KRAMAT, Suara Muhammadiyah – Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Tegal menyelenggarakan kuliah dhuha hari ber-Muhammadiyah dengan mengankat tema “Rambu Seni dalam Tarjih Muhammaiyah”. Kuliah Dhuha dilaksanakan pada Ahad, (13/2) bertempat di Aula Kampus II SMK Muhammadiyah Kramat. Turut hadir selaku narasumber Drs. H. Danusiri, M.Ag dari majelis tabligh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah. Kuliah dhuha juga dihadiri oleh seluruh Pimpinan beserta Ortom dan warga Muhammadiyah Kabupaten Tegal dengan mematuhi protikol kesehatan.
Dalam kesempatan itu Danusiri menyampaikan bahwa seni dijadikan KH. Ahmad Dahlan sebagai instrumen dakwah. “Pesan yang diperoleh ialah bahwa beragama itu harus nikmat (harmonis, damai, tenteram) dan musik menjadi sarana dalam berdakwah,” paparnya.
Seni lanjutnya, tentu berbeda dari agama. Agama, dalam hal ini Islam ialah ciptaan Allah sementara itu, seni adalah ciptaan manusia. “Seni itu di luar ibadah mahdlah, karena itu manusia bebas berkreasi, sejauh terkait dengan ciptaan Allah, sebagaimana muamalah tidak terlepas sama sekali dengan aturan umum agama. Maka berseni termasuk ibadah sejauh terpaut dengan aturan umum beragama,” jelasnya.
Oleh karena itu, berseni tidak mutlak bebas, tetapi kreasi berseni merupakan kebebasan yang terbimbing. Ada batas di dalam berkreasi seni. Di dalam batas-batas itu, kebebasan mutlak berseni. “Seni juga bisa menjadi prasarat dalam beribadah, hal ini jelas terkandung dalam Q.S. Al-A’raf ayat 31 yang menjelaskan bahwa Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan,” tambahnya.
Adapun contoh Pemanfaatan praktis yakni pada Aurat laki-laki yang batasannya hanya antara pusar hingga lutut. Kalau area itu sudah tertutup, dalam kajian fikih sudah syah shalatnya. Akan tetapi, jika ada orang yang shalat di masjid dengan hanya pakaian seperti itu, tentu akan dihujat oleh orang banyak. mengapa? Nilai-nilai ma’ruf, maslahat, dan seni tidak diperhitungkan yang akhirnya berimbas kepada nilai sosial, yaitu sanksi sosial terhadapnya pasti terjadi. “Meskipun Muhammadiyah secara jama’i tidak menyaratkan pakai tutup kepala seperti pecis, kupiah, atau sebangsanya, namun umumnya dengan “gundhulan” tidak PD menjadi imam maupun khatib, dan pasti memperoleh sanksi sosial juga,” tandasnya.
Diakir ia meyampaikan bahwa setiap warga persyarikatan, baik dalam menciptakan maupun menikmati seni budaya, selain tetap menimbulkan perasaan halus dan indah, harus menjadi instrument dakwah amar ma’ruf nahi mungkar. “Menghidupkan sastra, lebih luas seni-budaya Islam sebagai bagian dari membangun peradaban manusia,” tutupnya.