Keutamaan Bulan Rajab
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Bulan Rajab adalah bulan yang berada di antara bulan Jumadil akhir dan Sya”ban dalam tahun Hijriah atau qamariah. Bulan ini bulan yang istimewa, karena termasuk empat bulan haram yang diagungkan dan dimuliakan dalam Islam yaitu Dzul qa’dah, Zhulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Bahkan sebelum Islam datang, orang-orang Arab Jahiliyyah telah mengagungkan dan memuliakan bulan-bulan haram ini dengan mengharamkan peperangan padanya. (Tafsir Al-Basith: 10/378 dan 10/388, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Keutamaan Bulan Rajab
Bulan Rajab adalah bulan haram. Ia termasuk dalam empat bulan haram yang disebutkan oleh Allah swt dalam Alquran surat At-Taubah ayat 36. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” (At-Taubah: 36).
Rasulullah saw menjelaskan empat bulan haram dalam ayat di atas adalah tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan satu bulan terpisah yaitu Rajab.
Dari Abu Bakrah bin Nufai’ bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi saw bersabda ketika haji Wada’: “Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan. Darinya terdapat empat bulan haram yaitu tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan (satu terpisah) Rajab Mudhar yang berada di antara Jumada (Akhirah) dan Sya’ban.” (Muttafaq ‘alaih).
Bulan Rajab tidak memilki keutamaan melebihi bulan-bulan selainnya melainkan bulan Haram. Hanya ini keutamaan bulan Rajab. Selebihnya sama dengan bulan-bulan lainnya. Allah swt telah menjadikan bulan Rajab sebagai salah satu dari empat bulan haram sebagaimana disebutkan dalam Alquran dan dijelaskan oleh hadits Nabi tersebut di atas.
Sebagai bulan haram, Rajab memiliki keutamaan sebagaimana bulan-bulan haram lainnya yaitu:
Pertama: Dilarang berperang padanya kecuali diserang. Allah swt berfirman: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu sebuah (dosa) besar.” (Al-Baqarah: 217).
Allah swt juga berfirman: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya…” (At-Taubah: 36).
Imam Al-Wahidi (wafat 468 H) menukilkan riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tafsir ayat tersebut, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Firman Allah: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu”, “dengan menghalalkan pembunuhan dan perang pada empat bulan itu.”
Imam Al Wahidi berkata, “Ini mewajibkan meninggalkan perang pada empat bulan haram, dan tetap hukumnya seperti sebelum Islam. Dan kami sudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam hukum ini di surat Al-Baqarah dalam firman Allah: “”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu sebuah (dosa) besar.” (Al-Baqarah: 217).”
(Tafsir Al-Basith: 10/383).
Imam Alqurthubi berkata, “Pendapat pertama: Maknanya janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam empat bulan haram dengan melakukan perang, kemudian dinasakh (dihapus hukumnya) dengan dibolehkan berperang di semua bulan. Ini pendapat Qatadah, ‘Atha’ Al-Khursani, Zuhri dan Sofyan Ats-Tsauri. Ibnu Juraij berkata: “Atha’ bin Abi Ribah telah bersumpah bahwa tidak dihalalkan bagi orang-orang untuk berperang di tanah haram dan tidak pula di bulan haram kecuali diserang padanya dan ayat ini tidak dinasakh. Yang benar adalah pendapat yang pertama, karena Nabi saw memerangi kabilah Hawazin di Hunain kabilah Tsaqif di Thaif dan mengepung mereka di bulan Syawwal dan sebahagian Zhulhijjah. Telah berlalu makna ini di surat Al-Baqarah.” (Tafsir Alqurthubi: 8/123-124).
Oleh karena itu, bulan-bulan Haram adalah bulan-bulan perdamaian dan jeda dari perang yang menjamin keamanan jiwa dan harta sesorang sebaigamana dijaminnya keamanan jiwa dan harta seseorang di tanah Haram, agar dapat menunaikan ibadah pada bulan-bulan ini, khususnya ibadah haji di mana orang-orang datang dari seluruh penjuru dunia mulai bulan Dzulqa’dah dan pulang ke tanah air mereka pada bulan Muharram dengan aman dan nyaman.
Kedua, Perbuatan maksiat yang dilakukan pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya daripada bulan-bulan selainnya. Dosa zina pada bulan ini lebih besar dari bulan lainnya, dosa minum khamar pada bulan ini lebih besar dari bulan lainnya, dosa maisir (judi) pada bulan lebih besar dari bulan lainnya, dosa menzhalimi orang lain lebih besar dari bulan lainnya, dosa meninggalkan shalat pada bulan ini lebih besar, dan seterusnya. Oleh karena, bulan-bulan haram ini dapat mencegah orang untuk berbuat maksiat.
Ketiga: Ibadah dan amal shalih yang dikerjakan pada bulan-bulan Haram lebih besar pahalanya dari bulan-bulan lainnya. Pahala shalat sunnat pada bulan ini lebih besar dari bulan lainnya, pahala puasa sunnat pada bulan ini lebih besar dari bulan lainnya, pahala membaca Alquran dan berinteraksi dengannya lebih besar dari bulan lainnya, pahala sedekah/infak pada bulan ini lebih besar dari bulan lainnya, pahala membantu orang tua dan orang lain pada bulan ini lebih besar dari bulan lainnya, dan seterusnya. Oleh karena itu, bulan-bulan Haram Ini memberi motivasi kepada umat Islam untuk memperbanyak amal shalih padanya.
Dalil keutamaan kedua dan ketiga adalah tafsir (penjelasan) para ulama terhadap ayat 36 dari surat At-Taubah: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36). Di antaranya mereka yaitu:
Pertama: Tafsir Ibnu Abbas (seorang sahabat yang wafat tahun 68 H) radhiyallahu ‘anhu ayat 36 surat At-Taubah sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thabary (wafat 310 H) dalam kitab tafsirnya “Jamiul Bayan fi Ta’wiilil Qur’an” (10/133), dan Imam Al Hafiz Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam kitab tafsirnya “Tafsiirul Qur’anil Azhiim” (4/86), serta para ulama tafsir lainnya.
Dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Firman Allah swt: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36), maksudnya dalam setiap dua belas bulan. Lalu Allah mengkhususkan dua belas bulan itu empat bulan, maka Allah menjadikan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, membesarkan pengharamannya, menjadikan dosa pada empat bulan haram ini lebih besar dan amal shalih dan pahala lebih besar.” (Tafsir At-Thabari, 10/133, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Dalam riwayat lain dari Yusuf bin Mahran, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Firman Allah: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” yaitu dalam semua bulan (dua belas bulan).” (Tafsir At-Thabary, 10/133, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dhamir “hinna” pada ayat 36 surat At-Taubah kembali kepada dua belas bulan. Dengan demikian, makna ayat ini: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam dua belas bulan itu …” (Tafsir At-Thabari, 10/133, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa larangan berbuat zhalim itu berlaku untuk semua bulan yakni dua belas bulan. Hanya saja empat bulan di antara dua belas ini mendapatkan pengkhususan dari Allah swt dengan menjadikannya sebagai bulan-bulan haram dan mengagugkan pengharamamnya dengan menjadikan dosa pada empat bulan haram lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, sebagaimana juga menjadikan pahala ibadah dan amal shalih padanya lebih besar.
Kedua: Tafsir Imam Qatadah (seorang ulama tabi’in yang wafat tahun 118 H) rahimahullah sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Ath-Thabari, Imam Al-Wahidi (wafat 468 H) dan Imam Ibnu Katsir, dan para ulama tafsir lainnya dalam kitab-kitab Tafsir mereka.
Dari Sa’id, dari Qatadah, ia berkata: “Adapun firman Allah swt: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu”, maka sesungguhnya kezhaliman yang dilakulan pada bulan-bulan haram itu lebih besar kesalahannya dan dosanya daripada kezhaliman pada bulan selainnya, meskipun (dosa) kezhaliman pada setiap waktu itu besar, akan tetapi Allah membesarkan urusannya apa yang Dia kehendaki.” Dan dia berkata: “Sesungguhnya Allah memilih orang-orang pilihan dari makhluknya Dia memilih dari malaikat sebagai utusan dan dari manusia sebagai utusan. Dia memilih dari perkataan Dia menyebutkannya. Dia memilih dari bumi Dia memilih masjid. Dia memilih dari bulan-bulan Dia memilih Ramadhan dan bulan-bulan haram. Dia memilih dari hari-hari Dia memilih hari Jum’at. Dia memilih dari bulan-bulan Dia memilih malam Lailatul Qadar. Maka agungkanlah apa yang Allah agungkan. Sesungguhnya perkara-perkara itu diagungkan dengan apa yang diagungkan oleh Allah menurut orang-orang yang paham dan orang-orang yang berakal.” (Tafsir Ath-Thabary 10/133, At-Tafsir Al-Basith: 10/381, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Dalam riwayat lain yang dinukilkan Imam Al-Baghawi (wafat 516 H) dalam kitab tafsirnya “Ma’aalimut Tanzil”, Imam Qatadah berkata: “Amal shalih lebih besar pahalanya pada bulan-bulan haram. Dan kezhaliman padanya lebih besar dosanya dari bulan-bulan selainnya, meskipun kezhaliman dalam setiap waktu itu dosa besar.” (Ma’aalimut Tanzil, 2/294).
Ketiga: Tafsir Al-Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H), ia berkata, “Firman Allah swt, “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”, maksudnya pada bulan-bulan haram karena lebih kuat dan besar dalam dosa dari bulan-bulan selainnya sebagaimana maksiat-maksiat di tanah haram dilipatgandakan dosanya sebagaimana firman Allah swt: “Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” (Al-Haj: 25). Demikian pula bulan haram, diperberat dosa-dosa padanya. Oleh karena itu, hukuman diyat diperberat dalam bulan haram dalam mazhab Asy-Syafi”i dan kebanyakan para ulama. Demikian pula dalam hak orang yang dibunuh di tanah haram atau dibunuh dalam bulan haram.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/86).
Keempat: Tafsir Imam Alqurthubi (wafat 671 H), ia berkata: “Firman Allah: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…”, menurut Ibnu Abbas kembali kepada semua bulan. Dan menurut sebahagian ulama lain kembali kepada bulan-bulan haram saja, karena lebih dekat kepada bulan-bulan haram. Dan bulan-bulan haram memiliki keistimewaan dalam pengagungan dosa kezhaliman berdasarkan firman Allah: “Maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat; dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji”. (Al-Baqarah: 197). Bukan berarti kezhaliman (kemaksiatan) pada selain hari-hari ini boleh sebagaimana kami akan menjelaskannya.” (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123).
Imam Alqurthubi juga berkata: “Pendapat kedua, maknanya janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu dengan melakukan maksiat, karena Allah swt jika mengagungkan sesuatu dari segi yang satu, maka ia menjadi satu keharaman. Dan jika Allah mengagungkannya dari dua segi atau banyak segi jadilah banyak keharaman. Maka dilipatgandakan hukuman dengan amal buruk sebagaimana dilipat gandakan pahala dengan amal shalih. Sesungguhnya orang yang mentaati Allah pada bulan haram di tanah haram maka pahalanya bukan pahala orang yang mentaati-Nya pada bulan halal di tanah haram. Dan orang yang mentaati-Nya pada bulan halal di tanah haram pahalanya bukan pahala orang yang menyaati-Nya di bulan halal di tanah halal. Allah swt telah memberikan isyarat mengenai hal ini dengan firman-Nya: “Wahai isteri-isteri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipat dua kali lipat kepadanya.” (Al-Ahzab: 30)”. (Tafsir Alqurthubi: 8/124).
Kelima: Tafsir Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya Tafsir Al-Jalalain, ia berkata: “Firman Allah: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…”, maksudnya bulan-bulan haram. Firman Allah: “dirimu” dengan maksiat karena sesungguhnya maksiat padanya itu lebih besar dosanya. Dan dikatakan pada semua bulan.” (Tafsir Al-Jalalain, hal. 192).
Syaikh Ash-Shawi Al-Maliki (wafat 1241 H) mengomentari tafsir imam As-Sayuthi (911 H) firman Allah: “empat bulan” yang diharamkan: maksudnya yang diagungkan yang dihormati berlipat ganda padanya (pahala) ketaatan (ibadah).” (Hasyiah Ash-Shaawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain, 2/141).
Para ulama sepakat mengatakan bahwa larangan berbuat zhalim atau maksiat berlaku untuk semua bulan, terutama pada Ramadhan dan bulan-bulan haram. Karena, bulan-bulan ini diagungkan dan dimuliakan oleh Allah swt. Maka, dosa maksiat padanya lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Begitu pula pahala amal shalih padanya lebih besar dari bulan-bulan lainnnya.
Amalan di Bulan Rajab
Terkait dengan bulan Rajab ini, para ulama sepakat mengatakan bahwa dianjurkan memperbanyak Ibadah dan amal shalih pada bulan Rajab. Ibadah dan amal shalih yang dimaksud adalah secara umum sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Nabi saw yang shahih sebagaimana dianjurkan pada bulan-bulan lainnya, tanpa mengkhususkan suatu ibadah pada hari tertentu di bulan Rajab.
Pada bulan Rajab ini dianjurkan memperbanyak ibadah seperti puasa-puasa sunnat yaitu puasa Senin dan Kamis, puasa ayyamil bid’h (tanggal 13, 14 dan 15 bulan Hijriah) dan puasa Nabi Daud (puasa sehari dan berbuka sehari). Begitu pula dianjurkan memperbanyak shalat-shalat Sunnat seperti rawatib, ghair rawatib, dhuha, tahiyyatul masjid, setelah wudhu, qiyamul lail, tahajjud dan witir yang memiliki dalil yang shahih. Amalan-amalan ini juga dianjurkan pada bulan-bulan lainnya. Hanya saja pada bulan-bulan haram lebih dianjurkan karena pahalanya lebih besar.
Adapun mengenai amalan secara khusus di bulan Rajab, maka tidak tidak disyariatkan dan tidak memiliki keutamaan khusus padanya melebihi bulan-bulan lainnya. Karena, tidak ada satupun dalil yang shahih yang mensyariatkan dan menjelaskan keutamaan amalan tertentu pada bulan Rajab. Hadits-hadits yang beredar di tengah masyarakat yang menerangkan amalan khusus di bulan Rajab beserta keutamaan adalah dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu). Semua hadits ini tidak boleh diamalkan dan tidak boleh pula dijadikan hujjah sebagaimana dijelaskan oleh para ulama hadits.
Oleh karena itu, tidak ada amalan khusus pada bulan Rajab seperti yang dilakukan oleh sebahagian orang yang mengkhususkan puasa pada hari pertama, kedua, ketiga , dan seterusnya dari bulan Rajab, puasa khusus 27 Rajab, shalat Ragha’ib (shalat pada malam Jum’at pertama bulan Rajab), shalat Rajab, umrah rajabiyyah (umrah khusus bulan Rajab), ‘atirah (menyembelih hewan khusus bulan Rajab), dan amalan khusus lainnya dengan menyangka ada memiliki keutamaannya masing-masing. Semua ini adalah perbuatan bid’ah yang diharamkan dalam agama sebagamana dijelaskan oleh para ulama.
Menurut para ulama hadits yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini, hadits-hadits yang beredar mengenai keutamaan bulan Rajab dan amalan khusus pada bulan Rajab semuanya lemah bahkan palsu. Tidak ada satupun yang shahih. Oleh karena itu, tidak boleh diamalkan dan tidak boleh dijadikan hujjah. Inilah pendapat para ulama yang telah melakukan penelitian dalam masalah ini.
Di antara mereka yaitu Al-Imam Al-Hafizh Muhammad Al-Hasan bin Ali Al-Baghdadi Al-Khallal (wafat 439 H), Al-Imam Al-Hafizh Al-Muqri’ Asy-Syafi’i (wafat 478 H), Al-Imam al-Hafizh Abu Ismail Al-Harawi (wafat 481 H) sebagaimana disebutkan oleh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya “Tabyiinul Ajab Bimaa Warada fii Syahri Rajab”, Al-Imam Al-Hafizh Ath-Thurthusyi al-Maliki (wafat 520 H) dalam kitabnya Al-Hawaadits wal Bida’, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Asakir (wafat 571 H), Al-Imam Ibnul Jauzi (wafat 597 H) dalam kitabnya “Al-Madhuu’at”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Dihyah Al-Kalbi (wafat 633 H) dalam kitabnya “Ada’u Ma Wajaba min Bayan Wadh’il Wadha’in fii Rajab”, Al-Imam Abu Syamah Asy-Syafi’i (wafat 665 H) dalam kitabnya “Al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wal Hawadits”, Al-Imam Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat 728 H) dalam kitabnya “Majmu’ Al-Fatawa”, Al-Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah (wafat 751 H) dalam kitabnya “Al-Manar Al-Munif”, Al-Imam Ibnu Rajab Al-hanbali (wafat 795 H) dalam kitabnya “Lathaiful Ma’arif”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani (wafat 852 H) dalam kitabnya “Tabyiinul ‘Ajab bimaa Warada Fii Syahri Rajab”, Al-Imam Al-Hafizh Ibnu Arraq (wafat 963 H) dalam kitabnya “Tanzihusy Syari’ah ‘anil Ahadits Ash-Shani’ah Al-Maudhu’ah”, Al-Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya “Al-La’ali Al-Mashnu”ah fii Ahadits Al-Maudhu’ah,: Al-Imam Asy-Syaukani (wafat 1255 H) dalam kitabnya “Al-Fawaid Al-Majmu’ah”, dan lainnya.
Sebagai penutup, mengingat keagungan dan kemuliaan bulan Rajab sebagai bulan haram, mari kita menjaga diri dari maksiat termasuk perbuatan bid’ah pada bulan ini dan memperbanyak ibadah dan amal shalih pada bulan ini sesuai dengan dalil (tuntunan dan petunjuk Nabi saw) yang shahih agar ibadah kita diterima oleh Allah swt dan agar kita tidak berdosa karena perbuatan bid’ah itu dikecam keras dan diharamkan dalam agama.
Semoga kita senantiasa diberi petunjuk untuk melakukan amal shalih sesuai dengan sunnah Nabi saw dan dijauhi oleh Allah swt dari perbuatan maksiat termasuk perbuatan bid’ah. Amin.
Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA, Doktor bidang Fiqh dan Ushul Fiqh pada International Islamic University Malaysia (IIUM), Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Aceh, Ketua PCM Syah Kuala, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara