Pengukuhan Guru Besar Prof Dyah Mutiarin Ulas ‘Agile Goverment’ di Indonesia
YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah – Prof. Dr. Dyah Mutiarin, S.IP., M.Si., secara resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bidang Ilmu Pemerintahan. Pengukuhan dilakukan dalam Rapat Senat Universitas pada Sabtu (12/02) di Ruang Sidang Lt.5 Gedung AR Fachruddin B, UMY yang diselenggarakan secara dalam jaringan (daring) dan luar jaringan (luring).
Untuk mencapai jabatan akademik tertinggi tersebut, Dyah melakukan penelitian dengan judul “Digital and Evidence Based Policy: Tantangan Menciptakan Tata Kelola Pemerintahan Yang Cergas” yang diakuinya berkaitan dengan momentum persoalan yang sedang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Persoalan tersebut adalah tentang digitalisasi kebijakan publik dan berbasis bukti/evidence yang menuntut pemerintahan yang cergas/agile, apalagi dengan kondisi Indonesia yang saat ini sedang berada dalam ketidakpastian karena pandemi COVID-19.
Dalam orasi ilmiahnya, Dyah mengungkapkan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dalam menangani COVID-19 cenderung berfokus kepada aktor pemerintah dengan menekankan pada 6 hal yakni; kelembagaan, pengaturan kesehatan, pembatasan penggunaan moda transportasi untuk pergerakan orang dan barang, pemulihan ekonomi nasional, peningkatan peran serta masyarakat luas dalam penanganan pandemic, dan digitalisasi penyelenggaraan pemerintahan.
“Seluruh kebijakan ini adalah wajar, mengingat pernah pemerintah sebagai pengambil keputusan dan pembuat kebijakan yang dapat memengaruhi penanganan pandemi secara nasional. Namun, jika kita melihat lagi kinerja pemerintah dua tahun belakangan ini, tentu diperlukan upaya untuk mencermati pembuatan kebijakan yang saat ini kuat dengan muatan digitalisasi, serta kecepatan dan ketepatan birokrasi dalam mengatasi pandemi dan untuk mewujudkan agile government,” paparnya.
Menurut Guru Besar perempuan pertama di UMY ini, permasalahan kebijakan yang sering terjadi adalah kurang sinkronnya antara kebijakan dari pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hal ini terjadi utamanya karena adanya proses birokrasi yang berbelit, lamban, dan ragu-ragu. Padahal penyusunan kebijakan sudah seyogyanya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, serta dengan adanya keterlibatan stakeholder.
“Sudah waktunya instansi pemerintahan melakukan reformasi birokrasi baik itu secara struktural maupun secara mindset, tujuannya agar birokrasi Indonesia menjadi yang semakin sederahana, efektif, efisien, serta lincah, dan cergas. Tentunya, pemerintah membutuhkan suatu inovasi yang tidak biasa berupa regulasi yang efisien, selaras, sederhana, dan tidak tumpeng tindih. Penerapan agile government dapat diterapkan pada semua level pemerintahan sehingga tidak hanya lingkungan global yang bergerak dengan cepat, namun juga lingkungan daerah yang akan terkena dampaknya,” pungkas Dyah. (ays)