Hukum Menggunakan Parfum Bagi Wanita
Oleh: Ruslan Fariadi AM
Hadits atau sunnah maqbulah (baik shahih/hasan lidzatihi dan lighairihi) adalah salah satu sumber hukum dan dalil syariah seperti Al-Qur’an, sebagai pedoman umat Islam dalam berbagai aspek kehidupan. Di dalamnya terdapat hukum yang mewajibkan, menganjurkan, halal-haram, dan anjuran moral untuk diikuti. Dalam hadits ada yang bersifat qath’i ad-dalalah terutama hadits-hadits mutawatir, namun juga ada yang zhanni ad-dalalah yang memunculkan multi penafsiran dan pada akhirnya melahirkan keragaman pendapat. Hadits yang dimaksud di sini tentu sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli hadits yang mencakup ucapan (qauli), perbuatan (fi’li), ketetapan (taqriri), bahkan cita-cita (hammi) dan sifat-sifat Nabi saw.
Tulisan ini mengkaji hukum menggunakan wewangian atau parfum oleh wanita. Jika boleh, bagaimana memahami matan (isi-redaksi) hadits serta batasan yang diperbolehkan, dan sebaliknya. Karena parfum merupakan sesuatu yang tidak terpisahkan dalam realitas kehidupan pria dan wanita. Berikut hadits yang menjelaskan persoalan ini:
عَنْ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ» (رواه النسائي)
“Dari Al-Asy’ari ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda: “Wanita mana saja yang memakai minyak wangi kemudian melintas pada suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. an-Nasa’iy)
Otentisitas dan Validitas Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh An-Nasa’iy dalam Sunan-nya, no. 5036 berderajat hasan. Selain An-Nasa’iy, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 2710, Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 3642, Ahmad bin Hanbal dalam Musnad-nya no. 18757, Ad- Darimi dalam Sunan-nya no. 2532, baik redaksinya sama maupun sedikit berbeda, namun bersumber dari sahabat yang sama, yaitu Abu Musa al-Asy’ari. Jika ditelusuri hadits-hadits dalam persoalan ini, ditemukan hadits lain dengan redaksi yang berbeda namun substansinya sama, yaitu riwayat Muslim berderajat shahih yang berbunyi;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ أَصَابَتْ بَخُورًا فَلَا تَشْهَدْ مَعَنَا الْعِشَاءَ الْآخِرَةَ. (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Siapa pun wanita yang memakai parfum, maka janganlah dia hadir bersama kami dalam shalat Isya’ yang akhir’.” (HR. Muslim)
Matan hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dalam Al-Jami’ As-shahih-nya pada bab “Khuruj an-Nisa’ ila al-Masjid idza lam yartab ‘alaihi fitnah” no. 675. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa’iy dan Ahmad bin Hanbal dengan menyebutkan redaksi isya’ al-akhirah.
Pemahaman dan Kontekstualisasi Hadits (Fiqhul Hadits)
Memahami matan hadits-hadits tersebut, ada beberapa kata kunci (keyword) yang harus dikaji, yaitu ayyumamra’atin (setiap wanita), marrat ‘alaih (melintas), fahia zaniyah (ia berzina) dan isya’ al-Akhirah (waktu isya’ yang akhir), disamping dengan menelusuri sababul wurud-nya;
Setiap Wanita (Ayyumamra’atin)
Kataإِمْرَأَةٍ أَيُّمَا yang berarti setiap wanita dalam hadits tersebut menunjukkan arti wanita dewasa. Karena imra’taun baik dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi sering digunakan untuk wanita dewasa atau dalam arti isteri. Selain itu, secara bahasa kata “imra’atun” lebih banyak digunakan dalam al-Qur’an dalam konotasi negatif seperti “imra’ata fir’aun, imara’ata Luth” dan sebagainya, yang menunjukkan makna wanita-wanita yang memiliki perangai negatif atau wanita yang tidak baik. Sedang wanita-wanita yang berkonotasi baik atau positif lebih sering menggunakan istilah “nisa’” seperti “ya nisa’ an Nabi” dan lainnya. Dari sini dapat dipahami, hadits ini memberi penjelasan tentang hukum menggunakan parfum (ista’tharat) dengan tujuan yang tidak dibenarkan oleh agama, terlebih lagi jika tujuannya untuk menarik hasrat lawan jenisnya dengan cara dan tujuan yang terlarang.
Melintas (marrat ‘alaih)
Secara bahasa, kata “marrat ‘alaih” dapat berarti lewat, melintas, berjalan, tertarik, dan terseret. Terlebih lagi dalam hadits tersebut menjelaskan tentang motif “melintas pada suatu kaum agar mereka mencium baunya”, maka jelas ini menunjukkan kesengajaan untuk pamer, baik dengan maksud agar mendapatkan sanjungan, pamer kekayaan, terlebih lagi menggunakan parfum untuk memancing hasrat (libido) lawan jenisnya dengan aroma-aroma tertentu yang memikat.
Ia telah berzina (fahia zaniyah)
Maksud dari berzina di sini bukan berarti hukuman dan dosanya sama dengan orang yang melakukan hubungan seksual yang terlarang (berzina), tetapi memiliki arti berdosa. Karena dalam hadits lain disebutkan bahwa seluruh anggota tubuh manusia memiliki potensi untuk melakukan dosa (zaniyah). Dalam hadits Nabi saw. disebutkan sebagai berikut;
عَنْ أَبِي مُوْسَى رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “كُلُّ عَيْنٍ زَانِيَةٌ، وَالْمَرْأَةُ إِذَا اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ بِالْمَجْلِسِ فَهِيَ كَذَا وَكَذَا” . (رواه الترمذي)
“Dari Abi Musa ra. (ia meriwayatkan) dari Nabi saw. bersabda: “Setiap mata (berpotensi) berzina. Dan perempuan itu jika memakai wewangian/parfum lalu melewati suatu majelis maka ia seperti itu, yakni seperti perempuan berzina.” (HR. At-Tirmidzi)
Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 2786, dan ia mengomentarinya sebagai hadits “hasan-sahih”. Ibnu Hajar menjelaskan maksud istilah “hasan-shahih” oleh At-Tirmidzi yaitu; “hasan-shahih adalah; jika hadits tersebut hanya satu jalur periwayatan, bermakna jika dilihat dari sisi sanad, kualitasnya hasan, namun jika dilihat sisi matannya, ia shahih. Jika hadits tersebut diriwayatkan dari beberapa jalur, maknanya adalah jika dilihat dari satu jalur kualitasnya hasan, dan dari jalur lain ia shahih. Artinya, dari berbagai jalur periwayatan hadits tersebut, ada yang hasan dan ada pula yang shahih.” Ada juga yang memaknai istilah hasan-shahih berarti sekelompok ulama tertentu menilai hasan dan sekelompok lainnya menilai shahih. Terlebih, selain At-Tirmidzi, matan hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’iy dari sumber Sabit bin ‘Ammarah.
Menganalogikan penggunaan parfum bagi wanita dengan “berzina” sebagaimana dijelaskan dalam hadits di atas, bukan dalam arti sesungguhnya, baik dari aspek besarnya dosa maupun konsekuensi hukumnya. Namun hal itu setidaknya bisa dimaknai dalam dua hal yaitu, “dapat mendorong orang untuk berbuat berzina” atau dalam makna lain “maka ia telah melakukan dosa atau berdosa”. Karena organ tubuh manusia berpotensi untuk melakukan dosa termasuk menarik pandangan setiap orang yang dilewatinya sebagaimana diisyaratkan dalam matan hadits di atas dengan menggunakan kalimat “kullu ‘ainin zaniyah (setiap mata berpotensi untuk berzina/dosa pandangan)”. Bahkan dalam riwayat lain disebutkan, setiap anggota tubuh manusia berpotensi berdosa, dosa mata adalah melihat, dosa tangan adalah menggenggam (sesuatu yang haram), dan dosa kaki adalah melangkah (untuk melakukan kemaksiatan)”.
عَنْ الْأَشْعَرِيِّ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَيُّمَا امْرَأَةٍ اسْتَعْطَرَتْ فَمَرَّتْ عَلَى قَوْمٍ لِيَجِدُوا مِنْ رِيحِهَا فَهِيَ زَانِيَةٌ» (رواه النسائي)
“Dari Al-Asy’ari ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda: “Wanita mana saja yang memakai minyak wangi kemudian melintas pada suatu kaum agar mereka mencium baunya, maka ia adalah pezina.” (HR. an-Nasa’iy)
Selanjutnya jika diperhatikan, causa hukum (‘illat hukum) yang terdapat dalam hadits-hadits di atas sebagai alasan Rasulullah saw. menganalogikan penggunaan parfum bagi wanita dengan berzina, jika dikaitkan dengan beberapa hal yaitu; Pertama: dengan motif untuk pamer dengan sengaja melintas di kerumunan orang, agar mereka tertarik dan mencium aroma yang diinginkannya. Karena dalam matan hadits jelas disebutkan salah satu faktor yang menjadi larangannya, yaitu kalimat yang menyatakan; “Fa marrat ‘ala qaumin liyajidu rihaha (kemudian melintas pada suatu kaum (laki-laiki) agar mereka mencium baunya).”
Terlebih lagi jika ditambah dengan motif untuk mendapatkan sanjungan atau pujian yang tentu termasuk hal yang dilarang atau berdosa (zaniyah). Hal ini juga dijelaskan dalam hadits yang menggunakan kalimat ‘كذا وكذا’, yang berarti “maka ia seperti itu, yakni seperti perempuan berzina”. Artinya, perilaku tersebut diidentikan dengan perbuatan zina. Sebab perbuatan tersebut bisa menggoda, memancing hawa nafsu lawan jenisnya, terlebih lagi jika ditambah dengan penampilan yang vulgar, seksi dan seronok (tabarruj). Minimal dapat memancing sorotan mata banyak orang (zina mata). Maka zina yang dmaksudkan dalam hadis-hadis tersebut adalah zina dalam pengertian kinayah atau majaz (metafora), yaitu perbuatan yang dapat menyebabkan terjadinya perbuatan zina.
Waktu isya’ yang akhir (isya’ al-Akhirah),
Selanjutnya dalam hadits-hadits tersebut dapat ditemukan causa hukum (‘illat hukum) yang kedua: terkait dengan sebab yang bisa menjadi larangan jika dilakukan pada waktu, tempat dan motif yang tidak benar. Sehingga larangan maupun celaan dalam hadits tersebut tidak bersifat mutlak, semua tergantung jenisnya, caranya, waktunya, serta motif yang bersangkutan. Termasuk dalam hal memilih aroma yang tidak menyengat dan memberikan rangsangan kepada lawan jenis (yang wajar). Maka jika dilakukan dengan cara yang wajar dan elegan, terlebih lagi untuk kemesraan atau keharmonisan hubungan suami-isteri, maka justru tidak hanya sekedar boleh, namun juga dianjurkan dan berpahala.
Kalimat “isya’ al-akhirah” dalam hadits tersebut juga mendukung pemahaman tersebut. Dimana waktu isya’ al-akhirah yang salah satu maknanya adalah melaksanakan shalat isya’ di waktu yang semakin gelap. Sekalipun istilah tersebut dibantah oleh sebagian ulama sebagaimna dijelaskan dalam syarah Muslim. Sedangkan Ibnu al-Malik menjelaskan maksud dari isya’ al-akhirah bahwa, “shalat isya’ itu dikerjakan pada waktu malam hari, saat itu kondisi jalanan sepi dan gelap, sedangkan bau harum dari seorang wanita itu dapat membangkitkan birahi laki-laki, sehingga kaum wanita dikhawatirkan tidak bisa aman karena fitnahnya lebih besar”.
Maka sebagian ulama memahami hadits tersebut sebagai bentuk kekhawatiran Rasulullah saw. terhadap keselamatan, sekaligus bentuk perlindungan beliau kepada wanita muslimah pada situasi dan kondisi tersebut. Sama halnya ketika saat ini dan di tempat keramaian, lalu ada seseorang yang mengatakan “sebaiknya wanita jangan menggunakan perhiasan dengan mencolok, karena dikhawatirkan akan terjadi pencopetan dan lain sebagainya. Karena kata “Bang Napi” kejahatan tidak selalu karena niat, tetapi karena kesempatan.
Karena itu, larangan menggunakan wewangian bagi wanita tidak bersifat mutlak, sehingga wanita dapat menggunakannya dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang menjadi kebolehan dalam agama. Karakter pemahaman seperti ini juga sama dengan ketika memahami apresiasi Nabi kepada orang yang berpuasa, dimana aroma busuk yang keluar dari mulutnya (karena tidak makan dan minum) akan dibalas pada hari kiamat dengan aroma yang lebih harum dari bau kesturi. Ini tidak bisa dipahami, semakin bau mulut seseorang yang berpuasa maka semakin harum pada hari kiamat, sehingga ia sengaja tidak membersihkan gigi atau mulutnya.
Begitu pula dengan hadits tersebut, tidak berarti wanita yang baik adalah wanita yang aromanya tidak sedap atau busuk. Sehingga wanita yang aromanya tidak sedap itu lebih mulia dibandingkan dengan wanita yang menggunakan parfum, tentu tidak demikian. Bahkan justru dalam hadits Nabi dijelaskan tentang kriteria parfum pria dan wanita, yang mengisyaratkan bahwa keduanya boleh menggunakan parfum. Hal ini diejaskan dalam hadits riwayat Abu Hurairah ra. berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طِيبُ الرِّجَالِ مَا ظَهَرَ رِيحُهُ وَخَفِيَ لَوْنُهُ وَطِيبُ النِّسَاءِ مَا ظَهَرَ لَوْنُهُ وَخَفِيَ رِيحُهُ. (رواه النسائي)
“Dari Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Parfum laki-laki itu baunya nampak, sementara warnanya tidak, dan parfum wanita itu warnanya Nampak, sementara baunya tidak.” (HR. An-Nasa’iy)
Dalam hadits yang berbeda juga menjelaskan bahwa mengkonsumsi sesuatu yang menyebabkan orang lain terganggu shalatnya, juga dilarang sekalipun hal itu harum .
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي غَزْوَةِ خَيْبَرَ مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا. (رواه البخاري)
“Dari Ibnu ‘Umar ra., bahwa Nabi saw. bersabda saat terjadinya perang Khaibar: “Barangsiapa memakan dari pohon ini, yaitu bawang putih, maka jangan sekali-kali dia mendekati masjid kami.” (HR. al-Bukhari)
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 806, Muslim no. 874, beliau bersabda: “Barangsiapa makan dari tanaman yang berbau tidak sedap ini, maka hendaklah ia tidak mendekati masjid kami, karena sesungguhnya malaikat merasa terganggu dengan apa yang mengganggu manusia.” Termasuk hal yang harus dipertimbangkan adalah terkait dengan waktu dan pilihan aromanya, seperti ketika melaksanakan shalat berjamaah hendaknya tidak menggunakan aroma yang menyengat, karena dapat mengganggu kekhusyuan jamaah lainnya (baik laki-laki maupun perempuan).
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan, pertama: dalam memahami hadits Nabi saw. (termasuk memahami al-Qur’an) tidak boleh dilakukan dengan parsial (terpisah-pisah), namun harus dipahami secara komprehensif (utuh) dengan mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti aspek historisitasnya (sababun nuzul/sababul wurud), makna kata-kata yang terdapat dalam ayat atau hadits Nabi, apakah bermakna haqiqi (makna sebenarnya) ataukah majazi (metafora atau kiasan), termasuk melakukan studi konfirmatif (pengecekan) terhadap ayat dan hadits lainnya, dengan menghimpun sebanyak mungkin ayat-ayat dan hadits-hadits yang setema. Sebab antara ayat atau hadits satu dengan lainnya seringkali saling menjelaskan atau merincikan, serta mencermati aspek-aspek lain yang terkait.
Kedua: dengan mencermati penjelasan di atas dapat dipahami larangan penggunaan parfum bagi wanita, sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hadits di atas tidak bersifat mutlak. Dengan demikian, bagi wanita yang menggunakan parfum dengan cara yang benar serta motif yang diperbolehkan, termasuk dengan mempertimbangkan norma dan hukum agama, tentu bagian dari sesuatu yang diperbolehkan. Terlebih lagi jika dalam rangka keharmonisan dan kemesraan hubungan suami-isteri, adalah sesuatu yang boleh dan berpahala. Wallahu A’lam bis Shawab.
Ruslan Fariadi AM, Dosen PUTM, AIK UAD, AIK Unisa dan Anggota MTT PP 2015-2020
Sumber: Majalah SM No 19-20 Tahun 2019