Mewakilkan Shalat kepada Orang Lain dan Adzan di Kuburan
Pertanyaan:
Saya adalah salah satu pelanggan Majalah Suara Muhammadiyah, ingin bertanya: Bagaimana hukumnya mewakilkan shalat kepada orang lain? Bagaimana pula hukum adzan di kuburan ketika si mayit akan dikuburkan ?
Mohon dijawab dengan alasan dan dasar rujukannya.
Agus S., asal Sumatera Selatan (Jum’at, 21 Safar 1431 H / 5 Februari 2010)
Jawaban:
Terima kasih atas pertanyaan yang saudara sampaikan. Berkenaan dengan pertanyaan “mewakilkan shalat kepada orang lain”, sebenarnya sama dengan pertanyaan “menggantikan shalat orang lain” yang pernah diajukan ke majalah SM dan telah dimuat dalam “Buku Tanya Jawab Agama Majelis Tarjih dan Tajdid Jilid 3”. Saudara kami sarankan agar merujuk jawaban untuk pertanyaan saudara dalam buku tersebut. Namun di bawah ini untuk mempertegas jawaban yang telah ada, kami cantumkan jawaban kami sebagai berikut.
Shalat adalah ibadah yang diwajibkan Allah kepada setiap individu yang ditujukan semata-mata karena Allah dan kepada Allah SWT sebagai Tuhan yang wajib disembah. Karena itu, shalat wajib dikerjakan oleh yang bersangkutan dan tidak boleh diwakilkan kepada orang lain, siapapun orang itu. Hikmah dari tidak dibolehkannya mewakilkan shalat kepada orang lain adalah agar tujuan dan manfaat shalat juga didapatkan oleh individu yang melakukannya. Tujuan dari shalat yang disebutkan oleh al-Qur’an adalah:
إِنَّنِي أَنَا اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدْنِي وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي [طه (20): 14]
Artinya: “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.” [QS. Thaha (20): 14]
Sedangkan manfaat dari shalat dan tujuan umum dari syariat Islam adalah membentuk kesalehan sosial (kolektif) masyarakat muslim. Kesalehan kolektif tersebut hanya bisa didapatkan dengan akumulasi dari kesalehan individu. Dengan kata lain, sebuah masyarakat muslim yang saleh (ideal) baru akan terbentuk setelah tugas yang dimiliki oleh individu-individu telah terlaksana dengan baik.
Dalam al-Qur’an disebutkan bahwa manfaat shalat adalah mencegah terjadinya kemunkaran, baik itu di tingkat individu maupun di tingkat sosial. Allah SWT berfirman:
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ [العنكبوت (29): 45]
Artinya: “Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar.” [QS. al-Ankabut (29): 45]
Selain hal tersebut, dalam al-Qur’an kita dapatkan pula keterangan bahwa dosa dan pahala yang diperoleh sebagai konsekwensi atas perbuatan manusia di muka bumi akan diperoleh secara sendiri-sendiri. Sehingga dosa yang ditanggung oleh seseorang yang tidak melaksanakan shalat tidak bisa dihapus oleh orang lain dengan cara menggantikan shalatnya. Ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan hal tersebut adalah:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِلْعَبِيدِ [فصلت (41): 46]
Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barang siapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya).” [QS. Fushilat (41): 46]
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى . وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى . [النجم (53): 39-40]
Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya. Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).” [QS. an-Najm (53): 39-40]
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لَا يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى (فاطر (35): 18]
Artinya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikit pun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya.” (QS. Fathir (35): 18]
وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ [فاطر (35): 18]
Artinya: “Dan barang siapa yang menyucikan dirinya, sesungguhnya ia menyucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu).” [QS. Fathir (35): 18]
وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ آَمَنُوا اتَّبِعُوا سَبِيلَنَا وَلْنَحْمِلْ خَطَايَاكُمْ وَمَا هُمْ بِحَامِلِينَ مِنْ خَطَايَاهُمْ مِنْ شَيْءٍ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ [العنكبوت (29): 12]
Artinya: “Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: “Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu”, dan mereka (sendiri) sedikit pun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta.” [QS. al-Ankabut (29): 12]
يَوْمَ لَا تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا [الإنفطار (82): 19]
Artinya: “(Yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikit pun untuk menolong orang lain.” [QS. al-Infithar (82): 19]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمْ وَاخْشَوْا يَوْمًا لَا يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلَا مَوْلُودٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا [لقمان (31): 33]
Artinya: “Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu dan takutilah suatu hari yang (pada hari itu) seorang bapak tidak dapat menolong anaknya dan seorang anak tidak dapat (pula) menolong bapaknya sedikit pun.” [QS. Luqman (31): 33]
وَاتَّقُوا يَوْمًا لَا تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا وَلَا يُقْبَلُ مِنْهَا شَفَاعَةٌ وَلَا يُؤْخَذُ مِنْهَا عَدْلٌ وَلَا هُمْ يُنْصَرُونَ [البقرة (2): 48]
Artinya: “Dan jagalah dirimu dari (`azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa`at dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” [QS. al-Baqarah (2): 48]
Keterangan tentang tidak sahnya mewakilkan shalat kepada orang lain, bisa kita dapatkan pula dari Hadis Nabi saw. Dalam sebuah kesempatan, Nabi saw pernah memberikan peringatan kepada keluarga-keluarga dekatnya agar mawas diri karena merekalah yang akan bertanggung jawab atas perbuatan mereka sendiri. Disebutkan dalam sebuah hadis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ { وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ } دَعَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُرَيْشًا فَاجْتَمَعُوا فَعَمَّ وَخَصَّ فَقَالَ يَا بَنِي كَعْبِ بْنِ لُؤَيٍّ يَا بَنِي مُرَّةَ بْنِ كَعْبٍ يَا بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ وَيَا بَنِي عَبْدِ مَنَافٍ وَيَا بَنِي هَاشِمٍ وَيَا بَنِي عَبْدِ الْمُطَّلِبِ أَنْقِذُوا أَنْفُسَكُمْ مِنْ النَّارِ وَيَا فَاطِمَةُ أَنْقِذِي نَفْسَكِ مِنْ النَّارِ إِنِّي لَا أَمْلِكُ لَكُمْ مِنْ اللَّهِ شَيْئًا غَيْرَ أَنَّ لَكُمْ رَحِمًا سَأَبُلُّهَا بِبِلَالِهَا . [رواه مسلم حديث رقم 204 والنسائي حديث رقم 3646 الترمذي 2480 و أحمد حديث رقم 8626 بلفظ اخر]
Artinya: “Dari Abu Hurairah, ia berkata: ketika turun ayat وَأَنْذِرْ عَشِيرَتَكَ الْأَقْرَبِينَ (ayat yang menyuruh Nabi saw agar berdakwah pada keluarganya), Rasulullah saw mengundang orang-orang Quraisy, lalu mereka berkumpul. Nabi saw menyampaikan wasiat dari hal-hal yang umum sampai yang khusus. Nabi saw kemudian bersabda: Wahai Bani Ka’ab bin Luay, wahai Bani Murrah bin Ka’ab, wahai Bani Abdi al-Syams, wahai Bani Abdi Manaf, wahai Bani Hasyim, wahai Bani Abdul Muthallib; selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Wahai Fatimah, selamatkanlah dirimu sendiri dari api neraka. Aku tidak daya sedikitpun untuk menolong kalian. Namun kalian memiliki tali persaudaraan satu sama lain dan aku bisa menyambungkannya (di dunia).” [HR. Muslim, an-Nasa’i, at-Turmudzi, Ahmad]
Selain dalil al-Qur’an dan hadis yang telah disebutkan di atas, dalil yang lain adalah argumentasi rasional (aqli). Dalil tersebut adalah: maksud dari disyariatkannya setiap ibadah adalah lahirnya sikap ketundukan, kekhusyu’an dan rasa rendah diri di hadapan Allah (Imam Syatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, hal. 229). Setiap individu, hati dan fisiknya, harus selalu hadir setiap kali ia melaksanakan ibadah. Ia harus selalu merasa bahwa ia diawasi oleh Allah sehingga ia tidak akan pernah lalai dalam beribadah. Mewakilkan shalat pada orang lain bertentangan dengan hal-hal tersebut. Sebab, jika seseorang mewakilkan shalatnya atau ibadahnya kepada orang lain, maka orang lain lah yang akan mendapatkan kebaikan-kebaikan dari shalat yang ia lakukan.
Adapun pertanyaan saudara mengenai hukum mengumandangkan adzan ketika akan menguburkan janazah, jawaban kami adalah sebagai berikut. Kami telah mengecek kitab-kitab hadist dengan menggunakan program “Barnamaj al-Hadist al-Syarif” yang memuat hadist-hadist al-Kutubu al-Tis’ah (Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi, al-Nasai, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, Malik bin Anas dan al-Darimiy) dan program “Maktabah Syamilah” edisi kedua (al-Ishdar al-Tsani) yang menghimpun 131 Kutub Mutun al-Hadist (kitab yang berisikan matan-matan hadist nabi) untuk mencari hadist yang bisa dijadikan dalil bagi perbuatan mengumandakan adzan saat akan menguburkan mayit. Dan hasilnya, kami tidak menemukan satupun hadist, baik sahih maupun dhaif, yang bisa dijadikan dalil atas adanya perbuatan tersebut yang kini banyak berlaku di sebagian masyarakat Islam.
Satu-satunya argumentasi (hujjah) yang biasanya digunakan oleh sebagian orang untuk membenarkan perbuatan tersebut adalah mengqiyaskannya dengan adzan yang biasa dikumandangkan di telinga seorang bayi yang baru saja lahir (Ibnu Abidin, Hasiyatu Raddul Mukhtar, vol II, hal. 256 dan Ibnu Hajar al-Haistami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, vol. 3, hal. 143). Bagi kalangan yang menggunakan qiyas ini, mereka mengatakan bahwa jika seorang manusia yang muncul di kehidupan dunia disambut dengan suara adzan, maka ketika akan memasuki kehidupan akhirat juga hendaknya disambut dengan adzan (al-Khazraji, al-‘Uqud al-Lu’luiyyah fi Tarikh al-Daulah al-Rasuliyah, vol. 1, hal. 52).
Menurut pandangan kami, qiyas ini sangat lemah dan tidak pada tempatnya (qiyas ma’a al-fariq). Pengumandangan adzan dan prosesi pemakaman jenazah adalah permasalahan tauqifiy, yaitu ibadah khusus yang tatacara pelaksanaannya harus sesuai dengan praktek yang dicontohkan oleh Rasulullah saw (Ibnu Hajar al-Haistami, vol. 3, 143). Selain itu, dalam hal penggunaan qiyas, Muhammadiyah sendiri berpandangan bahwa dalam permasalahan ibadah mahdhah yang tauqifiy, qiyas tidak bisa diberlakukan. Dalam Himpunan Putusaan Tarjih disebutkan:
وَمَتَي اسْتَدَعَتْ الظُرُوْفُ عِنْدَ مُوَاجَهَةِ أُمُوْرِ وَقَعَتْ وَ دَعَتْ الْحَاجَةُ إِلَي الْعَمَلِ بِهَا وَ لَيْسَتْ هِيَ مِنْ أُمُوْر الْعِبَادَاتِ اْلمَحَضَّةِ وَلمَ ْيَرِدْ فِي حُكْمِهَا نَصٌّ صَرِيْحٌ مِنْ القُرْآنِ أَو الُسنَّةِ الصَحِيْحَةِ ، فَاْلوُصُوْلٌ إِلَي مَعْرِفَةِ حُكِْمهَا عَنْ طَرِيْقِ اْلِإجْتِهَادِ و اْلِإسْتِنْباطِ مِنَ النُصُوْصِ الْوَارِدَةِ عَليَ أَسَاسٍ تُسَاوِي الْعِلَلِ كَمَا جَرَي عَلَيْهِ اْلعَمَلُ عِنْدَ عُلَمَاءِ الْسَلَفِ و الْخَلَفِ
“Jika diperlukan dalam menghadapi soal-soal yang telah terjadi dan sangat dihajatkan untuk diamalkannya, mengenai hal-hal yang tak bersangkutan dengan ibadah mahdhah pada hal untuk alasan atasnya tiada terdapat nash sharih di dalam al-Qur’an atau Sunnah sahihah, maka dipergunakanlah alasan dengan jalan ijtihad dan istinbath dari pada nash-nash yang ada, melalui persamaan illat; sebagaimana telah dilakukan oleh ulama-ulama Salaf dan Khalaf.” (Himpunan Putusan Majelis Tarjih Muhammadiyah, hal. 278).
Oleh karena itu, bagi Muhammadiyah, mengumandangkan adzan saat akan menguburkan jenazah adalah tambahan dalam agama yang sama sekali tidak ada dasarnya. Rasulullah saw pernah bersabda tentang ibadah yang dilakukan tanpa ada dalil:
مَنْ عَمِلَ عَمَلا ليْسَ عَليْهِ أمْرُنَا فهُوَ رَدٌّ [رواه البخاري حديث رقم 2550 و مسلم حديث رقم 1718]
Artinya: “Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan (ibadah) yang tidak ada petunjuk dari kami maka perbuatan tersebut tertolak.” [HR. al-Bukhari dan Muslim]
Dalam kaedah fikih juga disebutkan:
الأًصْلُ فِي العِبَادَةِ الْحَظْرُ وَ التَوْقِيْفُ
Artinya: “Pada dasarnya hukum ibadah adalah tidak boleh dan mengikuti (perintah)” (Walid bin Rasyid as-Sa’idan, Talqihu al-Afham al-‘Illiyah bi Syarhi al-Qawaid al-Fiqhiyyah, vol. 3, hal. 27).
Kaedah fikih lain menyebutkan:
الأصْلُ فِى العِبَادَاتِ بِالنِسْبَةِ إلَى الْمُكلّفِ التَعَبّدِ دُوْنَ اْلإلتِفَاتِ إِلَى اْلمَعَانِى
Artinya: “Pada dasarnya dalam ibadah bagi para mukallaf adalah beribadah (sesuai dengan perintah) tanpa melihat kepada maknanya.” (asy-Syatibi, al-Muwafaqat, vol. 2, hal. 300).
Maksud dari kaedah itu adalah dalam perkara ibadah, umat Islam harus melakukan ittiba’ (mengikuti contoh) Nabi saw dan dilarang untuk membuat kreasi atau hal-hal baru.
Mengenai hadis tentang adzan di telinga bayi yang baru lahir yang oleh sementara kalangan dijadikan sandaran untuk qiyas (dalam istilah ushul fikih disebut al-maqis alaihi/al-ashlu), kami memiliki catatan tersendiri. Hadis-hadis yang menerangkan bahwa Nabi saw pernah menganjurkan dan melakukan adzan di telinga bayi kami nilai semuanya dhaif dan tidak ada qarinah yang bisa menguatkan satu sama lain sehingga derajat ketiga hadis tersebut tidak bisa menjadi hasan. Dengan demikian, ia tidak bisa menjadi sandaran untuk diqiyaskan (menjadi al-maqish alaihi/al-ashlu) dengan mengumandangkan adzan di atas tanah kubur saat akan memakamkan mayit.
Kesimpulannya, mengadzankan mayit sebelum atau sesudah masuk liang lahat saat pemakaman adalah perbuatan yang tidak memiliki dasar sama sekali dan untuk itu harus ditinggalkan.
Wallahu a’lam
Rubrik Tanya Jawab Agama Diasuh Divisi Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Sumber: Majalah SM No 8 Tahun 2010