Kita Muhammadiyah Bukan Dahlaniyah

muhammadiyah

Kita Muhammadiyah Bukan Dahlaniyah

SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Dalam dinamikanya, persyarikatan Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam persoalan Tarjih. Hal ini dilatarbelakangi karena dalam hal pengambilan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak selalu sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya sendiri, KH Ahmad Dahlan.

Demikian yang dikatakan Achmad Afandi, Sekretaris Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Sleman dalam Sekolah Kader Muhammadiyah yang diselenggarakan Majelis Pendidikan Kader (MPK) PDM Sleman, Jumat (11/02).

“Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik dan taklid buta,” ujarnya. “Karena kita ini Muhammadiyah, bukan Dahlaniyah” ungkapnya setelah berkelakar.

Selanjutnya, Afandi menyatakan setelah berdirinya Majelis Tarjih dibawah kepemimpinan KH Mas Mansur, terjadilah revisi-revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yang sebelas rakaat.

“Pendeknya, fikih bukan menjadi concern utama Muhammadiyah sejak awal, kita lebih sibuk pada feeding (panti asuhan), healing (rumah sakit), dan schooling (sekolah),” ungkapnya.

Terkait permasalahan ideologi, ada lima hal yang harus dipahami kader muda Muhammadiyah. Pertama, persyarikatan ini dalam mendalami Islam, didasarkan pada Al-Quran dan As-Sunnah. Muhammadiyah tidak terikat dengan aliran teologis, mazhab fikih, atau tareqat sufiyah apapun, meskipun dalam praktiknya, warga Muhammadiyah tidak anti terhadap mazhab dan tasawuf.

Kedua, Muhammadiyah mencirikan dirinya sebagai gerakan tajdid. “Dalam Anggaran Dasar kita, disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan dakwah amar makruf nahi mungkar, serta tajdid,” tutur Afandi. Tajdid dalam pandangan Muhammadiyah terbagi menjadi dua hal yaitu purifikasi dan dinamisasi. Keduanya harus jalan beriringan dan berimbang. Menurutnya purifikasi didominasi hal akidah (pemurnian dari syirik), ibadah (pemurnian dari bid’ah), dan akhlak (pemurnian dari hal-hal yang menyimpang).

Sedangkan dinamisasi atau disebut modernisasi terkait hal-hal yang terkait kedunawian. Sehingga ajaran Islam dapat diamalkan secara aktual dan fungsional serta mengikuti perkembangan zaman yang semakin berubah.

Ketiga, Muhammadiyah memposisikan diri sebagai gerakan moderat. Dalam hal ini, Muhammadiyah memegang teguh prinsip tawasuth (pertengahan), tawazun (seimbang) dan taadul (asal keadilan). “Dalam perjalanannya, Muhammadiyah menyatakan konsep darul ahdi wa-syahadah,” tukasnya.

Keempat, Muhammadiyah menjaga hubungan baik dengan semua partai politik yang ada di Indonesia. Konsep yang diyakini Muhammadiyah adalah high politic atau politik adiluhung. Ini yang mendasari Muhammadiyah tidak berafiliasi kepada salah satu partai politik yang ada.

Kelima, Muhammadiyah berkomitmen untuk mewujudkan tataran masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. “Tidak ada tujuan untuk mendirikan negara khilafah, negara syariah, atau yang lainnya,” ujarnya. Muhammadiyah mengamalkan jargon sedikit bicara dan banyak bekerja. Adapun dalam mencapai tujuan yang mulia itu, Muhammadiyah mengedepankan pendekatan kultural daripada pendekatan struktural. “Dari sini, Muhammadiyah mencerdaskan masyarakat dengan konsep dakwah yang mencerahkan, berkemajuan, dan membebaskan,” pungkasnya. (Humas)

Exit mobile version