Bulan-Bulan Haram
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Allah swt telah menciptakan dua belas bulan dalam setahun yang beredar sesuai dengan ketetapan-Nya. Lalu Dia mengagungkan dan memuliakan empat bulan dari kedua belas tersebut dengan menjadikannya sebagai bulan-bulan haram yaitu Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah dan Muharram.
Allah swt berfirman: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu…” (At-Taubah: 36).
Ayat Alquran di atas menyebutkan bulan-bulan haram secara umum, tanpa menjelaskan nama-namanya. Maka As-Sunnah menjelaskannya. Inilah di antara fungsi As-Sunnah yaitu menjelaskan Alquran yang masih umum atau mujmal (global).
Rasulullah saw menjelaskan empat bulan haram yang disebut dalam ayat di atas adalah tiga bulan berurutan yaitu Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan satu bulan terpisah yaitu Rajab.
Dari Abu Bakrah bin Nufai’ bin Al-Harits radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Nabi saw bersabda ketika haji Wada’: “Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan. Darinya terdapat empat bulan haram yaitu tiga bulan berurutan: Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan (satu terpisah) Rajab Mudhar yang berada di antara Jumadil (Akhir) dan Sya’ban.” (Muttafaq ‘alaih).
Dikatakan “Rajab Mudhar” dalam hadits di atas dengan sandarkan kata “mudhar” kepada kata “Rajab”, maksudnya kabilah Mudhar.berpegang teguh dengan keharaman Ra’jab yang posisinya antara Jumadil akhir dan Sya’ban. Mereka tidak mengubahnya dan tetap menjadikannya pada tempatnya. Ini Rajab yang benar. Bukan Rajab yang telah diubah dengan diakhirkan oleh kabilah Rabi’ah ke bulan Ramadhan. Menurut kabilah Rabi’ah, Rajab bulan haram itu antara Sya”ban dan Syawwal yaitu Ramadhan. Rasulullah saw menjelaskan bahwa Rajab Mudhar yang benar, bukan Rajab Rabi’ah. Rasulullah ingin memperbaiki kesalahan ini. (Tafsir Ibnu Katsir: 4/86, Tafsir Ahkam Alquran: 2/438, Tafsir Al-Qurthubi: 8/123, Fathul Baari: 8/257).
Orang-orang Arab Jahiliyyah mengubah bulan-bulan haram sesuai dengan hawa nafsu mereka untuk menghalalkan larangan perang pada bulan-bulan haram, melakukan haji dan sebagainya. Perbuatan mereka ini dinamakan an-nasi’ (mengundurkan atau mengakhirkan bulan-bulan haram) sebagaimana disebutkan dan dikecam oleh Allah swt dalam Alquran surat At-Taubah ayat 37.
Orang-orang Arab Jahiliyyah suka berperang antar kabilah mereka. Maka sulit bagi mereka untuk menghentikan perang selama bulan-bulan haram terlebih lagi selama tiga bulan berturut-turut Qulqa’idah, Dzulhijjah dan Muharram. Lalu mereka mengakhirkan pengharaman bulan Muharram ke bulan Shafar. Mereka mengharamkan bulan shafar dan menghalalkan bulan Muharram. Mereka mengubah bulan-bulan haram dengan mengakhirkannya pada bulan-bulan halal. (Tafsir Al-Basith: 388-389, Tafsir Al-Qurthubi: 8/127).
Selain itu, mereka berhaji pada setiap bulan selama dua tahun. Mereka berhaji pada bulan Zhulhijjah selama dua tahun. Lalu berhaji pada bulan Muharram dua tahun. Lalu berhaji pada bulan Shafar dua tahun dan seterusnya pada setiap bulan. Maka Rasulullah saw berhaji wada’ pada bulan Zhulhijjah. Beliau bersabda: “Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan sejak Allah menciptakan langit dan bumi.” (Hadits). Rasulullah ingin memberitahu bahwa bulan-bulan haji itu kembali kepada tempatnya (yaitu Dzulhijjah), maka kembalilah haji pada bulan Dzulhijjah dan batal perbuatan nasi’. (Tafsir Al-Qurthubi: 8/127).
Allah swt telah mengecam perbuatan mereka tersebut. Allah swt berfirman: “Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekafiran. Orang-orang kafir disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain, agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sekaligus mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Oleh setan) dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.” (At-Taubah: 37)
Imam Al-Wahidi berkata: “Berkata para ulama: “Barangkali mereka ingin perlu mengakhirkan Muharram ke bulan sesudahnya seperti keperluan mereka kepada mengakhirkan bulan Muharram, maka mereka mengkhirkan keharamannya kepada bulan Rabi’, kemudian mereka tetap demikian sesuai dengan kehendak Allah. Lalu mereka perlu kepada yang sama dengannya, lalu terus demikian. Demikianlah berlangsung bulan demi bulan sehingga beredar pengharaman atas setahun penuh. Maka Islam datang dan mengembalikan Muharram kepada tempatnya yang diletakkan Allah. Yang demikian itu setelah berlangsung selama berabad-berabad. Sampai ketika Nabi saw berkhutbah dalam haji Wada’: “Sesungguhnya zaman telah beredar sebagaimana yang ditentukan sejak Allah menciptakan langit dan bumi. Dalam setahun terdapat dua belas bulan. Darinya terdapat empat bulan haram yaitu tiga bulan berurutan: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, dan (satu terpisah) Rajab Mudhar yang berada di antara Jumada (Akhirah) dan Sya’ban.” (Muttafaq ‘alaih). (Tafsir Al-Basith: 10/393)
Para ulama mengatakan bahwa makna hadits di atas adalah bulan-bulan haram kembali kepada tempatnya yang Allah tentukan dan membatalkan an-nasi.
Imam Al-Wahidi mengomentari hadits di atas. Ia berkata: “Rasulullah ingin bulan-bulan haram itu kembali kepada tempatnya (asalnya).” (Tafsir Al-Basith: 10/393)
Imam Ibnu Hajar Al-“Asqalani berkata menjelaskan hadits di atas. Ia berkata: “Makna hadits di atas adalah bulan-bulan haram kembali kepada tempatnya (dulu) dan batal an-nasi.’ (Fathul Baari: 8/258).
Penamaan Bulan Haram
Bulan-bulan haram adalah Muharram, Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah. Dinamakan empat bulan itu dengan bulan haram, karena diharamkan berperang padanya. Selain itu, karena diharamkan berbuat maksiat padanya. Keharaman dan dosa maksiat padanya lebih agung dan lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Ini menunjukkan keagungan dan kemuliaan bulan haram.
Para ulama telah menjelaskan sebab penamaan bulan haram dalam kitab-kitab tafsir mereka. Di antara mereka adalah Imam Al-Alusi (wafat 1300 H) yang menukilkan perkataan seorang ulama tabi”in Imam Atha’ bin Abi Ribah (wafat 114 H) yang menjelaskan masalah ini.
Dari Atha’ bin Abi Ribah, ia berkata: “Tidak halal bagi orang-orang berperang di tanah haram dan bulan-bulan haram kecuali diserang. Dikecualikan ini karena untuk membela diri. Maka tidak dilarang darinya dengan kesepakatan para ulama. Atau karena merusak kehormatan dalam masalah itu bukan dari mereka tapi dari orang yang memulai.” (Tafsir Ruhul Ma’ani: 6/127).
Imam Al-Wahidi (468 H) berkata, “Firman Allah: “Di antaranya ada empat bulan haram” yaitu Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah, dan Muharram, menurut pendapat semua para ulama. Dan makna haram adalah diagungkan dosa melakukan hal-hal yang diharamkan padanya lebih kuat dari yang diagungkan pada bulan lainnya. Orang-orang Arab Jahiliyyah telah mengagungkannya sehingga kalau ada seseorang dari mereka bertemu pembunuh ayahnya dia tidak menyerangnya.” (Tafsir Al-Basith: 10/378)
Imam Ibnul ‘Arabi Al-Maliki (wafat 543 H) berkata, “Firman Allah: “hurum” jamak dari haram, seolah-olah menjadikan penghormatan kepadanya dengan apa yang dilarang padanya dari berperang, dan menimbulkan pengangungan di hati manusia terhadapnya.” (Tafsir Ahkam Alquran: 2/438).
Syaikh Abu Bakar Ad-Dimyathi Al-Bakari (wafat 1300 H) berkata, “Dinamakan bulan-bulan ini haram karena orang-orang Arab Jahiliyyah mengharamkannya dan mengagungkannya. Dan diharamkan padanya berperang, sehingga seseorang dari mereka kalau berjumpa dengan pembunuh ayahnya, anaknya atau saudaranya pada bulan-bulan ini, dia tidak mengganggunya. Dan peperamgan padanya diharamkan pada awal Islam, lalu dihapus hukumnya dengan firman Allah swt: “..dan bunuhlah mereka di manapun mereka kamu temukan..” (An-Nisa’: 89). (I’anatut Thalibin: 2/453-454)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata, “Firman Allah: “Di antaranya ada empat bulan haram” yaitu Rajab, Dzulqa’idah, Dzulhijjah dan Muharram. Dinamakan haram karena bertambahnya kehormatan bulan-bulan tersebut dan pengharaman perang padanya.” (Taisirul Karim Arrahman fii Tafsiiril Kalamil Mannan, hal. 452).
Syaikh Ali Ash-Shabuni berkata, “Dinamakan empat bulan itu dengan nama haram karena bulan-bulan itu diagungkan dan dihormati. Pahala ketaatan padanya dilipat ganda dan diharamkan berperang padanya.” (Shafwatut Tafaasir: 1/497)
Syaikh Yusuf Alqaradhawi berkata, “Dinamakan empat bulan itu dengan bulan haram, karena diharamkan berperang padanya. Sebagaimana dilarang berperang di tanah haram maka dilarang pula di bulan haram.” (Fiqhush Shiyam, hal. 128)
Hikmah Dijadikan Bulan Haram
Allah swt menjadikan empat bulan sebagai bulan haram mengandung banyak hikmah. Para ulama telah menjelaskan hikmah-hikmah tersebut. Di antaranya:
Imam Alwahidi (wafat 468 H) berkata: “Orang-orang yang pakar tentang hikmah berkata: “Dan dijadikan sebahagian bulan lebih besar keharamannya dari sebahagian bulan lainnya mengandung banyak faidah dari kemaslahatan dalam menahan diri dari kezhaliman (kemaksiatan) padanya karena besar kedudukannya dalam hukum Khaliknya, maka bisa jadi hal itu mengakibatkan kepada meninggalkan maksiat sama sekali, karena padamnya rasa balas dendam pada saat itu.” (Tafsir Al-Basith: 10/378)
Imam Ibnul ‘Arabi Al-Maliki (wafat 543 H) berkata, “Jika ditanya: bagaimana bisa Allah menjadikan sebagian waktu itu lebih besar keharamannya dari sebagian waktu lainnya? Kami jawab dengan dua jawaban: Pertama: Allah ta’ala berbuat apa yang Dia mau dan menghukumi apa yang Dia kehendaki. Tidak ada penghalang baginya. Dan perbuatannya tidak perlu alasan. Namun semua itu dengan hikmah. Terkadang bagi makhluk terlihat segi hikmah padanya dan terkadang tersembunyi. Kedua: Makna demikian adalah bahwa jiwa diciptakan untuk memenuhi syahwat. Ketika wajib atasnya meninggalkan hal-hal yang diharamkan, Dia menjadikan sebagiannya lebih berat dari sebagian lain, agar menahan diri dari yang paling berat terbiasa dengan menahan diri dari yang paling ringan. Dan Dia menjadikan sebagian waktu dan tempat lebih besar keharamannya dari sebagian yang lain agar terbiasa patuh dalam masalah ringan, maka mudah baginya dalam masalah yang berat.” (Tafsir Ahkam Alquran: 2/439).
Al-Imam Muhammad Ath-Thahir bin ‘Asyur (wafat 1392 H) berkata, “Alasan pengkhususan larangan maksiat-maksiat pada bulan-bulan haram ini adalah Allah menjadikannya waktu-waktu untuk ibadah. Jika seseorang tidak mengerjakan ibadah padanya, maka hendaklah tidak melakukan maksiat-maksiat padanya. Larangan berbuat maksiat padanya itu tidak mesti berarti maksiat-maksiat di luar bulan-bulan ini tidak dilarang. Namun maksudnya bahwa maksiat padanya itu lebih besar dosanya dan amal shalih padanya lebih besar pahalanya. Yang seumpama dengan ini firman Allah swt: “Maka janganlah dia berkata jorok, berbuat maksiat; dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji”. (Al-Baqarah: 197). Sesungguhnya berbuat maksiat itu dilarang pada waktu haji dan waktu lainnya.” (Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir: 10/186)
Imam Al-Alusi (wafat 1270 H) berkata, “Pengkhususan larangan melakukan maksiat pada bulan-bulan haram meskipun melakukan maksiat iti dilarang secara mutlak (pada semua bulan) untuk mengagungkannya. Allah swt memberikan keistimewaan sebahagian waktu atas waktu lainnya. Maka melakukan maksiat padanya itu lebih besar dosanya seperti melakukan maksiat di tanah haram dan waktu ihram (haji dan umrah). (Tafsir Ruhul Ma’ani: 6/127).
Adapun hikmah dijadikan empat bulan-bulan haram yaitu tiga bulan secara berurutan dan satu bulan terpisah di tengah tahun dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam kitab tafsirnya.
Imam Ibnu Katsir berkata: “Dan sesungguhnya dijadikan bulan-bulan haram itu empat yaitu tiga secara berurutan dan satu secara terpisah, untuk menunaikan ibadah manasik haji dan umrah. Maka diha ramkan satu bulan sebelum bulan haji yaitu Dzulqa’dah karena mereka menghentikan peperangan padanya. Dan diharamkan bulan Dzulhijjah karena mereka melaksanakan ibadah haji padanya dan sibuk dengan melakukan ibadah manasik padanya. Diharamkan setelahnya satu bulan lain yaitu Muharram agar mereka pulang ke negeri mereka yang paling jauh dengan kondisi aman. Dan diharamkan Rajab pada tengah tahun untuk menunaikan mengunjungi Baitullah dan melakukan umrah bagi orang yang datang kepadanya dari jazirah Arab yang paling jauh, maka mereka mengunjunginya lalu kembali ke negerinya dengan kondisi aman.” (Tafsir Ibnu Katsir: 4/86)
Keutamaan Bulan-Bulan Haram
Adapun keutamaan bulan-bulan haram yaitu:
Pertama: Dilarang berperang padanya kecuali diserang. Allah swt berfirman: “Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu sebuah (dosa) besar.” (Al-Baqarah: 217).
Allah swt juga berfirman: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya…” (At-Taubah: 36).
Imam Al-Wahidi (wafat 468 H) menukilkan riwayat dari Ibnu Abbas yang menjelaskan tafsir ayat tersebut, “Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: Firman Allah: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu”, “dengan menghalalkan pembunuhan dan perang pada empat bulan itu.”
Imam Al-Wahidi berkata, “Ini mewajibkan meninggalkan perang pada empat bulan haram, dan tetap hukumnya seperti sebelum Islam. Dan kami sudah menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam hukum ini di surat Al-Baqarah dalam firman Allah: “”Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang berperang pada bulan haram. Katakanlah, “Berperang dalam bulan itu sebuah (dosa) besar.” (Al-Baqarah: 217).”
(Tafsir Al-Basith: 10/383).
Imam Al-Qurthubi berkata, “Pendapat pertama: Maknanya janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam empat bulan haram dengan melakukan perang, kemudian dinasakh (dihapus hukumnya) dengan dibolehkan berperang di semua bulan. Ini pendapat Qatadah, ‘Atha’ Al-Khursani, Zuhri dan Sofyan Ats-Tsauri. Ibnu Juraij berkata: “Atha’ bin Abi Ribah telah bersumpah bahwa tidak dihalalkan bagi orang-orang untuk berperang di tanah haram dan tidak pula di bulan haram kecuali diserang padanya dan ayat ini tidak dinasakh. Yang benar adalah pendapat yang pertama, karena Nabi saw memerangi kabilah Hawazin di Hunain kabilah Tsaqif di Thaif dan mengepung mereka di bulan Syawwal dan sebahagian Zhulhijjah. Telah berlalu makna ini di surat Al-Baqarah.” (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123-124).
Dengan demikian, bulan-bulan haram adalah bulan-bulan perdamaian dan gencatan senjata yang menjamin keamanan jiwa dan harta sesorang sebagaimana dijaminnya jiwa dan harta seseorang di tanah Haram, agar dapat menunaikan ibadah padanya, khususnya ibadah haji di mana orang-orang datang dari seluruh penjuru dunia mulai bulan Dzulqa’idah dan pulang ke tanah air mereka pada bulan Muharram dengan aman dan nyaman.
Kedua, Perbuatan maksiat yang dilakukan pada bulan-bulan haram lebih besar dosanya daripada bulan-bulan selainnya. Dosa zina padanya lebih besar dari bulan lainnya, dosa minum khamar padanya lebih besar dari bulan lainnya, dosa maisir (judi) padanya lebih besar dari bulan lainnya, dosa menzhalimi padanya dari bulan lainnya, dosa meninggalkan shalat padanya lebih besar, dan seterusnya. Maka, bulan-bulan haram ini dapat mencegah orang untuk berbuat maksiat.
Ketiga: Ibadah dan amal shalih yang dikerjakan pada bulan-bulan Haram lebih besar pahalanya dari bulan-bulan lainnya. Pahala shalat sunnat padanya lebih besar dari bulan lainnya, pahala puasa sunnat padanya lebih besar dari bulan lainnya, pahala membaca Alquran dan berinteraksi dengannya padanya lebih besar dari bulan lainnya, pahala sedekah padanya lebih besar dari bulan lainnya, pahala membantu orang tua dan orang lain padanya lebih besar dari bulan lainnya, dan seterusnya. Maka, bulan-bulan ini memberi motivasi untuk memperbanyak amal shalih padanya.
Anjuran Memperbanyak Amal Shalih Di Bulan-Bulan Haram
Para ulama sepakat mengatakan bahwa dianjurkan memperbanyak amal shalih pada bulan-bulan Haram. Amal shalih yang dimaksud adalah amalan secara umum yang dalilnya shahih yang dianjurkan pada semua bulan termasuk bulan-bulan Haram.
Amal shalih itu dianjurkan pada setiap bulan, terutama pada bulan Ramadhan dan bulan-bulan haram. Bulan-bulan ini merupakan bulan yang diagungkan dan dimuliakan dalam Islam. Dosa maksiat pada bulan-bulan ini lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Begitu pula pahala amal shalih pada bulan-bulan tersebut lebih besar dari bulan-bulan lainnya. Inilah keutamaan bulan-bulan haram.
Dalilnya adalah tafsir (penjelasan) para ulama terhadap ayat 36 dari surat At-Taubah: “maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36) Di antaranya mereka yaitu:
Pertama: Tafsir Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ayat 36 surat At-Taubah sebagaimana diriwayatkan oleh imam Ibnu Jarir Ath-Thabary (wafat 310 H) dalam kitab tafsirnya ” Jamiul Bayan fi Ta’wiilil Qur’an” (10/133), dan Imam Al Hafiz Ibnu Katsir (wafat 774 H) dalam kitab tafsirnya “Tafsiirul Qur’anil Azhiim” (4/86), serta para ulama tafsir lainnya.
Dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Firman Allah swt: “Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36), maksudnya dalam setiap dua belas bulan. Lalu Allah mengkhususkan dua belas bulan itu empat bulan, maka Allah menjadikan empat bulan tersebut sebagai bulan haram, membesarkan pengharamannya, menjadikan dosa pada empat bulan haram ini lebih besar dan amal shalih dan pahala lebih besar.” (Tafsir At-Thabari, 10/133, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Dalam riwayat lain dari Yusuf bin Mahran, dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: “Firman Allah: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” yaitu dalam semua bulan (dua belas bulan).” (Tafsir At-Thabary, 10/133, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Menurut Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dhamir “hinna” pada ayat 36 surat At-Taubah kembali kepada dua belas bulan. Dengan demikian, makna ayat ini: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam dua belas bulan itu …” (Tafsir At-Thabari, 10/133, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa larangan berbuat zhalim itu berlaku untuk semua bulan yakni dua belas bulan. Hanya saja empat bulan di antara dua belas ini mendapatkan pengkhususan dari Allah swt dengan menjadikannya sebagai bulan-bulan haram dan mengagungkan pengharamamnya dengan menjadikan dosa pada empat bulan haram lebih besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya, sebagaimana juga menjadikan pahala ibadah dan amal shalih padanya lebih besar.
Kedua: Tafsir Imam Qatadah rahimahullah sebagaimana yang dinukilkan oleh Imam Ath-Thabari, Imam Al-Wahidi dan Imam Ibnu Katsir, dan para ulama lainnya dalam kitab-kitab Tafsir mereka.
Dari Sa’id, dari Qatadah, ia berkata: “Adapun firman Allah swt: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan haram”, maka sesungguhnya kezhaliman yang dilakulan pada bulan-bulan haram itu lebih besar kesalahannya dan dosanya daripada kezhaliman pada bulan selainnya, meskipun (dosa) kezhaliman pada setiap waktu itu besar, akan tetapi Allah membesarkan urusannya apa yang Dia kehendaki.” Dan dia berkata: “Sesungguhnya Allah memilih orang-orang pilihan dari makhluknya Dia memilih dari malaikat sebagai utusan dan dari manusia sebagai utusan. Dia memilih dari perkataan Dia menyebutkannya. Dia memilih dari bumi Dia memilih masjid. Dia memilih dari bulan-bulan Dia memilih Ramadhan dan bulan-bulan haram. Dia memilih dari hari-hari Dia memilih hari Jum’at. Dia memilih dari bulan-bulan Dia memilih malam Lailatul Qadar. Maka agungkanlah apa yang Allah agungkan. Sesungguhnya perkara-perkara itu diagungkan dengan apa yang diagungkan oleh Allah menurut orang-orang yang paham dan orang-orang yang berakal.” (Tafsir Ath-Thabary 10/133, At-Tafsir Al-Basith: 10/381, Tafsir Ibnu Katsir, 4/86)
Imam Al-Baghawi (wafat 516 H) dalam kitab tafsirnya “Ma’aalimut Tanzil” menukilkan riwayat lain perkataan imam Qatadah rahimahullah.
Imam Qatadah berkata: “Amal shalih lebih besar pahalanya pada bulan-bulan haram. Dan kezhaliman padanya lebih besar dosanya dari bulan-bulan selainnya, meskipun kezhaliman dalam setiap waktu itu dosa besar.” (Ma’aalimut Tanzil, 2/294).
Ketiga: Tafsir Al-Imam Ibnu Katsir, ia berkata, “Firman Allah swt, “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan-bulan itu…”, maksudnya pada bulan-bulan haram karena lebih kuat dan besar dalam dosa dari bulan-bulan selainnya sebagaimana maksiat-maksiat di tanah haram dilipatgandakan dosanya sebagaimana firman Allah swt: “Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara zhalim di dalamnya, niscaya akan Kami rasakan kepadanya siksa yang pedih.” (Al-Haj: 25). Demikian pula bulan haram, diperberat dosa-dosa padanya. Oleh karena itu, hukuman diyat diperberat dalam bulan haram dalam mazhab Asy-Syafi”i dan kebanyakan para ulama. Demikian pula dalam hak orang yang dibunuh di tanah haram atau dibunuh dalam bulan haram.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/86).
Keempat: Tafsir Imam Al-Qurthubi, ia berkata: “Firman Allah: “Maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan-bulan itu…”, menurut Ibnu Abbas kembali kepada semua bulan. Dan menurut sebahagian ulama lain kembali kepada bulan-bulan haram saja. Karena lebih dekat kepada bulan-bulan haram. Dan bulan-bulan haram memiliki keistimewaan dalam pengagungan dosa kezhaliman berdasarkan firman Allah: “Maka janganlah dia berkata jorok (rafats), berbuat maksiat; dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji”. (Al-Baqarah: 197). Bukan berarti kezhaliman (kemaksiatan) pada selain hari-hari ini boleh sebagaimana kami akan menjelaskannya.” (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123)
Kelima: Tafsir Imam As-Sayuthi (wafat 911 H) dalam kitabnya Tafsir Al-Jalalain, ia berkata: “Firman Allah: “Maka janganlah kamu menzhalimi dalam bulan-bulan-bulan itu…”, maksudnya bulan-bulan haram. Firman Allah: “dirimu” dengan maksiat karena sesungguhnya maksiat padanya itu lebih besar dosanya. Dan dikatakan pada semua bulan.” (Tafsir Al-Jalalain, hal. 192).
Syaikh Ash-Shawi Al-Maliki (wafat 1241 H) mengomentari tafsir imam As-Sayuthi (911 H) firman Allah: “empat bulan” yang diharamkan: maksudnya yang diagungkan yang dihormati berlipat ganda padanya (pahala) ketaatan (ibadah).” (Hasyiah Ash-Shaawi ‘ala Tafsir Al-Jalalain, 2/141).
Demikialah di antara perkataan para ulama tafsir dalam masalah ini. Mereka sepakat mengatakan bahwa dosa maksiat pada bulan-bulan Haram lebih besar dari bulan-bulan lainnya, sebagaimana pahala amal shalih padanya lebih besar dari bulan-bulan lainnnya. Oleh karena itu, pada bulan-bulan Haram dianjurkan untuk memperbanyak amal shalih.
Mereka juga sepakat mengatakan bahwa larangan berbuat zhalim atau maksiat berlaku untuk semua bulan. Hanya saja larangan berbuat maksiat pada bulan-bulan haram lebih kuat dari bulan-bulan lainnya. Karena, bulan-bulan ini diagungkan dan dimuliakan oleh Allah swt.
Larangan Berbuat kezhaliman pada bulan-bulan Haram
Para ulama sepakat mengatakan bahwa haram hukumnya berbuat kezhaliman pada bulan-bulan haram berdasarkan firman Allah swt: maka janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam bulan-bulan itu…” (At-Taubah: 36).
Namun para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan kezhaliman dalam ayat tersebut. Imam Al-Qurthubi menukilkan dua pendapat ulama:
Pendapat pertama: Maknanya janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam empat bulan haram dengan melakukan perang, kemudian dinasakh (dihapus hukumnya) dengan dibolehkan berperang di semua bulan. Ini pendapat Qatadah, ‘Atha’ Al-Khursani, Zuhri dan Sofyan Ats-Tsauri.
Ibnu Juraij berkata: “Atha’ bin Abi Ribah telah bersumpah bahwa tidak dihalalkan bagi orang-orang untuk berperang di tanah haram dan tidak pula di bulan haram kecuali diserang padanya dan ayat ini tidak dinasakh.
Imam Al-Qurthubi berkata: Yang benar adalah pendapat yang pertama, karena Nabi saw memerangi kabilah Hawazin di Hunain kabilah Tsaqif di Thaif dan mengepung mereka di bulan Syawwal dan sebahagian Zhulhijjah. (Tafsir Al-Qurthubi: 8/123-124).
Pendapat kedua, maknanya janganlah kamu menzhalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu dengan melakukan maksiat. Karena Allah swt apabila mengagungkan sesuatu dari segi yang satu, maka ia menjadi satu keharaman. Dan apabila Allah mengagungkannya dari dua segi atau banyak segi jadilah banyak keharaman. Maka dilipatgandakan hukuman dengan amal buruk sebagaimana dilipat gandakan pahala dengan amal shalih. Sesungguhnya orang yang mentaati Allah pada bulan haram di tanah haram maka pahalanya bukan pahala orang yang mentaati-Nya pada bulan halal di tanah haram. Dan orang yang mentaati-Nya pada bulan halal di tanah haram pahalanya bukan pahala orang yang menyaati-Nya di bulan halal di tanah halal. Allah swt telah memberikan isyarat mengenai hal ini dengan firman-Nya: “Wahai isteri-isteri Nabi! Barangsiapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya azabnya akan dilipat dua kali lipat kepadanya.” (Al-Ahzab: 30)”. (Tafsir Al-Qurthubi: 8/124).
Amalan Khusus di Bulan-Bulan Haram
Adapun mengenai amalan khusus di bulan-bulan Haram, tidak ada amalan khusus padanya kecuali puasa sunnat yaitu puasa Senin dan Kamis, ayyamil Bidh, puasa Nabi Daud, puasa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, puasa muharram khususnya puasa Tasu’a dan As’syura.
Disunnahkan berpuasa pada bulan-bulan haram. Dalilnya, hadits yang diriwayatkan dari Mujibah Al-Bahiliyyah, dari ayahnya atau pamannya bahwa dia datang kepada Rasulullah saw, lalu pergi berpisah dengan beliau dan baru ketemu dengan beliau setelah setahun kemudian. Ia sudah mengalami perubahan keadaan dan penampilannya. Maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak mengenalkanku? beliau bertanya, “Siapa engkau ini? Ia menjawab, “Aku Al-Al–Bahili yang menemui engkau pada awal tahun lalu.” Beliau bersabda, “Apakah yang mengubahmu padahal engkau dahulu berpenampilan bagus? ” Ia menjawab, “Aku tidak makan makanan sejak berpisah dengan engkau melainkan pada malam hari.” Maka Rasulullah saw bersabda, Engkau telah menyiksa dirimu sendiri.” Lalu beliau bersabda, “Berpuasalah pada bulan kesabaran dan satu hari setiap bulan.” Ia berkata, “Tambahkan untukku, sesungguhnya aku memiliki kekuatan untuk itu.” Beliau bersabda, “Berpuasalah dua hari.” Ia berkata, “Tambahlah untukku.” Beliau bersabda, “Berpuasalah tiga hari.” Ia berkata, “Tambahkanlah untukku.” Berpuasalah pada bulan haram lalu hentikan, berpuasalah pada bulan haram lalu hentikan, dan berpuasalah pada bulan haram lalu hentikan.” Beliau bersabda dengan mengisyaratkan tiga jari yang beliau genggamkan lalu beliau acungkan.” (HR. Abu Daud).
Di bulan Rajab, tidak ada amalan khusus. Karena, tidak ada satupun dalil yang shahih mengenai amalan khusus di bulan Rajab yang bisa diamalkan dan dijadikan hujjah. Adapun hadits-hadits tentang puasa dan shalat malam pada hari tertentu di bulan Rajab semuanya lemah dan palsu. Maka tidak boleh diamalkan dan dijadikan hujjah. Begitu pula di bulan Dzulqa’idah tidak disyariatkan amalan tertentu sebagaimana di Rajab.
Berbeda dengan bulan Zhulhijjah dan Muharram. Pada bulan Dzulhijjah disyariatkan amalan-amalan khusus yaitu ibadah haji, puasa Arafah dan qurban. Selain itu, disyariatkan memperbanyak amal shalih pada sepuluh hari perrtama bulan Dzulhijjah termasuk puasa padanya.
Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah hari-hari di mana amal shalih paling diciintai oleh Allah padanya melainkan pada hari-hari ini”. Yakni sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, tidak pula jihad di jalan Allah? Beliau menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali dengan membawa sedikitpun dari semua itu.” (HR. Al-Bukhari)
Begitu pula dengan bulan Muharram. Pada bulan ini disyariatkan puasa Muharram dengan melakukan puasa sunnat senin dan Kamis, puasa ayyamil bidh, dan puasa Daud. Adapun amalan khusus pada bulan ini adalah puasa Tasu’a dan A’syura serta puasa hari kesebelas Muharram.
Rasulullah saw bersabda: “Puasa yang paling utama setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah Muharram. Dan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam.” (HR. Muslim).
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah saw berpuasa Asyura dan memerintahkan untuk melakukan puasa pada hari itu. (Muttafaq ‘Alaih)
Dari Abi Qatadah radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah saw ditanya tentang puasa ‘asyura. Maka beliau menjawab: “Menghapuskan dosa-dosa pada tahun yang lalu.” (HR. Muslim)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Jika aku panjang umur sampai tahun depan, niscaya aku akan melakukan puasa tasu’a.(tanggal 9 Dzulhijjah).” (HR. Muslim)
Sebagai penutup, mari kita menjaga diri kita dari perbuatan maksiat dan memperbanyak amal shalih di bulan-bulan Haram. Mari kita raih keutamaan amal shalih di bulan-bulan haram ini. Semoga Allah swt senantiasa memberi petunjuk kepada kita untuk melakukan amal shalih sesuai dengan tuntunan dan petunjuk Nabi saw agar ibadah kita diterima oleh Allah Swt. Aamin..!
Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Ketua MIUMI Aceh, Ketua PCM Syah Kuala, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara