Melampaui Formalisme Islam: Membaca Pemikiran Keagamaan Malik Fadjar
Oleh: Pradana Boy ZTF
Substansialisasi Islam
Kembali ke soal mutlak dan nisbi. Saya memandang, di balik kebijakan tak mewajibkan mahasiswi UMM berjilbab itu, Pak Malik sedang mengampanyekan substansialisasi ajaran Islam. Dalam konteks ini, saya ingin memahami substansialisasi dalam tiga hal, yakni: a) dalam Islam, nilai lebih utama untuk ditonjolkan ketimbang simbol; b) Islam adalah agama yang tak memaksa dalam mengajak orang kepada jalan yang benar; dan c) persaudaraan sejati dalam Islam bukanlah didasarkan pada identitas, melainkan ketulusan hati.
Dalam hal yang pertama, mata kasat manusia memang sering terjebak pada hal-hal yang fisik dan material. Akibatnya, hal-hal yang bersifat spiritual dan substansial, menjadi terkalahkan. Kisah Nabi Musa dan seorang penggembala kambing bisa dihadirkan di sini.
Pada suatu ketika, dalam sebuah perjalanan, Nabi Musa mendapati seorang gembala yang berbicara sendiri. Setelah mendekat, Nabi Musa mendengar si gembala memanggil-manggil Allah sebagaimana ia memanggil manusia. Lalu, Nabi Musa menegurnya. Mendapatkan teguran Nabi Musa, sang penggembala tersadar. Namun, setelah beberapa saat, Nabi Musa mendapat teguran dari Allah. Bahwa cara Nabi Musa mengingatkan gembala itu hanya karena gembala itu terlihat sebagai gembel, yang mungkin dalam fikiran Nabi Musa, tidak berhak berbicara dengan nada seakrab itu dengan Allah, adalah salah. Sebaliknya, Allah justru mengabarkan bahwa hubungan gembala itu dengan Allah adalah seperti seorang pecinta dan yang dicinta.
Ini mengajarkan sebuah pelajaran bahwa simbol fisik sesungguhnya kadang-kadang memiliki daya kecoh yang luar biasa. Fokus pada simbol akan mengaburkan manusia dari substansi dan nilai. Sementara menjalankan nilai tanpa simbol, juga akan menghasilkan kesalahfahaman. Keseimbangan di antara keduanya merupakan jalan tengah yang ideal.
Maka, jika terjadi tarik-menarik antara simbol dan nilai ini, poin kedua memberikan penjelasan. Bahwa dalam mengajak kepada kebaikan dan menghindari keburukan, tidak diperkenankan memaksa. Makna turunannya adalah, dalam mengajak orang kepada nilai dan atau simbol, diperlukan kesadaran tentang tahapan.
Demikian, sejarah Islam mengajarkan tentang tahapan itu. Ajaran Islam sebagai bangunan yang sempurna tidak hadir tiba-tiba dan seketika kepada Nabi Muhammad, melainkan melalui proses panjang yang oleh para ahli fiqih disebut dengan tadarruj atau berangsur-angsur. Contoh paling konkret adalah pada empat tahapan pelarangan khamar (minuman keras).
Tahapan pertama tentang hukum khamar bersifat informatif. Dalam Surah an-Nahl ayat 67, Allah berfirman: “Dan dari buah kurma dan anggur, kamu membuat minuman yang memabukkan dan rizki yang baik. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang memikirkan.” Pada tahapan ini Allah menegaskan bahwa dalam rezeki Allah yang baik, ternyata manusia bisa mengarahkan ke dua jalan, baik dan buruk, dan simbol keburukan adalah khamar. Kedua, tahapan berikutnya adalah Allah menginformasikan bahwa dalam khamar terdapat sisi baik dan sisi buruk. Akan tetapi sisi buruknya jauh lebih banyak dibandingkan dengan manfaatnya. Dalam Surah al-Baqarah ayat 219, disebutkan: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. katakanlah ‘di dalam keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia tetapi dosa keduanya lebih besar dari pada manfaatnya’”
Pada tahapan ketiga, pelarangan khamar mulai dilakukan meskipun pada waktu yang terbatas. Dalam Surah an-Nisa ayat 43, disebutkan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” Sedangkan tahapan terakhir adalah pelarangan mutlak khamar sebagaimana pada Surah al-Maidah ayat 90: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
Contoh ini mengajarkan bahwa dalam mengajak kepada kebaikan, atau memberikan pemahaman tentang ketidakbolehan suatu perkara, mesti dilakukan dengan cara yang baik dan bertahap. Tentu analogi seperti ini bisa diterima bisa tidak. Akan tetapi begitulah cara Pak Malik menerjemahkan substansialisasi Islam melalui UMM. Bahwa mereka yang masuk ke UMM tidak memiliki pemahaman, latar belakang, afiliasi, bahkan keasadaran agama yang tunggal.
Di sisi lain, UMM adalah sebuah lembaga pendidikan Islam di bawah Persyarikatan Muhammadiyah yang mengembang misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar. Maka, jika belum apa-apa sudah mewajibkan, akan sangat banyak yang menjauh karena takut. Dengan strategi tidak mewajibkan itu, terbukti bahwa UMM secara pelan-pelan mengajak mahasiswi berjilbab atas kesadaran sendiri.
Ketiga, persaudaraan otentik yang melampaui identitas, adalah ekspresi dari kesadaran multikultural. Ketidakwajiban berjilbab bagi mahasiswi UMM itu sesungguhnya menggambarkan visi multikulturalisme Pak Malik, yang lalu juga diwarisi para pemimpin UMM, seperti Profesor Muhadjir Effendy dan Dr Fauzan.
Tentang visi multikultural Pak Malik, Profesor Azyumardi Azra, dalam banyak kesempatan sering mengutip ungkapan Pak Malik, bahwa sebagai mayoritas, Muslim Indonesia harus tetap konsen pada isu multikulturalisme. Pada saat menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden, setiap tahun Pak Malik mengangkat Profesor Azra sebagai ketua tim pengkajian multikulturalisme di Indonesia, yang mengkaji multikulturalisme di Indonesia dari aneka sudut padang, seperti etnis, suku, bangsa, budaya, agama, dan politik.
Visi multikultural itu terbukti di kemudian hari. Erik Purnama, seorang alumnus UMM yang kini menekuni karir sebagai seorang jurnalis di sebuah media massa, menuliskan kesaksiannya itu. Dalam sebuah tulisan di Harian Republika (12/03/2018), Erik menulis:
Gara-gara masalah cadar, penulis jadi teringat dengan sebuah foto yang penulis ambil medio 2009. Foto itu penulis ambil menjelang kelulusan. Yup, saat itu penulis merasa beruntung bisa mengabadikan tiga teman sekelas dan seangkatan yang sedang berjalan bareng di depan Gedung Kuliah Bersama (GKB) I Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Yang menarik dari tiga foto tersebut, ialah ketiganya sama-sama pemeluk agama Islam, namun memiliki gaya penampilan berbeda. Panggil saja ketiganya itu dengan nama Dwi, Tia, dan Astrid. Dwi tidak memakai jilbab, Tia memakai jilbab, sementara Astrid mengenakan cadar. Mereka bertiga bisa akrab berkawan tanpa adanya prejudice terkait pakaian yang dikenakan di kampus. Pun dengan kawan-kawan kelas maupun lain kelas, juga tidak menaruh curiga yang berlebihan dan tak merasa risih dengan Astrid.
Demikianlah. Pak Malik telah mengajarkan kepada kita sebuah cara berislam yang otentik. Cara berislam yang melampaui formalisme, yang menghadirkan substansi, menghargai arti proses, dan pada gilirannya akan menghadirkan Islam sebagai nilai universal yang tak terkurung oleh simbol-simbol sempit yang memenjarakan. Selamat jalan, Pak Malik.
Pradana Boy ZTF, Asisten Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
Sumber: Majalah SM Edisi 4 Tahun 2021