Memaknai Cinta Kepada Rasul Saw
Oleh: Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA
Kita sering mengaku cinta kepada Nabi saw, namun tidak bisa membuktikannya dalam tingkah laku dan perkataan kita sehari-hari. Selama ini Sunnah Rasul saw dianggap sepele dan ditinggalkan. Misalnya, shalat berjama’ah bagi laki-laki. Masih banyak umat Islam laki-laki yang tidak mau atau malas shalat berjama’ah. Bahkan, berbagai maksiat dilakukan oleh sebahagian umat Islam, baik secara berjamaah maupun pribadi. Tidak hanya itu, perbuatan dosa besar seperti syirik, tahayul, khurafat dan bid’ah telah menjadi sebuah tradisi yang dipertahankan. Padahal, perbuatan tersebut telah bertentangan dengan sunnah (petunjuk) Rasul saw. Jika seseorang itu cinta Rasul saw, tentu dia akan patuh kepada Rasul dan tidak akan melakukan perbuatan maksiat yang dilarang Rasul saw.
Kewajiban Mencintai Rasul Saw
Sebagai seorang muslim, kita berkewajiban untuk mencintai Rasulullah saw. Bahkan mencintai Rasul saw merupakan bagian dari keimanan dan aqidah seorang muslim. Allah Swt berfirman: ”Katakanlah, ’Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatir kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah Swt dan Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.’ Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (At-Taubah: 24)
Ayat ini cukup menjadi bukti keharusan untuk mencintai Rasulullah saw. Bahkan ayat tersebut juga menunjukkan begitu besar hak Rasulullah saw untuk dicintai, sebab dalam ayat tersebut Allah Swt memberikan ancaman bagi orang-orang yang lebih mencintai harta, keluarga, dan anak-anak daripada mencintai Allah Swt dan Rasul-Nya. Bahkan di akhir ayat Allah Swt menggolongkan orang-orang yang melakukan hal tersebut sebagai orang yang sesat dan tidak mendapatkan hidayah dari Allah Swt.
Kualitas iman kita sangat ditentukan dengan kecintaan kita kepada Rasul saw. Orang yang memiliki iman yang sempurna selalu memposisikan cintanya kepada Rasul saw dengan posisi urutan pertama dibandingkan cintanya kepada manusia lain. Cintanya kepada Rasul saw melebihi cintanya kepada orang tua, istri, suami dan anaknya, bahkan dirinya sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Tidaklah sempurna iman salah seorang kamu sehinga aku lebih dicintai dari kedua orang tuanya, anaknya dan manusia semua” (HR. Bukhari). Rasulullah juga bersabda: “Tidaklah sempurna iman seseorang sehingga aku lebih dicintai dari dirinya sendiri”. (HR. Ahmad)
Itu sebabnya Rasululah pernah menegur Umar bin Khaththab radhiyallahu anhu ketika ia menggambarkan kecintaannya kepada Rasulullah Saw, dan menempatkan posisi cintanya kepada beliau di bawah kecintaannya terhadap dirinya sendiri, maka Rasulullah menafikan kesempurnaan imannya hingga dia menjadikan cintanya kepada Rasul saw di atas segala-galanya. Maka Umarpun mencintai Rasul saw melebihi dirinya (HR. Al-Bukhari)
Makna Mencintai Nabi saw
Mencintai Rasulullah berarti mencintai Allah Swt. Allah Swt menegaskan bahwa syarat mutlak untuk mendapatkan cinta-Nya adalah mengikuti Rasul saw. Maksudnya, apa yang dikerjakan oleh Rasul Saw dalam persoalan agama maka kita kerjakan, sedangkan apa yang tidak dikerjakan atau dilarang oleh Rasul saw maka kita tinggalkan.
Dengan kata lain, mengikuti Rasul saw adalah syarat mutlak untuk mendapatkan cinta-Nya sesuai dengan firman-Nya, “Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu” (Ali Imran: 31). Inilah hakikat dan makna mencintai Rasul saw.
Dalam kitab “Syarh Riyadhus Shalihin”, Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “Ayat ini disebut oleh sebagian ulama dengan ayat ujian, karena Allah menguji suatu kaum yang mengaku bahwa mereka mencintai Allah seraya berkata, “Kami mencintai Allah.” Ini adalah pengakuan yang mudah tetapi pengakuan ini mengandung konsekuensi. Allah Swt berfirman: “Katakanlah (Muhammad), jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah Aku.” Atau, barangsiapa yang mengaku mencintai Allah dan tidak mengikuti Rasulullah Saw, maka pengakuannya itu tidak benar, tetapi dia pembohong karena di antara tanda kecintaan kepada Allah adalah mengikuti Rasul-Nya.”
Selain itu, masih banyak ayat lain yang memerintahkan kita untuk mengikuti Rasulullah saw (lihat An-Nisa’: 59, 65, dan 80, Ali Imran: 31, Al-A’raf: 158, al-Ahzab: 21, Al-Hasyr: 7, Al-Ahzab: 36, An-Nur: 36, Syura: 52, An-Najm: 3-4, dan lainnya).
Allah Swt memuji akhlak Rasul saw dan menjadikannya sebagai sosok teladan dan idola yang wajib diikuti. Allah Swt berfirman, “Sesunggguhnya engkau benar-benar berakhlak yang agung” (Al-Qalam: 4). Dan Allah Swt berfirman, “Sesunggguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah suri tauladan bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (Al-Ahzab: 21). Mengenai ayat ini, Muhammad bin Ali at-Tirmizi berkata, “Yang dimaksud dengan meneladani Rasul saw adalah mengikuti jejak beliau, mengamalkan Sunnahnya, serta meninggalkan larangannya, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan.”
Begitu pula banyak hadits yang menjelaskan tentang kewajiban dan makna mencintai Rasul Saw. Di antaranya, Rasulullah saw bersabda, “Al-Quran itu terasa sulit bagi orang yang membencinya, padahal Al-Quran merupakan alat untuk menetapkan suatu hukum. Barangsiapa yang berpegang kepada Haditsku, memahami dan menghafalnya, maka dia kelak akan datang bersama Al-Quran. Barangsiapa yang meremehkan Al-Quran dan Haditsku, maka dia akan merugi di dunia dan di akhirat. Ummatku telah diperintahkan untuk mendengarkan sabdaku, mentaati perintahku dan mengikuti Sunnahku. Maka barangsiapa ridha terhadap sabdaku, berarti telah ridha kepada Al-Quran.”
Rasulullah saw juga bersabda, “Sesungguhnya bani Israil tercerai berai menjadi tujuh puluh dua golongan, dan sesungguhnya ummatku akan bercerai-berai menjadi tujuh puluh tiga golongan. Kesemuanya akan berada di dalam neraka, kecuali hanya satu golongan saja.” Para sahabat bertanya, “Siapakah mereka itu wahai Rasulullah?” Rasulullah bersabda, “Mereka itu adalah orang yang memegang ajaranku dan ajaran para sahabatku seperti sekarang ini.”(HR. At-Tirmizi)
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa menghidupkan salah satu dari Sunnahku yang telah dimatikan sepeninggalku, maka dia akan mendapatkan pahala seperti orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi kadar pahala mereka yang telah mengamalkan Sunnah ini sedikitpun. Barangsiapa membuat sebuah bid’ah sesat yang tidak dirihai oleh Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan mendapatkan dosa sebanyak dosa orang yang telah mengamalkan bid’ah itu tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR. At-Tirmizi)
Bahkan mentaati Rasul saw merupakan syarat untuk masuk surga. Rasul saw bersabda, “Setiap umatku akan masuk surga, kecuali yang enggan. Seorang sahabat bertanya,“Wahai Rasulullah, siapakah yang enggan itu? Beliau menjawab, “Barangsiapa yang taat kepadaku maka ia masuk surga. Dan barangsiapa yang tidak mentaatiku maka ia enggan (masuk surga).” (HR. Al-Bukhari)
Rasulullah saw juga bersabda,“Barangsiapa yang membenci terhadap sunnahku berarti bukan termasuk golonganku” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari beberapa ayat Al-Quran dan Hadits diatas dapatlah disimpulkan bahwa makna cinta kepada Rasul saw adalah mentaati perintah dan larangan Rasulullah saw, mengikuti petunjuk beliau, mengamalkan dan menghidupkan Sunnah beliau.
Tanda-Tanda Cinta Kepada Rasul Saw
Orang yang mencintai sesuatu biasanya akan lebih mengutamakan sesuatu yang dicintainya itu. Oleh karena itulah, orang yang telah mengaku dirinya mencintai Rasul saw maka seharusnya ia memperlihatkan tanda-tanda kecintaanya tersebut. Ia harus bisa membuktikan pengakuan cinta tersebut dengan amalannya yang sesuai dengan petunjuk (sunnah) Rasul saw. Jika tidak dibuktikan, maka pengakuan cintanya tersebut perlu dipertanyakan kembali dan diragukan. Terlebih lagi bila suatu amalan itu dikerjakan tanpa ada dasar petunjuk (sunnah) dari Nabi saw atau bertentangan dengannya seperti berbuat bid’ah dan maksiat, maka pengakuan mencintai Rasul saw dianggap hanya sebuah klaim yang tidak bisa dibuktikan kesahihannya dan hanya sekedar dimulut .
Dalam kitabnya “Asy- Syifaa Bi Ta’riifi Huquuqil Mushthafaa”, Qadhi Iyadh rahimahullah (wafat 544 H), seorang ulama besar dari Andalusia, menyebutkan tanda-tanda orang yang mencintai Rasulullah saw, yaitu:
Pertama, mengikuti Sunnah Rasul saw, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan. Dia akan mengerjakan seluruh perintah Rasul saw, menjauhi larangannya dan berperilaku seperti beliau dalam keadaan suka dan duka.
Kedua, lebih memprioritaskan ajaran syariat Rasul saw sehingga rela untuk mengeyampingkan dorongan syahwatnya.
Ketiga, membenci manusia karena Allah, bukan berdasarkan dendam pribadi.
Keempat, seringkali menyebut-nyebut nama baginda Rasul saw. Sebab seseorang yang mengaku cinta kepada sesuatu, maka dia pun akan sering kali menyebut-nyebut sesuatu yang dia cintai itu.
Kelima, seringkali merasa rindu untuk bertemu dengan Rasul saw, sebab setiap pecinta itu akan sangat senang bila dengan kekasihnya.
Keenam, menghormati dan memuliakan sang kekasih ketika namanya disebut. Dia akan memperlihatkan sikap khusyu’ dan merasa tersentuh takkala mendengar nama Rasulullah.
Ketujuh, mencintai orang-orang yang mencintai Rasul saw dan orang-orang yang dicintai oleh beliau, seperti keluarga Rasul saw dan para sahabat.
Kedelapan, membenci orang-orang yang memusuhi Rasul saw dan orang-orang yang dibenci oleh beliau.
Kesembilan, mencintai Al-Quran yang telah dibawa oleh Rasul saw. Kesepuluh, mencintai ummat Rasul saw dan suka memberikan nasihat kepada mereka.
Kesepuluh, hidup zuhud di dunia dan rela untuk fakir.
Oleh karena itu, mencintai Rasul saw berarti mentaati perintah dan larangannya, mengikuti petunjuk, dan mengamalkan Sunnah beliau pada setiap saat dalam kehidupan sehari-hari kita, bukan sekedar seremonial yang sifatnya kondisional dan temporal. Semoga kita termasuk orang yang senantiasa mencintai Nabi saw dengan cara mengikuti sunnah atau petunjuk Nabi saw.
Dr. Muhammad Yusran Hadi, Lc., MA, Dosen Fiqh dan Ushul Fiqh Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Ketua MIUMI Aceh, Ketua PCM Syah Kuala, dan Anggota Ikatan Ulama dan Da’i Asia Tenggara