Solusi Jangka Panjang untuk Pengungsi Rohingya
Bagi Lucky, perempuan yang kini mengambil jurusan Politik, Filsafat, dan Ekonomi di Asian Women University Bangladesh, statusnya sebagai pengungsi bukanlah hambatan bagi dirinya untuk mengenyam pendidikan secara jarak jauh dari kamp pengungsi. Dalam video berdurasi 7 menit yang diunggah oleh UN Women Asia and the Pacific di akun Youtube resminya, Lucky dengan percaya diri mengatakan bahwa dirinya bertekad untuk mendorong agar perempuan di kamp pengungsian yang juga menjadi tempat tinggalnya secara beberapa waktu terakhir, Cox Bazar, agar mampu memahami hak-hak yang dimilikinya sebagai pengungsi, termasuk untuk mendapatkan pendidikan.
Namun tak semua pengungsi Rohingnya mendapatkan peluang yang sama. Krisis pandemi global yang telah melanda hampir setahun tidak hanya melumpuhkan sektor ekonomi namun juga menghambat pemberian bantuan kemanusiaan yang terdapat di kamp-kamp pengungsian. Pengungsi Rohingnya, harus memilih antara tinggal di kamp-kamp pengungsian yang overcapacity atau terkatung-katung di lautan selama berbulan-bulan menunggu untuk diizinkan untuk menepi.
Pada Juni 2020, nelayan mengidentifikasi perahu di perairan Aceh yang kemudian diketahui membawa 99 pengungsi Rohingya. Perahu tersebut telah terlihat beberapa hari sebelumnya namun tidak mendapatkan respons dari pemerintah setempat. Pengungsi Rohingya yang datang pada gelombang pertama tersebut menuai simpati dari masyarakat nelayan sekitar yang memutuskan untuk menarik perahu mereka ke daratan. Pada September 2020, perahu yang lebih besar diketahui membawa 296 pengungsi terdampar di perairan Aceh. Perahu tersebut diketahui telah berada di lautan lepas selama 7 bulan lamanya setelah penumpang meninggalkan kamp pengungsian Cox’s Bazar Bangladesh dengan kondisi yang kelaparan, dehidrasi, juga trauma.
Eskalasi konflik antara tentara Myanmar dan kelompok bersenjata Arakan sejak 2018 tercatat telah membuat 90.000 etnis Rakhine dan kelompok etnis lainnya terusir dari tempat tinggalnya. Selama delapan tahun terakhir, 130.000 Internally Displaced Persons (IDPs) Rohingnya di Rakhine Tengah hidup berjejalan di kamp-kamp dengan kondisi yang tidak memadai dengan berbagai pembatasan pergerakan dan beresiko tinggal secara permanen di kamp tersebut.
Di tengah krisis pendemi, IDPs Rohingnya mengalami pembatasan akses kepada layanan kesehatan. Operasi kemanusiaan mengalami pembatasan yang berdampak kepada kesehatan dan kesejahteraan komunitas yang tinggal di Rakhine. Sejumlah desa di Rakhine yang tidak diizinkan untuk mendapatkan akses internet 3G dan 4G, sehingga penduduk Rakhine sendiri tidak mampu mengakses informasi terkait konflik ataupun Covid-19 melalui email atau website hanya dengan koneksi 2G.
Di pengungsian Cox Bazar Bangladesh sendiri lebih dari than 860,000 pengungsi Rohingnya menempati 34 kamp yang menghadapi potensi resiko seperti kekerasan berbasis gender, pekerja anak, perdagangan manusia dan penularan Covid-19. Krisis pandemi juga membuat masyarakat di negara host yaitu Bangladesh menghadapi keterbatasan dalam sektor ekonomi maupun kesehatan. Aktor kemanusiaan tidak hanya menyalurkan bantuan bagi pengungsi Rohingya saja namun juga masyarakat Bangladesh. Meskipun dengan kekurangan pendanaan di tahun 2021.
Komisioner UNHCR Filippo Grandi mengakui bahwa pendanaan 2020 mengalami penurunan. Bahkan, dirinya menyadari bahwa capaian pemberian bantuan kemanusiaan sendiri belum mencapai 50% dari yang ditargetkan. Hal ini disebabkan oleh adanya gap pendanaan yang diberikan untuk respons kemanusiaan internasional. Konferensi Rohingnya 2020 yang digelar secara virtual disponsori oleh Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa dan UNHCR diharapkan mampu menggalang solidaritas berbagai negara donor terhadap pengungsi Rohingnya.
Berbagai pihak yang terlibat mengharapkan adanya solusi berkelanjutan yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam melakukan respons kemanusiaan. Konferensi Donor ini tidak hanya melibatkan pemerintah sejumlah negara seperti Australia, Bangladesh, Belgia, Kanada, Estonia, Finlandia, Perancis, Jerman, Luxembourg, Malaysia, Malta, Norwegia, Filipina, Swiss, dan Thailand. Namun juga organisasi dan kelompok masyarakat sipil yang aktif memberikan bantuan dan pendampingan terhadap pengungsi.
Sejumlah fokus yang diberikan dalam konferensi tersebut di antaranya pertama, mencari solusi jangka panjang dan mengatasi akar penyebab krisis. Salah satunya dalam mendorong solusi Voluntary Repatriation atau kembali nya pengungsi ke Myanmar secara sukarela. Meskipun demikian, stabilitas politik belum tercapai dan kerentanan akan konflik masih terlihat. Kedua, berfokus kepada peningkatan bantuan kemanusiaan, sehingga diharapkan mampu memperbaiki kesejahteraan pengungsidi kala krisis pandemi ataupun jangka panjang.
Ketiga, memperluas kesempatan bagi anak dan perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang selama ini cenderung sangat terbatas. Hal ini dipandang krusial karena menjadi salah satu pendekatan untuk memotong lingkaran kerentanan. Keempat, investasi terhadap negara host yang selama ini telah memberikan tempat tinggal sementara bagi pengungsi Rohingnya. Meningat, komunitas lokal di negara host seharusnya menjadi garda depan dalam penyaluran bantuan kemanusiaan sekaligus membantu proses integrasi dan pemulihan pasca trauma bagi pengungsi.
Kebutuhan pokok seperti sandang, panganan, dan tempat tinggal memang menjadi hal yang krusial bagi pengungsi Rohingya sejak konflik yang mengalami eskalasi pada 2017. Namun berbicara mengenai solusi jangka panjang, di antara akses terhadap kesejahteraan yang dibutuhkan oleh pengungsi, kebebasan pergerakan juga hak untuk berpartisipasi dalam kebijakan yang mempengaruhi hajat hidup pengungsi menjadi penting bagi pengungsi untuk mendapatkan kehidupan mereka yang normal kembali. Saad Hammadi dalam The Diplomats menegaskan betapa sejumlah pembatasan di kamp-kamp menjauhkan pengungsi dari kebebasan mereka untuk berpartisipasi dan menyuarakan aspirasi mereka terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi di kamp pengungsian.
Seperti yang dikatakan oleh Lucky dalam video singkat tersebut, dirinya mengakui bahwa perempuan Rohingya yang ada di kamp pengungsian memiliki ide-ide serta gagasan yang berarti. Meskipun demikian, pembatasan akses terhadap pendidikan dan informasi yang membuat perempuan-perempuan tersebut sering kali tidak mengenali hak-hak mendasar juga keadilan yang layak untuk didapatkannya.
“Mereka memiliki banyak ide cemerlang juga pengalaman yang berarti namun mereka tidak mendapatkan kesempatan untuk bersuara dan mendapatkan wawasan juga pengetahuan dari yang lainnya.” (Th)
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2020