Islam Yang Luas dan Luwes
Pada prinsipnya Agama diturunkan oleh Allah untuk menyelamatkan manusia selama hidup di dunia dan kelak di akhirat. Dari sisi sejarah, ajaran agama biasanya merevisi praktik kehidupan suatu masyarakat yang menyimpang dan mulai aneh-aneh.
Nabi Isa misalnya, beliau diutus untuk kembali meluruskan syariat Musa yang bentuknya mulai tidak karuan karena ulah para rahib Yahudi. Konon, pada masa itu sebagian besar rahib Yahudi mulai menambah syariat. Misalnya menambahkan daftar larangan dan kewajiban yang harus dilakukan umatnya.
Kalau ditanya, para rahib itu akan menjawab kalau tujuan penambahan itu untuk menambah kealiman dan kesucian praktik keagamaan mereka. Beberapa daging hewan yang semula tidak dihukumi haram dalam syariat Musa mulai diharamkam oleh para Rahib Yahudi, demikian pula dengan beberapa kegiatan tertentu.
Pada zaman Nabi Muhammad saw tradisi dan praktik-praktik seperti itu juga masih terjadi di tengah bangsa Arab non Yahudi. Misalnya mereka mengharamkan daging Unta yang sudah beranak lima kali. Juga mengharamkan unta berwarna tertentu
Dalam perkembanganya, ajaran Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw juga mengalami nasib yang hampir sama. Islam yang tersebar luas dan bertemu dengan aneka tradisi lain serta dianut oleh masyarakat yang sudah mempunyai tradisi tertentu, kemudian mengalami beberapa modifikasi dalam praktik keagamaannya.
Bagi orang yang mempelajari agama Islam secara mendalam, tentu akan dapat membedakan ajaran asli Islam dan yang tambahan, namun kebanyakan kaum awam akan sangat kesulitan memisahkannya.
Kasus khutbah jum’at dengan bahasa lokal misalnya. Saat ini, khutbah jum’at dengan bahasa Indonesia atau bahasa yang lain mungkin sudah tidak menjadi permasalahan. Namun sampai tahun 1930-an khutbah dengan bahasa selain bahasa Arab masih menjadi permasalahan besar bagi umat Islam di Indonesia, masih banyak yang menganggapnya sebagai suatu kesesatan.
Demikian pula halnya dengan kultum saat shalat tarawih. Bagi orang Islam yang sudah belajar agama, pasti paham kultum di shalat tarawih itu bukan bagian dari shalat tarawih. Namun, bagi kaum awam yang sejak kecil hanya tahu kalau dalam rangkaian shalat tarawih itu ada kultumnya, maka Kultum itu diyakini sebagaimana khutbah dalam rangkaian ibadah shalat Jum’at. Demikian pula dengan shalat subuh di bulan ramadhan. Bahkan, mayoritas umat Islam Indonesia saat ini meyakini kalau shalat tarawih itu harus dilakukan secara berjamaah.
Salah satu tujuan didirikannya Muhammadiyah adalah untuk meluruskan hal-hal tersebut. Mendudukkan ajaran Islam yang murni dan yang modifikasi. Mendudukkan mana yang wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram. Tujuannya adalah agar Umat Islam tidak ghuluw (berlebihan) dalam beragama sebagaimana orang-orang Yahudi yang akhirnya terlalu berat menjalankan syariat agamanya karena tambahannya sendiri.
Suara Muhammadiyah tahun pertama (1915) edisi nomor 2 merekam hal tersebut. Lewat tulisan HS (Haji Suja’) yang berjudul “Sedekah Utawi Wilujengan”. Pada bagian awal, tulisan ini mengapresiasi tradisi orang Jawa yang terbiasa membuat acara sedekahan pada moment tertentu. Seperti saat kelahiran, menikahkan anak, maupun saat ada kematian dari hari H sampai seribu hari.
“Sampun limrah dening bangsa jawi sami anindakaken sedhekah utawi wilujengan. Punapa dene menawi nuju wonten damel. Kados menawi gadhah lare. nekakaken mantu lan menawi kasripahan wiwit surtanah demugi nyewu. Agami kita Islam ugi dhedhawuh bab sedhekah wau kaliyan tembung sunat. Kautaman saha nerangaken pinten-pinten paedah ingsun sedhekah wau. Kadosta anggampilake rejeki, angicalaken kasusahan manjangaken umur, lan anebihaken sarta angilangaken kasangsaran. Saking menika kawasta dening bongsa kita jawi kaliyan ringkesing makna wilujengan. Punika sanesipun ganjaran ingkang ginadhang benjing ing Akherat.”
Namun di bagian tengah dan akhir tulisan HS juga menyebut kalau sedekah atau yang oleh bangsa jawa disebut sebagau wilujengan (selamatan) itu sunah, tidak wajib bagi orang yang hidupnya pas-pasan tidak perlu untuk memaksakan diri melakukan hal itu. Bagi hartawan yang kaya raya terserah saja. Namun HS Juga mengingatkan adanya anjuran pemerintah untuk tidak berlebihan dalam mengadakan pesta-perayaan.
“ing ngayogya ngriki pamarintah kita sampun adamel pratandha teng tiyang gadhah damel, boten kenging rowa-rowa ananging kedah ringkesan kemawon. Menggah pranatan ingkang makaten wau cocok sanget kaliyan sejaning kemajengan lan inggih punika penuntun ingkang ageng dhateng margining kawilujengan, sarta pethuk kaliyan pranataning agama kita Islam.”
Mengapa pada edisi awal (saat itu KH Ahmad Dahlan masih menjadi anggota tim redaksi) Suara Muhammadiyah menurunkan tulisan seperti itu? Karena masyarakat Jawa menganggap upacara kematian, pernikahan, khitanan, maupun kelahiran harus dilakukan dengan cara seperti itu, dan mengangap hal itu sebagai hal yang wajib.
Di samping pelopor dalam “mengurangi yang dianggap wajib” Muhammadiyah juga pelopor dalam membolehkan yang dianggap haram. Misalnya, saat orang-orang Islam mengharamkan pakaian model Eropa, mengharamkan strijk (jenis alat musik), melarang sepakbola, melarang penerjemahan Qur’an, melarang pembuatan gambar dan foto, melarang penulisan Qur’an dan hadits dengan aksara latin, melarang khutbah bahasa Jawa, melarang perempuan sekolah atau keluar rumah. Muhammadiyah justru menjadi penganjur semua hal yang dilarang itu.
Bagi Muhammadiyah, beragama itu tidaklah ruwet dan apalagi memberatkan diri. Tradisi ini juga berlanjut pada zaman Kiai Mas Mansur yang menerangkan tentang Islam yang tidak mengikat paham serta memperluas paham agama yang pada intinya kita tidak boleh mempersulit hidup kita dengan mebuat sempit paham agama kita.
Sumber: Majalah SM Edisi 14 Tahun 2021
Baca selengkapnya di Majalah SM Digital, download di Playstore