Al-Wakiil, Allah Maha Memelihara

Al-Wakiil

Al-Wakiil, Allah Maha Memelihara

Salah satu al-Asma’ al-Husna yang terkait erat dengan kebutuhan hidup hamba kepada Allah SwT  adalah al-Wakiil, Maha Memelihara dan Maha Mewakili, karena memang  Allah sangat bisa diandalkan untuk mewakili urusan hidup manusia. Menurut Ibn Faris, dalam Mu’jam Maqayis al-Lughah, kata  “al-Wakiil” berarti “pengandalan pihak lain tentang urusan yang seharusnya ditangani oleh yang mengandalkan”.  Karena itu, Allah berfirman: “Cukuplah Allah (menjadi penolong) bagi kami dan Dia sebaik-baik pelindung/Pemelihara.” (QS Ali Imran [3]: 173).

Secara khusus, al-Wakiil berarti pemelihara, pelindung, penolong, dan pengatur segala urasan hamba-Nya yang beriman. Dialah, al-Wakiil, yang memberi kecukupan dan segala kebutuhan hamba-Nya. Namun, tidak berarti bahwa hamba hanya pasrah atau memasrahkan segala urusan kepada al-Wakiil tanpa dibarengi usaha dan ikhtiar sesuai batas kesanggupannya. Dengan kata lain, Allah itu Maha memelihara hamba-Nya, selama hamba mau berupaya memelihara dirinya sendiri. Keterlibatan hamba dalam “mewakilkan” pemeliharaan urusannya itu perlu disertai usaha sungguh-sungguh dan maksimal, sesuai dengan kompetensi dan kapasitasnya.

Oleh karena itu, konsep tawakkal  juga berkaitan dengan al-Wakiil. Dalam hal ini, Allah menghendaki hamba-Nya selalu bertawakkal kepada-Nya secara benar. Tawakkal harus dimaknai positif, bukan sekadar penyerahan diri  secara mutlak kepada Allah tanpa didahului usaha dan ikhtiar yang memadai dan maksimal. Tawakkal itu berserah diri secara positif dengan melakukan sesuatu yang bisa dikerjakan hamba, agar apa yang “diwakilkan” itu sesuai dengan harapan.

Selain itu, mengimani al-Wakiil juga dapat menumbuhkan rasa optimisme terhadap hasil dari usaha sungguh-sungguh yang telah dioptimalkan, sehingga dijauhkan dari pesimisme dan kehilangan tujuan dan harapan dalam hidup. Meyakini al-Wakiil juga dapat meneguhkan sikap, pendirian, dan kemuliaan, sekaligus meraih cinta-Nya.

Dengan meneladani al-Wakiil, hamba hendaknya tidak menerima perwakilan, apabila merasa tidak mampu melaksanakannya, sehingga hamba tidak wajar dan tidak bijak untuk diandalkan sebagai wakil bagi orang lain. Karena hanya Allah-lah yang dapat diandalkan dalam memelihara hamba-Nya. Sebaliknya, jika menerima perwakilan, maka hamba harus berusaha dengan segala daya upaya untuk meraih dan mewujudkan yang terbaik bagi yang diwakili.  Meneladani al-Wakiil mengharuskan  adanya sikap tawakkal positif yang disertai sinergi usaha maksimal, doa, pemeliharaan, pertolongan, dan perlindungan dari-Nya, agar harapan, kebaikan, dan kemuliaan hidup dapat diwujudkan.

Muhbib Abdul Wahab, Ketua Prodi Magister PBA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Sumber: Majalah SM Edisi 13 Tahun 2019

Exit mobile version