Paradigma Profetik Sebagai Katalisator Gerakan IMM
Oleh: Syauqi Khaikal Zulkarnain
Awalnya tulisan ini dibuat sebagai gagasan yang akan diusung dalam Musyawarah Cabang XVII PC IMM Djazman Al Kindi Kota Yogyakarta. Namun dalam perkembangannya, Musycab yang dimaksud tak kunjung dihelat, merebak dugaan bahwa Musyawarah Cabang yang dimaksud di atas tengah dibajak oleh golongan tertentu untuk memayungi kepentingan golongannya. Mulai dari insiden pembekuan Panitia Pemilihan dan Sidang Pleno ilegal yang digelar di PDM Kota Jogja. Hingga rentetan intimidasi verbal yang dilakukan oleh beberapa pihak terhadap kader IMM dan upaya-upaya membatasi ruang bicara yang dengan sadar dilakukan oleh Ketua Umum, Bendahara Umum, dan Bidang Hikmah Pimpinan Cabang IMM Djazman Al Kindi.
Demikianlah mereka (PC IMM Djazman Al Kindi) menulis sejarah gelap tentang prosesnya di IMM. Kemudian daripada itu, gagasan yang telah diketik rapi ini akan senantiasa mengendap jika tak diumumkan ke khalayak. Sebab itulah tulisan ini diserahkan untuk dibaca oleh publik. Selanjutnya, pokok pikiran pada tulisan ini bebas disarikan, dimodifikasi, dan dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, sepenuh-penuhnya untuk kemajuan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
***
Paradigma Profetik disarikan dari Ilmu Sosial Profetik yang digaungkan oleh Kuntowijoyo. Dalam gagasannya, Kunto menyebutkan secara tersirat bahwa Islam dapat menjadi kekuatan yang terus memotivasi dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke dalam skala yang bersifat praktis maupun teoritis. Kuntowijoyo menyebutkan bahwa salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi dan filsafat sosial bertujuan pokok untuk mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih ideal.
Dasar Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo adalah Q.S. Ali Imran ayat 110:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110)
Dari ayat tersebut di atas Kuntowijoyo kemudian merumuskan tiga pilar Ilmu Sosial Profetik, yaitu “humanisasi, liberalisasi, dan transendensi. Rumusan ini merupakan suatu cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam yang terkandung dalam surah Ali Ilmran : 110” (Kuntowijoyo, 2001, h. 106).
Menurut Kuntowijoyo ada empat hal yang tersirat dalam surah Ali Imran: 110, yaitu: Pertama, konsep tentang umat terbaik (the chosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik (khaira al-ummah) dengan syarat mengerjakan amar ma’ruf, nahi al-mungkar, dan tu’minuna bi allah. Konsep umat terbaik dalam Islam berupa sebuah tantangan untuk berkerja lebih keras, kearah aktivisme sejarah.
Dengan kata lain, umat Islam tidak secara otomatis menjadi umat terbaik. Kedua, aktivisme sejarah. Islam adalah agama ‘amal, sehingga berkerja di tengah-tengah manusia memiliki arti bahwa secara ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Ketiga, ayat tersebut menyebut tentang pentingnya kesadaran. Dalam Islam nilai-nilai ilahiah (al-ma’ruf, al-munkar, iman), menjadi tumpuan aktivisme. Empat, etika Profetik. Ayat tersebut juga berlaku secara umum.
Dengan kata lain, ayat tersebut berlaku bagi kalangan siapapun, baik individu (orang awam, atau ahli), lembaga (akademi, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jama’ah, umat, kelompok masyarakat). Ilmu sebagai pelembagaan dari keagamaan, penelitian dan pengetahuan, diharuskan melaksanakan ayat tersebut, dan memberikan perintah untuk amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahi mungkar (mencegah kejelekan), dan tu’minuna bi allah (beriman kepada Allah) (Kuntowijoyo 2001, h. 357-358).
Kemudian daripada itu jika kita tarik kembali pada Q.S. Ali Imran ayat 104, akan ada segolongan umat yang menyeru pada kebajikan dan mencegah pada kemungkaran. Kiai Dahlan menerjemahkan ungkapan “segolongan umat” pada ayat tersebut dengan pendirian sebuah organisasi modern yang kini kita kenal sebagai Persyarikatan Muhammadiyah. Maka cukup teranglah persoalan tersebut di atas, yakni Paradigma Profetik sebagai landasan dan katalisator segolongan umat yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Terlebih lagi jika pembahasan kita tarik lebih dalam lagi pada Trikoda atau Tri Kompetensi Dasar IMM; religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Kunto membahasakan liberasi, humanisasi, dan transendensi dalam konsep Ilmu Sosial Profetik. Begitulah mestinya kader IMM mengaktualisasikan perannya sebagai kader profetik yang mengemban misi kenabian guna menjawab persoalan yang ada.
Liberasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ditekankan pada proses pengilmuan yang senantiasa dilakukan untuk dapat mengerti sebentuk persoalan yang akan dihadapi oleh organisasinya. Barangkali jika kita hendak bertamasya ke khazanah sejarah Muhammadiyah mula-mula, jelas sudah proses dakwah dan gerakan Muhammadiyah senantiasa didasarkan pada paradigma berpikir maju, hal ini yang sering dilewatkan ketika membahas Persyarikatan. Bagaimana tidak, kita seringkali termakan narasi demikian hebatnya Kiai Dahlan memberanikan diri untuk meluruskan kiblat masjid di sepanjang Kauman dan sekitarnya. Namun yang luput untuk disorot ialah, proses Kiai Dahlan dalam melakukan kerja-kerja dan syiar Islam yang selain didasari atas keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada agama, juga didasarkan pada paradigma berpikir maju, Islam Berkemajuan, dan proses pengilmuan yang panjang.
IMM sejak awal dimaksudkan untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Gamblang disebut kata akademisi Islam yang kemudian menjadi keniscayaan bagi setiap anggotanya untuk senantiasa bergerak di Ikatan dan atas nama Ikatan dengan mengedepankan tradisi ilmu untuk mewujudkan khaira al-ummah. Kemudian setelah hal demikian di atas, Kunto membahasakan dalam Ilmu Sosial Profetik, menjadi keniscayaan bahwa setelah proses liberasi mestilah diarahkan pada proses humanisasi. Tidak boleh tidak. Wajib. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Kuntowijoyo, Djazman Al-Kindi membahasakan: “Meskipun sekecil biji zarah ilmu yang kita miliki, agama memaksa kita untuk senantiasa mempertanggungjawabkannya”.
IMM sebagai ornamen gerakan mahasiswa mestilah sekali lagi mematenkan perannya dalam kerja-kerja sosial. Kerja-kerja sosial tersebut senantiasa didasarkan pada proses analisis ilmiah, kritis, dan berdasarkan pada realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakatnya. Persoalan tersebut di atas akan demikian purna jika kita sebagai kader IMM memiliki paradigma profetik, yang mana paradigma profetik ini sentiasa berpegang teguh pada prinsip transendensi, atau religiusitas jika dibahasakan oleh kader IMM. Semoga kitalah orang-orang beruntung itu.
Seorang anggota IMM seharusnya berjuang tidak sekadar sebagai mahasiswa, tetapi sebagai manusia yang dianugerahi akal budi, dan secara sadar memegang teguh nilai-nilai yang bersumber pada firman-firman Allah serumit apapun masalahnya. (Djazman Al-Kindi)
Membentuk Kesadaran Profetik
Manusia dalam pandangan IMM adalah segolongan umat yang setiap pikiran, perkataan, dan perbuatannya didasarkan pada paradigma profetik. Memiliki kesadaran kenabian, bertransformasi sesuai kompetensi yang dimilikinya. Kader Profetik senantiasa mengaktualkan perannya, memastikan bahwa sejatinya manusia senantiasa berupaya mewujudkan eksistensinya sebagai insan kamil. Sekumpulan manusia heterogen yang memiliki paradigma profetik ini akan semakin purna jika dikembalikan pada Q.S. Ali Imran ayat 104. Maka menjadi keniscayaan bagi setiap kader IMM untuk selalu menegaskan kesamaan maksud dan tujuan dalam bingkai kolektivisme gerakan.
Transformasi Kaderisasi
IMM sebagai organisasi kaderisasi adalah mutlak, tak dapat lagi ditawar. Setiap anggota IMM bukan saja berperan sebagai kader umat dan kader bangsa, lebih dari itu juga sebagai kader Persyarikatan Muhammadiyah yang telah diamanahi oleh Kiai Dahlan untuk senantiasa berpegang teguh pada khittah dan tidak menduakan Muhammadiyah. Kader IMM harus senantiasa mengorbankan pikiran, tenaga, bahkan harta bendanya untuk kemajuan IMM dan Muhammadiyah. Maka berdasarkan atas kerja-kerja yang demikian berat tersebut perlu adanya transformasi kaderisasi IMM yang orientasinya dimaksudkan untuk menguatkan kuantitas sekaligus kualitas kader. Strategi penjaringan kader haruslah dibahas sebelum akhirnya kita mengarah pada transformasi kaderisasi, maka penting adanya penekanan bahwa sistem penguatan kaderisasi di IMM Djazman Al-Kindi mestilah didasarkan pada prinsip berkemajuan dan menggembirakan, serta menegaskan paradigma profetik sebagai pokok pikiran dan pedoman yang wajib dipegang teguh oleh setiap kader yang berproses dan bergerak di IMM.
Tradisi Ilmu Sebagai Ruh Gerakan
IMM wajib menggiatkan gerakan ilmu yang dimaksudkan untuk mewujudkan khoiru ummah. Gerakan khoiru ummah ditandai dengan masyarakat ilmu yang merupakan cerminan dari kader yang berparadigma profetik. IMM mempunyai tujuan membentuk akademisi Islam yang berarti posisinya adalah sebagai seorang terpelajar di kampus namun kegiatan keilmuan yang dihasilkan dapat diperoleh manfaatnya bagi sesama. Sulit rasanya jika akademisi yang berumah di kampus tidak mengerti persoalan di sekitarnya. Terlebih akademisi tersebut tidak punya penghayatan keagamaan yang komprehensif
Kita akan mencoba mengklarifikasi penyematan kata cendekiawan. Dalam jurnal yang ditulis Imam Moedjiono (Cendekiawan dan Kebebasan Akademik), dia melontarkan beberapa pertanyaan yang berusaha diarahkan untuk memberi batasan pada istilah cendekiawan. Apakah Gus Dur, Muhammad Sobari, Cak Nun adalah seorang cendekiawan dan intelektual walaupun tidak punya selembar ijazah? Apakah Kosim Nurseha dan Syukron Makmun adalah cendekiawan dan intelektual meskipun tidak mempunyai ijazah namun selalu dirindukan oleh jutaan umat sebab kemampuan komunikasi keagamaan yang mumpuni? Apakah Romo Mangun layak disebut sebagai cendekiawan dan intelektual walaupun berasal dari latar belakang pendidikan arsitektur namun banyak berbicara di bidang sosial dan kebudayaan?
Apakah para guru besar dengan sederet gelar beserta ijazah dan perhargaan layak disebut sebagai cendekiawan dan intelektual walapun telah kehilangan gairah meneliti dan menulis, bahkan sudah tidak peka dengan keadaan masyarakat sekitar? Inilah pertanyaan yang cukup menggambarkan batasan-batasan seperti apa yang dapat kita taruh pada penyematan istilah cendekiawan dan Intelektual. Perlu diketahui, mencari definisi tepat dalam ilmu sosial sehingga mencakup kesepakatan umum para ahli bukanlah hal yang sepele. Termasuk dalam menentukan definisi yang pas pada kata cendekiawan dan intelektual. Cendekiawan diartikan sebagai orang-orang yang mempunyai kemampuan nalar yang baik, tertarik pada hal-hal rohani seperti seni, ide-ide seni, serta memiliki kemampuan berpikir bebas.
Bisa kita tarik kesimpulan, dalam penelesuran singkat di atas bahwa cendekiawan berpribadi yang dimaksud dalam Mars IMM juga bermakna intelektual berpribadi. Jadi kedua istilah ini bukan hal baru dalam khazanah pemikiran IMM. Sebelum melangkah lebih jauh, mengutip sedikit pernyataan Mohammad Hatta mengenai peran cendekiawan dan intelektual: “Memberi petunjuk dan memberi pimpinan kepada perkembangan hidup kemasyarakatan dan bukannya menyererahkan diri pada golongan yang berkuasa yang memperjuangkan kepentingan mereka masing-masing”. Saya kira dengan pernyataan tegas dari Hatta ini dapat kita ambil hikmah bahwa IMM diharapkan mampu menjadi seperti apa yang didawuhkan oleh Hatta. Maka kata “berpribadi” memiliki makna berprinsip atau autentik sehingga tidak mudah terguncang oleh situasi maupun godaan yang mengalihkan dia dari tujuan mulia cendekiawan dan intelektual, yakni kebenaran.
Membangun Basis Gerakan IMM
Membahas IMM tak akan pernah lengkap jika kita tak mengulik IMM dalam perannya sebagai organisasi pergerakan mahasiswa Islam. Jika Muhammadiyah hadir dalam ruang lingkup keumatan dan kebangsaan maka IMM mesti hadir dalam ruang akademisi, kemahasiswaan, dan persoalan yang terjadi di akar rumput. Dalam ruang akademisi, IMM menegaskan dirinya sebagai pemilik basis gerakan ilmu dengan pengarusutamaan masyarakat ilmu, gerakan khoiru ummah, seperti yang telah cukup panjang dijabarkan dalam sub-bab Tradisi Ilmu Sebagai Ruh Gerakan.
Sebagai penegas identitas mahasiswa, IMM harus eksis dalam khazanah gerakan sosial, berpadu dengan organisasi yang sama-sama berjuang atas nama keadilan dan kebenaran, memperkuat konsolidasi, dan semakin menegaskan keberpihakannya terhadap kaum-kaum mustadh’afin, kaum-kaum yang lemah dan dilemahkan. Bahwa gerakan IMM senantiasa diabadikan untuk kepentingan rakyat. Kuntowijoyo menyebutkan, “Sebagai hadiah, malaikat menanyakan, apakah aku ingin berjalan di atas mega dan aku menolak karena kakiku masih di bumi sampai kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai dhuafa dan mustadh’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”.
Kemudian daripada itu, yang menjadi pembeda gerakan IMM dengan gerakan lain, yakni posisi gerakan dakwah. Gerakan dakwah IMM akan disebut sebagai Gerakan Kembali ke Masjid. Gerakan ini timbul dari keresahan dalam menyaksikan kecenderungan kader IMM yang seringkali mengesampingkan masjid dan fungsinya, masjid dimaknai sebatas tempat ritus-ritus ibadah digaungkan, padahal jauh dari itu, sejarah mencatat bahwa masjid merupakan bagian terpenting dari gerakan sosial yang pernah dicatat oleh sebagian besar umat Islam dunia. Begitulah IMM membangun basis gerakannya, dari masjid. Menorehkan tiga gerakan arus utama, yakni; gerakan ilmu, gerakan mahasiswa, dan gerakan dakwah.
Penutup
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang muncul sebab persoalan-persoalan umum yang timbul-tenggelam dalam dinamika organisasi, diantaranya; kaderisasi, pengilmuan, dan progresifitas gerakan. Kemudian paradigma profetik hadir untuk menjawab persoalan-persoalan yang disebutkan di atas, menegaskan bahwa gagasan ini dibentuk untuk menjawab tantangan sebagaimana fungsinya sebagai katalisator gerakan. Di akhir, izinkan penulis menyerahkan segenap pokok pikiran ini sebagai bentuk pengabdian diri kepada Ikatan dan Persyarikatan. Abadi Perjuangan Kami!
Muhammadiyah itu organisasi besar yang berdiri tegak di atas sistem, dengan amal usaha dan jaringan yang luas. Kekuatan Muhammadiyah berada pada sistem, bukan hasrat dan kehebatan individual. (Ayahanda Haedar Nashir)