Peluang ‘Baru’ Amal Usaha Muhammadiyah
Oleh: Muhammad Akhyar Adnan
Patut disyukuri bahwa jiwa dan semangat ‘Al-Ma’un’ sangat kuat melekat dalam pergerakan Muhammadiyah. Mungkin, inilah salah satu sebab mengapa Persyarikatan ini terus berkembang dari masa ke masa, dan akhir-akhir ini sudah memasuki ranah yang luas, yakni manca negara. Pilihan fondasi (baca: niat), sasaran serta strategi memang sangat penting. Dan ini semua terlihat jelas dalam berbagai aktifitas Muhammadiyah, baik jiwa dan semangat Al-Ma’un, sebagai landasan teologis, maupun strategi melalui sektor pendidikan, kesehatan serta ekonomi, sangat gamblang bila diperhatikan dengan seksama. Sehingga, sepatutnya pilihan atas fondasi dan strategi ini terus dipertahankan, dikembangkan dan diperluas.
Bagaimana misalnya…?
Kita semua tahu kiprah luar biasa Muhammadiyah dalam dunia pendidikan. Begitu luasnya jaringan Lembaga edukasi yang dimiliki, dikelola dan dikembangkan. Begitu pula dalam hal kesehatatan. Peran BKIA, Klinik bahkan jaringan Rumah Sakit (PKU) Muhammadiyah juga tak terbantahkan sama sekali. Selain itu, dalam hal bantuan dan kemasalahatan, dikenal adanya Asrama Yatim (& Piatu) Muhammadiyah, Muhammadiyah Aid, Muhammadiyah Disaster Management Centre (MDMC) atau Lembaga Penanggulan Bencana Muhammadiyah (LPBM), dan – tak kalah penting – Lazismu yang berkembang demikian luas di seantero negeri dengan ratusan milyar rupiah dana kelolaan yang terus bertambah dari waktu ke waktu.
Di luar yang disebutkan di atas sesungguhnya ada peluang implementasi ‘Al-ma’un’ di depan mata yang [mungkin] selama ini belum terlihat atau teridentifikasi. Apa itu?
Bagi mereka yang pernah merasakan kuliah di Luar Negeri, khususnya negara-negara tertentu seperti Australia, Inggris, Canada, dan beberapa negara Barat lainnya, tentu pernah mendengar Lembaga St. Vincent De Paul, Op Shop dan / atau Salvation Army. Lembaga-lembaga ini bersifat nirlaba, dimiliki oleh missionaris agama Nasrani. Apa yang mereka lakukan?
Lembaga ini memang fokus kepada membantu kemaslahatan masyarakat. Mereka biasanya menerima bantuan apa saja dari mereka yang ingin membantu, mulai dari uang tunai, dan – paling banyak tampaknya – barang-barang bekas yang masih layak pakai seperti pakaian, peralatan dapur, peralatan sekolah / pendidikan, sampai dengan peralatan rumah tangga lainnya.
Lazim memang dalam masyarakat yang sudah maju secara ekonomi, banyak orang yang sudah ‘bosan’ dengan beberapa property yang dimiliki, seperti pakaian, alat-alat pendidikan, peralatan dapur, hingga sofa dan ranjang, lalu barang-barang tersebut disumbangkan ke Lembaga semacam St. De Paul, Op Shop dan atau Salvation Army tersebut. Dengan tanpa polesan lagi, barang-barang tersebut dapat (1) dijual dengan harga yang sangat miring, dan / atau (b) diberikan secara cuma-cuma kepada mereka yang memerlukan.
Saat penulis berkesempatan menuntut ilmu di Australia pada tahun 1989 – 1996 dulu, Penulis pernah menikmati bantuan tersebut, ketika penulis memerlukan beberapa peralatan, seperti meja dan kursi belajar di rumah.
Fenomena Masyarakat Indonesia Mutakhir
Kalau kita perhatikan fenomena masyarakat Indonesia sejak – sedikitnya – satu atau dua dekade belakangan ini, maka ada dua kondisi yang terjadi. Pertama, makin naiknya kemakmuran sebagian cukup besar masyarakat Indonesia kelas menengah ke atas. Kita bisa melihat misalnya perkembangan fashion yang cukup maju. Sudah makin banyak orang yang berpakaian cukup mahal dan variatif. Tidak sedikit masyarakat yang membeli pakaian untuk hanya dipakai sekali atau dua kali saja. Sehingga kebutuhan sandang bagi mereka, bukan lagi menjadi sesuatu yang berat, karena banyak masyarakat yang mampu membeli secara rutin ragam pakaian, yang kemudian hanya dipakai sekali, dua kali atau tiga kali.
Hal yang sama, juga terjadi untuk peralatan rumah tangga, seperti peralatan dapur, meja dan kursi makan, almari dan rak-rak. Begitu pula meja dan kursi belajar.. Sehingga, setelah – misalnya – dipakai sekitar 4 atau 5 tahun, mereka ingin mengganti dengan yang baru. Salah satu dampaknya secara ekonomis, dapat dilihat maraknya bisnis barkas, alias barang bekas di beberapa kota besar.
Nah, di sisi lain, akibat disparitas pendapatan ekonomi yang timpang, tidak sedikit pula masyarakat yang masih terseok-seok dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka, yakni pangan dan sandang. Sehingga, kalau kita berkunjung ke beberapa lokasi tertentu, walau di kota besar, sungguh miris melihat keadaan kaum fuqara’ dan masakin tersebut.
‘Peluang Baru’ Amal Usaha Muhammadiyah
Berpijak pada realitas sebagian masyarakat kelas menengah di atas, yang paradoks dengan masyarakat miskin, serta belajar dari Lembaga-lembaga sosial seperti St. De Paul, Op Shop dan Salvation Army yang sudah lama berkiprah di banyak Manca Negara, rasanya Muhammadiyah perlu ‘mengembangkan sayap’ Al-Ma’un dengan segera membuka usaha sosial seperti yang diuraikan di atas.
Dengan pembukaan usaha sosial seperti ini, akan banyak dihasilkan manfaat. Misalnya saja, antara lain:
Bagi kaum berpunya, mereka akan dapat menyalurkan sebagian barang-barang bekas yang masih layak pakai, tetapi sudah tidak diperlukan lagi. Walaupun belum memiliki data, penulis yakin bahwa sesungguhnya sangat banyak supply barang bekas yang saat ini menumpuk di rumah-rumah mereka yang relatif berada. Barang-barang tersebut (pakaian, peralatan dapur, perabot rumah tangga dan pendidikan) menumpuk dan – mungkin – mereka tidak tahu harus dibuang ke mana, atau diserahkan kepada siapa.
Sebaliknya, bagi fuqara’ dan masakin serta kaum dhuafa’, jelas mereka sangat membutuhkan. Tetapi mereka tidak mempunyai daya, info dan ‘jembatan’ untuk menampung limpahan barang tersebut. Makanya, seperti banyak terlihat di ‘kantong-kantong’ kemiskinan, apa yang ada di rumah mereka adalah barang-barang yang sesungguhnya tidak layak pakai.
Keberadaan Lembaga sosial baru ini – sebut saja Namanya Muhammadiyah Public Aid (MPA) – akan sangat berarti sebagai perantara atau jembatan antar kaum berpunya yang memiliki kelebihan barang-barang bekas layak pakai tersebut dengan kaum dhuafa’ yang sangat memerlukan. Yang juga dapat dipastikan, bahwa kegiatan ini sangat sejalan dengan semangat Al-ma’un yang memang menjadi ruh dan semangat Persyarikatan Muhammadiyah.
Di mana Diletakkan, Modal dan Operasional
Lembaga baru ini – kalau mau praktis – bisa saja menjadi bagian dari Lazismu, misalnya. Keberadaannya dapat di tingkat Pusat, Wilayah atau Daerah. Atau – kalau dikehendaki – bisa juga dibentuk menjadi Lembaga tersendiri seperti atau sekelas dengan Lazismu.
Untuk usaha ini, tentu diperlukan modal. Modal yang paling besar adalah semangat dan orang-orang yang memang siap mengabdi secara ikhlas, tentunya. Karena Lembaga ini memang bersifat nirlaba, alias tidak mencari untung (dalam artian bisnis duniawi) sama sekali. Selanjutnya, hanya diperlukan ruangan / gudang / kios, beberapa box penampung dan kendaraan. Semua kebutuhan ini dapat dihimpun dari masyarakat, misalnya via Lazismu.
Secara umum, operasi atau pola kerja MPA dapat digambarkan sebagai berikut. Masyarakat yang misalnya ingin memberikan pakaian bekas atau barang bekas layak pakai lainnya dapat meletakkan dalam box yang sudah disediakan dan diletakkan di beberapa titik-titik strategis. Atau mereka bisa menelpon dan meminta petugas MPA untuk mengambilnya. Kendaraan MPA akan berkeliling secara regular mengumpulkan barang-barang bekas tersebut, mendatanya dan menyimpan di gudang. Tentu saja kalau ada yang rusak ringan, perlu diperbaiki sehingga layak pakai.
Selanjutnya, kalau ada masyarakat yang memerlukan, mereka tinggal datang ke gudang MPA. Belajar pula dari pengalaman St. De Paul, Opp Shop atau Salvation Army, barang-barang tersebut ada yang memang dijual dengan harga yang sangat terjangkau. Namun, kalau yang datang adalah warga yang memang tidak mampu, maka barangbarang tersebut diberikan, bahkan diantarkan secara gratis ke alamat yang diminta.
Di saat – misalnya – ada musibah yang menimpa masyarakat (kebakaran, bencana alam, dsb.), maka keberadaan MPA semakin penting rasanya dalam proses penyaluran bantuan secara cepat dan tepat.
Kembali kepada pengalaman riel penulis di Australia 30an tahun yang lalu, penulis mendatangi gudang St. De Paul di kota penulis kuliah, untuk mencari meja dan kursi belajar. Seperti biasa, petugas menanyakan dengan ramah kebutuhan penulis. Ketika barang yang penulis perlukan ada, lalu penulis ditanya: apakah ada kendaraan untuk membawa meja dan kursi tersebut? Penulis katakan sejujurnya bahwa penulis adalah mahasiswa dan tidak punya kendaraan, maka kemudian mereka memutuskan untuk mengantarkan ke alamat penulis, dan semuanya gratis. Sekadar info pula, bahwa sama sekali tidak ada pertanyaan tentang asal asul, kebangsaan, warga negara atau agama penulis.
Ikhtitam
Kesan dan kenangan di atas, sangat dalam rasanya, dan sulit dilupakan. Tidak berkebetulan sesungguhnya bahwa semangat dan ruh Muhammadiyah sejalan dengan konsepsi dan praktik di atas. Oleh karena itu, besar sekali harapan penulis bahwa Muhammadiyah segera merealisir ide ini, karena secara faktual, masyarakat kita memang masih terbelah secara ekonomis dan keuangan antara yang berkecukupan (atau berkelebihan) dan yang masih sangat memerlukan bantuan.
Wallahu a’lam bishshowab. Nashrun minallahi wa fathun qarib.
Muhammad Akhyar Adnan, Dosen Prodi Akuntansi FEB UMY