Negeri Bahari Tak Bergaram
Oleh: Deni Asyari
Bukan saja soal minyak goreng dan gula. Hal yang sangat potensial pun di negeri ini juga tidak luput dari kebijakan impor, yakni garam.
Sebagaimana diketahui, bahwa hampir tiap tahun pemerintah, melakukan kebijakan impor untuk produk garam. Salahsatu alasannya, karena produksi garam lokal tidak mencukupi kebutuhan nasional.
Sebagaimana data disampaikan oleh Kementerian Perindustrian, bahwa kebutuhan garam untuk dalam negeri, sebanyak 4,6 juta ton. Sementara, produksi dalam negeri sebagaimana data kementerian & kelautan baru mencapai 1,3 juta ton.
Oleh karenanya, untuk memenuhi selisih kebutuhan dalam negeri, pemerintah melalui kementerian perindustrian, pada tahun 2021 yang lalu melakukan impor garam sebanyak 3,07 juta ton ke beberapa negara, diantaranya, Australia, Tiongkok, India, Thailand dan Selandia baru.
Ironi Negeri Bahari
Produksi garam yang tak pernah mencukupi, disertakan kebijakan impor garam yang nyaris tiap tahun dilakukan oleh pemerintah, tentu menjadi sesuatu yang ironi.
Menimbang Indonesia adalah negeri bahari dengan potensi garis pantai terpanjang kedua di dunia, dengan panjang 95.181 kilometer.
Semestinya dengan potensi sebagai negeri bahari, Indonesia sangat bisa untuk menghasilkan garam memenuhi kebutuhan dalam negeri. Tapi, faktanya, justru sebaliknya, perbandingan quota impor garam jauh lebih banyak ketimbang hasil produksi garam lokal.
Selama ini alasan yang dikemukan pemerintah, selalu soal kualitas garam lokal yang masih jauh kalah dibandingkan kualitas garam impor. Sehingga, banyak garam lokal yang tidak terserap oleh industri dalam negeri.
Padahal tahun 2015, pernah digaungkan jika Indonesia akan menjadi negara swasembada garam pada tahun 2020. Tapi lagi-lagi swasembada yang dimaksud, hanya swasembada impor.
Karena buktinya sampai saat ini, selain Indonesia masih mengandalkan kebijakan impor. Disamping itu, tidak sedikit pula para petani garam kita, yang beralih profesi karena rugi berhadapan dengan garam impor.
Sebab, menurut salah seorang petani garam asal Cirebon, setiap masuk musim panen, harga garam selalu anljok karena masuknya garam impor. Biasanya harga garam bisa mereka jual Rp. 600- Rp. 700, namun saat panen turun drastis ke angka Rp. 250- Rp.300.
Belum lagi kebijakan pemerintah yang urung terlaksana untuk meningkatkan kualitas produksi garam lokal. Padahal pemerintah melalui presiden Jokowi, sudah memerintahkan agar ada transformasi manajemen produksi garam lokal. Tapi di lapangan, belum berjalan maksimal.
Jadi, kebijakan impor yang dilakukan oleh pemerintah, justru “membunuh” produksi petani garam lokal. Oleh karenanya, semangat swasembada garam, serta orasi “mencintai produk dalam negeri”, mestinya bukan sekedar retorika politik semata.
Justru pemerintah harus berani mengambil solusi mulai dari persoalan hulu usaha rakyat ini. Kalau hanya sekedar narasi-narasi semata, maka benar sudah apa yang menjadi perbincangan rakyat di bawah, bahwa Indonesia, adalah negeri bahari yang tak bergaram. Bisa jadi yang tersisa dari garam negeri ini hanya keringat rakyatnya.