Masyarakat Utama
Dalam Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang disusun Ki Bagus Hadikusuma, disebutkan secara umum, bahwa konsepsi Masyarakat Utama adalah Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya. Konsep tersebut telah dipakai Muhammadiyah sebagai maksud dan tujuan perjuangan Muhammadiyah sejak tahun 1950. Sementara berdasarkan penjelasan Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang disahkan pada bulan Juni 1972, maka Masyarakat Utama adalah, “Suatu masyarakat di mana keutamaan, kesejahteraan dan kebahagiaan luas merata, serta keadilan berlaku di dalamnya.”
Dalam sejarahnya, tema Masyarakat Utama muncul pertama kali setelah Muktamar Muhammadiyah ke-41 yang berlangsung di Solo pada tanggal 7-14 Desember 1985 yang menerima Pancasila sebagai azas organisasi. Sebagai akibat pemberlakuan UU No. 8 Tahun 1985 tentang azas tunggal. Di samping itu, berdasarkan situasi dan kondisi sosial politik yang ada, maka dilakukan perubahan rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah dalam Anggaran Dasar Bab II Pasal 3 dari “Masyarakat Islam yang Sebenar-benarnya” menjadi “Masyarakat Utama, adil dan makmur yang diridhai Allah SwT (Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur). Sejak dirumuskan pada Muktamar Muhammadiyah ke-41 itulah, istilah Masyarakat Utama menjadi istilah dan konsep yang terus dipakai maksud dan tujuan Muhammadiyah hingga sekarang.
Secara historis, menurut KH Ahmad Azhar Basyir (alm), konsep Masyarakat Utama dapat ditelusuri berdasarkan penekanan dakwah Islam yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, sejak periode Makkah hingga periode Madinah. Konsep tersebut dapat diklasifikasi menurut tahapan pembangunan Masyarakat Utama yang dimulai dari; Pertama, periode pembinaan umat. Rasulullah memulai pembinaan umat dengan membangun masjid, baik di Quba maupun di Madinah. Pendirian masjid tersebut sebagai lambang hubungan manusia dengan Tuhannya.
Kedua, periode persaudaraan umat. Di mana Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Ketiga, periode perdamaian dengan sesama. Di mana setelah periode persaudaraan, maka diadakan suatu perjanjian hidup damai dan solidaritas antarumat Islam dengan umat Yahudi dalam wadah negara yang dipimpin langsung Rasulullah. Keempat, periode pembangunan sosial. Periode pembangunan yang menekankan terbentuknya suatu tatanan sosial, politik, dan ekonomi yang berkeadilan sosial dan merata untuk seluruh lapisan masyarakat.
Karenanya secara normatif, cita-cita sosial Islam merupakan refleksi tauhid yang menekankan kesatuan hubungan antara Tuhan, alam dan manusia dalam konteks khilafah dan ummah. Suatu refleksi yang menandai misi manusia (peran polirik) sebagai wakil Tuhan di muka bumi, serta sebagai perwujudan manifestasi cita-cita sosial Islam untuk rahmat umat manusia seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Dalam konteks inilah konsep Madinah al-Fadilah (Masyarakat Utama) versi Al-Farabi maupun konsep tamaddun (peradaban) dibentuk dengan maksud agar suatu tatanan sosial dapat mencapai kebahagiaan yang hakik (al-sa’adah al-haqiqiyah).
Konsep Masyarakat Utama adalah suatu konsep terbuka, bersifat interpretatif, serta dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan sosial yang ada. Sekalipun konsepsi Masyarakat Utama formatnya selalu berubah dari waktu ke waktu dan tidak dapat dilepaskan dari konteks ke-Indonesiaan, tetapi maksud dan tujuannya tetap sama, yaitu sebagai penciptaan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur (Masyarakat Utama adil dan makmur yang diridhai Allah SwT).
Masyarakat Utama yang dicita-citakan berdasarkan Kepribadian Muhammadiyah dapat dilihat dari dua aspek, sebagai berikut: Pertama, aspek institusional. Di mana sifat utama dalam konteks masyarakat berarti sistem dan tatanan sosial, serta budaya yang dikembangkan adalah kondusif bagi terwujudnya kehidupan sejahtera lahir batin bagi segenap warganya, yaitu kehidupan yang tertata baik, aman, adil dan makmur material-spiritual.
Sistem dan tatanan sosial tersebut memberikan kemudahan, perlindungan, persamaan, kemerdekaan, keadilan, dan terbebaskannya individu masyarakat dari kondisi kehidupan yang tidak manusiawi berupa kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Suatu kondisi sosial yang melatarbelakangi lahirnya Muhammadiyah. Kedua, aspek subjek individu. Masyarakat Utama pada hakikatnya merupakan masyarakat yang terdiri atas subjek individu yang utama pula (syakhsul fard al-fadhil).
Subjek individu yang utama adalah individu yang sadar akan keberadaannya sebagai hamba Allah (Abdullah) dan wakil Allah di bumi (khalifah fi al-ardhi). Suatu subjek individu yang memiliki etos untuk selalu bertadzakkur, bertafakkur, bermusyawarah, bertasamuh, bertawassu, berikhtiar, berta’awun, berukhuwah, berfastabiqul khairat, berijtihad, berjihad, dan beristiqamah. Intinya suatu subjek individu yang beriman sekaligus beramal shaleh (a’manu wa amil al-shalihat) dan menjadi uswah hasanah. (Imron Nasri)
Sumber: Majalah SM Edisi 10 Tahun 2021