliau dikaruniai 6 anak.
Nyai Siti Walidah adalah sosok yang memiliki kepribadian lemah lembut, ramah, sederhana, tenang, tekun, pandai bergaul dengan siapa pun, dermawan, serta percaya diri dan berani dalam mengungkapkan pendapat. Selain itu beliau juga adalah sosok yang cakap dan senantiasa tertarik pada ilmu agama sejak muda, sehingga beliau gemar ikut pengajian.
Kemudian Adib mengungkapkan mengenai landasan pemikiran dari pergerakan yang dilakukan oleh Nyai Siti Walidah adalah al-Qur’an, yaitu beberapa ayat al-Qur’an yang berisikan seruan untuk melakukan amal; surah Ali Imran ayat 104 dan 110. Di awal berdirinya pergerakan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah Nyai Siti walidah dan suaminya K.H. Ahmad Dahlan senantiasa melakukan gerakan al-Ma’un, yaitu fokus bergerak dalam bidang sosial-kemasyarakatan.
Selanjutnya, Adib menjelaskan bahwa Nyai Ahmad Dahlan kala itu memiliki teori untuk membangun kepribadian seseorang yang disebut dengan “Teori Formula Catur Pusat”. Ada empat teori formula catur pusat; pertama, lingkungan keluarga. Keluarga adalah lembaga pertama dan utama bagi anak. Dalam keluarga perlu ada keteladanan dari orang tua, sehingga dapat tercipta generasi yang baik; kedua, lingkungan sekolah. Setelah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah harus baik; ketiga, lingkungan masyarakat. Pastikan lingkungan masyarakat baik, mendukung, dan memiliki kepedulian pada anak; keempat, lingkungan ibadah. Ini meliputi masjid, pengajian, Taman Pendidikan al-Qur’an (TPQ). Pastikan semuanya berjalan dengan baik atau tidak. Keempat teori ini tidak dapat terpisahkan, satu sama lain saling mendukung.
Kemudian Adib menyampaikan beberapa pemikiran yang pernah disampaikan oleh Nyai Ahmad Dahlan dalam suatu kongres. Ada empat hal yang beliau sampaikan; pertama, berkaitan dengan kedudukan perempuan dalam perkawinan; kedua, talak bagi perempuan; ketiga pendidikan bagi kaum perempuan; dan keempat berkaitan dengan perkawinan usia dini.
Selain itu, ada basis moral yang senantiasa diulang-ulang oleh Nyai Siti Walidah dalam banyak kesempatan; pertama, penolakan. Beliau menolak istilah Jawa, yaitu “Wong wadon iku swarga nunut, nerakane katut wong lanang.” (Perempuan itu surganya ngikut, nerakanya ke bawa laki-laki); Kedua, seruan. Beliau senantiasa menyerukan untuk ber-amar ma’ruf nahi munkar kapan pun dan di mana pun; ketiga, sikap. Yaitu sikap memberikan keteladanan dengan semboyannya, “sepi ing pamrih”, artinya bekerja itu harus tanpa pamrih dan tulus ikhlas.
Adib Sofia juga menyampaikan lima modernisasi Islam yang dilakukan oleh Nyai Siti Walidah; pertama, gender equality; independency (kesetaraan gender; kemandirian). Surga dan neraka bagi perempuan ditentukan oleh dirinya sendiri dan perempuan adalah partner bagi laki-laki dalam hal ibadah dan berjuang.
Kedua, relationship (membangun relasi). Nyai Ahmad Dahlan memiliki pergaulan yang luas dengan tokoh-tokoh besar seperti Jendral Sudirman, Bung Tomo, Bung Karno, Mas Mansyur dan selain mereka. Beliau juga merupakan sosok yang pantang rendah diri dan senantiasa selalu memposisikan dirinya sebagai penasihat, sehingga beliau akan senantiasa banyak memberikan nasihat kepada orang-orang. Implikasinya, saat beliau meninggal luar biasa yang hadir begitu banyak dari berbagai kalangan.
Ketiga, mass communication (komunikasi massa). Nyai Siti Walidah senantiasa mendobrak mengenai anggapan negatif tentang perempuan; perempuan sebagai kanca wingking (posisinya berada di belakang perempuan). Selan itu beliau bersuara terkait adanya kawin paksa, meninggalkan pemahaman kolot, berani menghadapi celaan kaum tua, serta pada puncaknya senantiasa mendirikan pondok asrama bagi kaum perempuan yang muridnya banyak dari luar kota. Pondok asrama tersebut fokus untuk melatih keterampilan berpidato dan pendidikan khusus lainnya bagi perempuan.
Keempat, leadership (kepemimpinan-bimbingan). Di awal berdirinya ‘Aisyiyah Nyai Walidah tidak langsung menjadi ketua, namun beliau senantiasa berusaha untuk mengawal terlebih dahulu apa saja yang dibutuhkan oleh Aisyah. Beliau baru menjadi pimpinan ‘Aisyiyah setelah 4 tahun Aisyah berdiri, yaitu di tahun 1921-1926 dan 1930. Beliau juga senantiasa peduli dan mendahulukan muridnya, memajukan muridnya, serta berjuang untuk mengelola Maghribi School (Sopo Tresno, ‘Aisyiyah) dan TK ABA.
Kelima, empowerment; integrity (pemberdayaan; integritas). Di akhir hidupnya, menjelang wafat Nyai Walidah senantiasa memberikan pesan/wasiat yaitu dalam ber-Muhammadiyah-‘Aisyiyah yang harus dilakukan adalah perbaikan hidup bangsa Indonesia berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan.
Adib menegaskan bahwa semua hal atau aspek yang dikampanyekan atau dikehendaki oleh Nyai Walidah semuanya senantiasa relevan dengan apa yang terkandung dalam al-Qur’an. Sebab, Nyai Walidah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya adalah sosok yang senang ngaji dan hidup senantiasa dikelilingi oleh orang-orang yang ahli dalam agama.
Terakhir, Adib menyampaikan terkait dengan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh Nyai Ahmad Dahlan.
“Saya titipkan Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah kepadamu sebagaimana K.H. Ahmad Dahlan menitipkannya. Menitipkan berarti melanjutkan perjuangan umat Islam Indonesia ke arah perbaikan hidup bangsa Indonesia yang berdasarkan cita-cita luhur mencapai kemerdekaan.”
“Sesungguhnya ada dua penyakit yang tidak dapat disembuhkan kecuali oleh yang menderita penyakit sendiri. kedua penyakit itu adalah KIKIR dan MALAS.” Tutup Pimpinan ‘Aisyiyah dan Dewan Redaksi ‘Aisyiyah. (Ahmad Farhan)