Membenahi Ranting dan Cabang Muhammadiyah

Prof Abdul Mu'ti

Prof Abdul Mu'ti Dok SM

JAKARTA, Suara Muhammadiyah – Kita pasti sudah pernah mendengar ungkapan, akar rumput harus tegak atau ranting itu penting. Jika berbicara dalam konteks ini, ada beberapa hal yang menjadi perhatian dan sekaligus menjadi bagian dari usaha kita, bagaimana agar ranting dan cabang tetap tegak dan menjadi bagian yang penting dalam upaya memajukan persyarikatan. Terkait dengan hal tersebut, ada beberapa yang mengkritik bahwa Muhammadiyah hebat di atas tetapi rapuh di bawah. Sebagaimana ungkapan Buya Syafii saat menggambarkan kondisi bangsa ini “Mentereng di luar, remuk di dalam”.

Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti menilai bahwa dalam beberapa hal, kritik tersebut ada benarnya. Dan menjadi sebuah realitas yang harus menjadi perhatian bagi Muhammadiyah saat ini dan yang akan datang. Muhammadiyah harus mulai sadar untuk berbenah. Sebagaimana ungkapan peribahasa yang sangat terkenal, jangan mempertinggi tempat jatuh.

Ada juga kritik yang mengatakan bahwa banyak amal usaha yang tidak sejalan dengan pimpinan Muhammadiyah setempat. Serta banyak orang yang aktif di amal usaha Muhammadiyah itu ternyata bukan mereka yang aktif di Muhammadiyah, entah di tingkat ranting, cabang, atau daerah. Bahkan ditengarai bahwa mereka yang berkerja di Amal Usaha itu merupakan kelompok profesional murni (tidak memiliki hubungan dan kepedulian terhadap Muhammadiyah). “Hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama,” ujar Abdul Mu’ti dalam Tabligh Akbar yang diselenggarakan oleh Lembaga Pengembangan Cabang dan Ranting (LPCR) PP Muhammadiyah (21/2).

“Dalam kesempatan ini saya ingin menyampaikan tiga hal yaitu terkait bagaimana mengembangkan ranting-cabang yang teguh dan tangguh di era disrupsi,” tambahnya.

Jika kembali kepada muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, di situ disebutkan bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan yang berlandaskan pada firman Allah QS. Ali Imran ayat 104. Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang mengajak kepada kebajikan dan mencegah dari yang munkar, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.

Ketika kita mencoba memahami kembali ayat ini, setidaknya ada tiga hal pokok yang menjadi kunci dan landasan dalam berdakwah. Pertama, kata “umat”. Di dalam Al-Qur’an, kata “umat” setidaknya disebutkan sebanyak 61 kali. Dan jika dipahami dalam pengertian yang lebih luas, kata tersebut memiliki empat pengertian, yaitu sekelompok orang yang memiliki ikatan keagamaan (aqidah) yang sama. Kemudian kelompok yang memiliki kesamaan dari unsur ras atau etnis. Ada juga yang memiliki kesamaan dari aspek tempat tinggal atau letak geografi. Dan yang terakhir adalah kelompok yang terbentuk karena memiliki visi dan misi yang sama, walau pun di antara mereka terdapat banyak perbedaan.

Muhammadiyah sebagai sebuah komonitas, sejatinya mengandung berbagai demensi dari pengertian di atas. “Saya sering mengartikan umat itu sebagai komonitas, bukan kerumunan,” jelas Abdul Mu’ti.

Menurutnya ada satu hal yang menjadi pembeda antara umat sebagai komonitas dengan umat sebagai kerumunan yaitu adanya ikatan yang kuat serta memiliki kesamaan visi di antara mereka. Sehingga Muhammadiyah dapat diartikan sebagai gerakan berbasis komonitas yang memiliki ikatan aqidah yang sama. Melakukan berbagai macam gerakan sebagaimana tertuang di dalam QS. Ali Imrah: 104.

Dalam konteks ini, hadirnya amal usaha di ruang lingkup persyarikatan menurut Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Jakarta tersebut karena adanya dorongan yang kuat dari komonitas yang telah terbentuk, baik di tingkat ranting maupun cabang. “Jika komonitas tidak kuat, maka mustahil lahir amal usaha,” tegas Mu’ti.

“Saya sering mengungkapkan bahwa kekuatan Muhammadiyah sebagai komonitas dapat tercermin dari amal usaha yang kita lakukan. Kemajuan amal usaha itu selalu tercermin dari kekuatan ranting dan cabang di masing-masing daerah,” ujarnya.

Amal Usaha dalam pandangan Abdul Mu’ti adalah konkretisasi, objektifikasi, dan institusionalisasi amal sholeh. Sehingga amal usaha menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari komitmen bersama serta menjadi kegiatan rutin sehari-hari. Ungkapan lain dari amal usaha Muhammadiyah ini adalah amal sholeh yang terorganisasi. Terbuka untuk siapa saja, dan bermanfaat bagi seluruh masyarakat.

Inilah yang menurut Mu’ti menjadi bagian penting tentang bagaimana agar kita senantiasa meneguhkan identitas kemuhammadiyah kita. Menurutnya, identitas kemuhammadiyahan tidak perlu disembunyikan. Tidak perlu menjadi bunglon, di mana ketika berada di atas daun berwarna hijau, bunglon tersebut berubah warna menyesuaikan tempat yang ia hinggapi, sehingga menjadikannya tak terlihat. Orang Muhammadiyah sudah seharusnya menegaskan bahwa dirinya merupakan bagian dari komonitas yang membawa kebaikan dan manfaat.

Terkait cara bagaimana agar ranting dan cabang Muhammadiyah tetap teguh, Abdul Mu’ti memberikan tips supaya masing-masing anggota yang tergabung dalam komonitas tersebut memiliki komitmen ideologi untuk bersama-sama mengembangkan dan memajukan amal usaha Muhammadiyah.

Keteguhan ranting dan cabang tersebut dapat diukur dari metaverse yang digambarkan dalam Al-Qur’an sebagai pohon yang baik, yaitu pohon yang akarnya kokoh menghujam ke bumi, serta cabang dan rantingnya menjulang ke langit. Memberikan buahnya di setiap musim. Dalam tafsir yang lebih luas. Bukan sekedar pohon yang menghasilkan buah di musim-musim tertentu, tapi pohon yang memberikan buahnya tanpa mengenal waktu.

“Eksistensi Muhammadiyah terejewentahkan dari semangatnya untuk selalu memberi, memberi solusi atas berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan. Bukan menjadi komonitas yang membuat masalah,” ujarnya. (diko)

Exit mobile version