‘Edan, Ngedan dan Kedanan’
Oleh: Wildan dan Nurcholid Umam Kurniawan
Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi
melu edan nora tahan yen tan melu anglakoni
boya kaduman melik kaliren wekasanipun
ndilalah kersane Allah begja-begjaning kang lali
luwih begja kang eling lan waspada
Menghadapai zaman edan keadaan menjadi serba sulit
turut serta edan tidak tahan apabila tidak turut serta melakukan
tidak mendapat bagian akhirnya menderita kelaparan
sudah kehendak Tuhan Allah betapapun bahagianya orang yang lupa
lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada
(Syair baIt ke tujuh “Serat Kalatidha”, Ronggo Warsito, 1802 – 1873)
Judul di atas dalam Bahasa Indonesia kira-kira , Gila, Menggila dan Tergila-gila. Gila atau psikosis merupakan puncak penderitaan manusia (human suffering) sehingga penderita sampai mengalami disintegrasi kepribadian . Mereka tidak bisa membela diri dan memperjuangkan nasibnya. Oleh karena itu, mereka rawan mendapatkan pelanggaran HAM, seperti mendapatkan hak untuk hidup sehat jiwa. Ironinya, justru yang melakukan pelanggaran adalah mereka yang sehat jiwanya. Mereka bahkan sampai diejek, dilecehkan, direndahkan, ditelantarkan bahkan dibuang. Oleh karena itu, hendaknya masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang Sila keduanya Kemanusian yang Adil dan Beradab, hendaknya membantu dan memperjuangkan nasib mereka yang bernasib malang ini. Firman Tuhan dalam kitab suci “Barangsiapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan” (QS An-Nahl [16] : 97).. Semakin awal mereka diobati, semakin besar peluang untuk pulih kesehatan jiwanya.
Fenomena ngedan terjadi ketika seseorang berupaya agar lepas dari jerat hukum, dengan ngedan agar dikira edan beneran. Dengan kata lain, orang yang sebenarnya sehat jiwanya lalu berpura-pura menderita gangguan jiwa berat (psikosis atau gila). Orang yang menderita gangguan jiwa berat, tidak dapat berpura-pura berperilaku seperti orang yang sehat jiwanya. Sebaliknya, orang yang sehat jiwanya dapat berpura-pura menderita gangguan jiwa berat. Sedangkan fenomena kedanan, terjadi pada tiga hal, yaitu kedanan (gila, mestinya tergila-gila) harta, tahta dan asmara. Akibatnya, perilakunya jadi ‘aneh-aneh’, jika segan untuk mengatakan edan-edanan (gila-gilaan). Demikian pula perilaku orang yang ngedan.
Bahasa Indonesia itu miskin, hanya mengenal satu kosa kata, yaitu gila. Berbeda dengan bahasa Inggris, lihat tabel berikut :
Bahasa Inggris | Terjemahan | |
1. | CRAZY
1. Stupid or not reasonable: It’s a crazy idea. 2. Mentally ill: I seriously think she’ll go crazy if she doesn’t have a holiday soon.
|
GILA
1. Bodoh atau tidak masuk akal: Ini ide gila. 2. Sakit jiwa: Saya benar-benar berpikir dia akan menjadi gila jika dia tidak segera berlibur. |
2. | MAD
1. Mentally ill, or unable to behave in a reasonable way: I think I must be going mad. He went mad towards the end of his life.
2. Informal: very angry or annoyed: He’s always complaining and it makes me so mad.
|
GILA
1. Sakit jiwa, atau tidak dapat berperilaku wajar: Saya pikir saya pasti sudah gila. Dia menjadi gila menjelang akhir hidupnya.
2. Informal: sangat marah atau kesal: Dia selalu mengeluh dan itu membuatku sangat marah. |
3. | NUT
1. Informal or offensive a person who behaves in a very silly, stupid, or strange way or an offensive term for a person who is mentally ill: What kind of nut would leave a car on a railway track?
2. Informal someone who is extremely enthusiastic about a particular activity or thing: James is a tennis nut – he plays every day. |
GILA
1. Informal atau menyinggung seseorang yang berperilaku sangat konyol, bodoh, atau aneh atau istilah ofensif untuk orang yang sakit jiwa: Orang macam apa yang akan meninggalkan mobil di rel kereta api? 2. Informal: seseorang yang sangat antusias tentang kegiatan atau hal tertentu: James adalah pemain tenis – dia bermain setiap hari.
|
4. | INSANE
1. Mentally ill: For the last ten years of his life he was clinically insane. informal I sometimes think I’m going insane (= I feel very confused). 2. Extremely unreasonable or stupid: It would be insane not to take advantage of this opportunity.
|
GILA
1. Sakit jiwa: Selama sepuluh tahun terakhir hidupnya dia secara klinis gila. Informal: Saya kadang-kadang berpikir saya akan gila (= Saya merasa sangat bingung). 2. Sangat tidak masuk akal atau bodoh: Akan menjadi gila jika tidak memanfaatkan kesempatan ini. |
5. | Psychosis
is a condition that affects the way your brain processes information. It causes you to lose touch with reality. You might see, hear, or believe things that aren’t real. Psychosis is a symptom. It can be triggered by a brain illness, a physical injury or illness, substance abuse, or extreme stress or trauma. |
Psikosis
adalah suatu kondisi yang memengaruhi cara otak Anda memproses informasi. Ini menyebabkan Anda kehilangan kontak dengan kenyataan. Anda mungkin melihat, mendengar, atau mempercayai hal-hal yang tidak nyata. Psikosis adalah sekumpulan gejala gangguan jiwa berat (gila). Ini dapat dipicu oleh penyakit otak, cedera atau penyakit fisik, penyalahgunaan zat, atau stres atau trauma yang ekstrem. |
Bahasa menunjukkan bangsa. Bahasa Indonesia hanya mengenal dua kosa kata, yaitu sehat jasmani dan sehat ruhani (biasanya ditulis rohani). Akibatnya pasien gangguan jiwa berat disamakan dengan orang yang tidak sehat ruhani. Bahkan keluarga pasien pun ikut menderita karena mendapat stigma (cap buruk) dari masyarakat di sekitarnya. Mestinya, sehat jasmani (badan atau fisik), nafsani (jiwa), ruhani (spiritual) dan mujtama’i (sosial) yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 16 Tahun 2009, Tentang Kesehatan. Akibatnya, para koruptor yang sorak-sorak bergembira, padahal merekalah yang sebenarnya sakit ruhani atau tidak sehat spiritual.
Bahwa perkembangan kepribadian seseorang adalah proses spiritual (Maslow, 1997). Spiritualitas dari bahasa Yunani, dari kata spiritus yang berarti menyalakan, membuat terang. Dalam kehidupan, spiritualitas mewujud dari dalam upaya mencari makna hidup (the meaning of life). Maka, apabila seseorang beragama Islam apapun kehidupan maupun strata sosial ekonominya, hidupnya akan penuh makna (meaningful) jika berusaha dengan sungguh-sungguh mengejawantahkan nilai-nilai (values) yang diajarkan Tuhan lewat Kitab Suci Al-Qur’an dan yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw. implementasinya.
Orang diharapkan tidak hanya sekedar sehat (health), tetapi juga bugar (fitness). Sayangnya, apresiasi masyarakat selama ini baru sebatas kebugaran fisik (physical fitness), antara lain getol melakukan latihan (exercise) olah raga. Sedangkan kebugaran jiwa (mental fitness), kebugaran sosial (social fitness), apalagi kebugaran spiritual (moral fitness), belum banyak diapresiasi oleh masyarakat luas.
Orang yang sehat spiritual perilakunya bermakna atau bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia. Periakunya manusiawi, tidak hewani, tidak berperilaku homo homini lupus, manusia yang merupakan serigala bagi manusia lainnya. Mulutnya bisa saja bekoar Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal, perilakunya sila pertama Keuangan yang maha kuasa, lalu sila kelimanya Keadilan sosial bagi diri sendiri, keluarga dan para kroni. Para pasien gangguan jiwa yang dapat getahnya, dianggap sakit ruhani, akibat karena berbuat dosa, dikutuk Tuhan, kurang iman dan seterusnya. Poli Jiwa disamakan dengan Poli Roh.
“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan tuhannya hawa nafsunya. Maka apakah engkau dapat menjadi wakil atasnya ? Atau apakah engkau mengira bahwa kebanyakan mereka mendengar atau memahami ? Mereka tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya” (QS Al-Furqan [25] : 43 -44).. Menurut Shihab (2012), kata hawa adalah kecenderungan hati (emosi atau perasaan) kepada dorongan syahwat tanpa kendali akal. Menjadikan tuhannya hawa nafsunya, berarti tuhan yang disembah oleh yang bersangkutan dijadikannya sesuai dengan keinginan hawa nafsunya. Yakni, dia menjadikan tuhannya adalah apa yang disenanginya, bukan karena tuhan tersebut berhak untuk dipertuhan.
Manusia berasal dari kata manu (bahasa Sanskerta) mens (bahasa Latin), yang berarti ‘makhluk berakal budi’. Tanpa budi, akal manusia akan digunakan untuk ngakali dan akal-akalan dan hatinya menjadi gelap atau hati zulmani. Apabila manusia menggunakan akal budinya, manusaia akan mendapatkan hatinya bercahaya atau hati nurani. Tanpa budi (prefrontal cortex atau otak yang terletak di belakang tulang dahi manusia), maka perilaku manusia sama dengan perilaku hewan.
Ibadah shalat adalah anugerah Allah kepada manusia, dengan rukuk dan sujud selain wujud nyata sebagai tindak lanjut ucapan ketundukan dan kepatuhan manusia kepada Allah, sekaligus peluang untuk mengajukan permohanan pertolongan secara langsung tanpa perantara kepada Allah, agar ditunjukkan dan diantarkan kepada jalan yang lebar dan lurus, jalannya orang yang dianugerahi nikmat, bukan jalan orang yang dimurkai dan sesat ! Menegakkan shalat berarti memelihara akal budi dan hati nurani, manusia tidak melakukan tindakan keji dan munkar !
Shalat itu adalah tempat kita bermunajat kepada Allah Swt. Rasulullah Saw. melakukan Mi’raj dengan jazad dan ruh. Kalau kita sebagai Muslimin biasa ingin Mi’raj itu dengan shalat. Sebab, shalat itu adalah Mi’raj-nya orang-orang yang beriman. Jadi, jika kita ingin Mi’raj seperti Rasulullah dan ingin “bertemu” dengan Allah, maka shalatlah. Shalat itu adalah tempat kita berbisik-bisik berdialog dengan Allah.
Melalui kitab suci Tuhan melakukan pengajaran (transfer of knowlegde) dan pendidikan (tranfer of values) kepada manusia, agar manusia berperilaku manusiawi, bukan perilaku hewani. Tuhan berfirman: “Dan sekiranya Kami menghendaki, pasti Kami meninggikannya dengannya, tetapi dia mengekal ke dunia dan menurutkan hawa nafsunya, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika engkau menghalaunya dia menjulurkan lidahnya dan jika engkau membiarkannya dia menjulurkan lidahnya juga. Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka, ceritakanlah kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan terhadap diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi ! Dan demi sungguh Kami telah ciptakan untuk Jahanam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai kalbu [otak depan], tetapi tidak mereka gunakan memahami dan mereka mempunyai mata [otak belakang] (tetapi) tidak mereka gunakan melihat dan mereka mempunyai telinga [otak samping] (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS Al-A’raf [7] : 176 – 179).
“Pengalaman adalah guru yang terbaik”, demikian kata pepatah. Namun berguru pada pengalaman orang lain juga tidak kalah baik. Apalagi berguru pada seorang Nabi yang perilakunya sangat bernilai di hadapan Tuhan maupun manusia. “Allah dan para malaikat memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang yang beriman, berilah selawat dan salam kepadanya” (QS Al-Ahzab [33] : 56).
Menurut Shihab (2018), bagi mereka yang mengakui Muhammad sebagai Nabi, utusan Allah, dan makhluk yang paling dicintai-Nya adalah bahwa : Sosok Nabi Muhammad merupakan bukti kebenaran. Ini ditegaskan oleh Al-Qur’an dengan firman-Nya : “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepada kamu bukti kebenarana dari Tuhanmu. (Muhammad) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (Al-Qur’an)” (QS An-Nisa [4] : 174).
Bagaimana mungkin sosok pribadi Nabi Muhammad Saw. tidak menjadi bukti kebenaran. Beliau lahir dalam keadaan yatim, dibesarkan dalam keadaan miskin, tidak pandai membaca dan menulis, hidup dalam lingkungan masyarakat yang relatif terbelakang, namun beliau berhasil dalam hidupnya, keberhasilan yang tidak hanya diakui oleh generasi beliau, tetapi oleh generasi sesudah beliau hingga kini. Bukan hanya diakui oleh pengikut-pengikut beliau, tetapi oleh sekian banyak ilmuwan dan pakar. Mereka sepakat menyatakan dengan menggunakan berbagai tolok ukur bahwa Nabi Muhammad Saw. adalah manusia agung, kalau enggan berkata “teragung” yang dikenal oleh sejarah kemanusiaan hingga kini.
Demikian kesimpulan Thomas Carlyle dalam bukunya On Heroes, Hero, Worship, and The Heroes in History dengan menggunakan tolok ukur kepahlawanan. Demikan juga Will Durant dalam bukunya The Story in The World dengan menggunakan tolok ukur hasil karya. Begitu juga dalam Muhammad, Buddha and Christ dengan menggunakan tolok ukur keberaniaan moral. Selanjutnya, Michel H Hart yang menyeleksi seratus tokoh sepanjang sejarah kemanusiaan menempatkan Nabi Muhammad Saw. sebagai tokoh nomor satu dengan menggunakan tolok ukur pengaruh dalam sejarah manusia.
Ketika Nabi Muhammad Mendapat “Kritik”
“Dan (Allah) menganugerahi al-Hikmah kepada siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa yang dianugerahi al-Hikmah, maka dia benar-benar telah diberi anugerah yang banyak. Dan hanya Ulul Albab (orang yang punya pemikiran yang mendalam) yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)” (QS Al-Baqarah [2] : 129).
Menurut Syaikh Muhammad Mustafa Al-Maraghi (1935, dalam Haekal, 2000), Rektor Magnificus Universitas Al-Azhar, bahwa kenabian adalah anugerah Tuhan, tidak dapat dicapai dengan usaha. Akan tetapi ilmu dan kebijaksanaan Allah yang berlaku, diberikan kepada orang yang bersedia menerimanya, yang sanggup memikul segala bebannya. Allah lebih mengetahui dimana risalah-Nya itu akan ditempatkan. Muhammad Saw. sudah disiapkan membawa risalah (misi) itu ke seluruh dunia, bagi si putih dan si hitam, bagi si lemah dan si kuat. Beliau disiapkan membawa agama yang sempurna dan dengan itu menjadi penutup para Nabi dan Rasul, yang hanya satu-satunya menjadi sinar petunjuk, sekali pun nanti langit akan terbelah, bintang-bintang akan runtuh dan bumi ini pun akan berganti dengan bumi dan angkasa lain.
Kesucian para Nabi dalam membawa risalah dan meneruskan amanat wahyu itu, adalah masalah yang tidak dapat dimasuki oleh kaum cendekiawan. Bagi para Nabi, sudah tidak ada pilihan lain. Mereka menerima risalah dan amanat, dan itu harus disampaikan, sesudah mereka diberi cap dengan stempel kenabian. Tugas menyampaikan amanat demikian itu sudah menjadi konsekwensi wajar bagi seorang Nabi, yang tidak dapat dielakkkan. Akan tetapi, tidak selamanya wahyu itu menyertai para Nabi dalam tiap perbuatan dan kata-kata mereka. Mereka juga tidak bebas dari kesalahan. Bedanya dengan manusia biasa, Allah tidak membiarkan mereka hanyut dalam kesalahan itu sesudah sekali terjadi, dan kadang mereka segera mendapat teguran.
Kritik pertama
Menurut Djamaluddin Ahmad al-Buny (2001), dalam bukunya Lelaki Buta dari Surat ‘Abasa menulis, pada suatu hari di Makkah, Rasulullah sedang menerima tamu istimewa, yaitu beberapa pemimpin Quraisy yang berpengaruh. Rasulullah menerima mereka sesuai dengan adab dan tatakrama Islam. Dalam hati Rasulullah berharap pula mudah-mudahan dengan dukungan mereka untuk berdialog langsung, akan membuka dan terketuk batin mereka menerima kalimah tauhid.
Begitu serius Rasulullah menerima tamunya dengan memusatkan seluruh pikiran beliau, dan dengan penuh keramahan mengikuti semua jalan pikiran mereka …… Di saat itulah masuk lelaki buta itu. Setelah mengucapkan salam sejahtera dengan membawa harapan-harapan indah ingin mendengar tutur kata dan bimbingan batin langsung dari mulut Nabi Saw. Karena walaupun matanya buta, namun dengan mata hatinya dapat melihat wajah Rasulullah. Dia tidak pernah melupakan suara Rasulullah, gerakan dan diamnya serta keharuman badan beliau. Bagi lelaki buta ini, Nabi adalah segala-galanya.
Lelaki buta ini sebetulnya tidak bermaksud mengganggu pertemuan Rasulullah dengan pembesar Quraisy yang sudah berada di rumah Nabi. Benar-benar dia tidak mengetahui saat itu. Langsung saja dia masuk ke rumah Nabi sambil menekan perlahan tongkatnya bersama perasaan halusnya, sehingga tongkatnya itu seakan-akan tidak menyentuh lantai. Setelah mengucapkan salam langsung saja dia mencurahkan isi hatinya dengan kalimat singkat dan sederhana : “Ya Rasulullah, Aqri’ny Wa ‘Allimny Mimma ‘Allamakallah”, (Ya Rasulullah, bacakanlah untukku dan ajarkanlah kepadaku, apa-apa yang telah diajarkan Allah kepadamu).
Suasana menjadi hening sejenak. Tamu-tamu juga menghentikan dialog mereka. Kemudian mereka melangsungkan lagi dengan serius. Dalam keadaan itulah Nabi tidak memperhatikan apa yang telah diucapkan oleh lelaki buta itu. Karena tidak mengetahui suasana di rumah Nabi, sambil menunggu suara Nabi menjelaskan apa yang diharapkannya, maka diulangi lagi sampai beberapa kali. Tentu saja percakapan Rasulullah sangat terganggu karena interupsi seperti itu. Rasulullah lalu memalingkan wajahnya dari lelaki buta itu. Dengan muka masam dan kening mengkerut beliau meneruskan dialognya dengan pemuka-pemuka Quraisy. Beliau sama sekali kurang memperhatikan apa yang diucapkan lelaki buta itu.
Setelah selesai dialog dan para tamu istimewa Nabi pulang, tiba-tiba turunlah wahyu dari Allah, dengan jelas tercantum dalam Surat ‘Abasa. Turunnya surah ini tidak lain sebagai teguran (“kritik”) langsung dari Allah kepada Nabi berkaitan dengan datangnya lelaki buta itu yang bermaksud meminta pelajaran dari Rasulullah. Wahyu dari Allah itu berbunyi : “Abasa Wa tawalla” (Dia bermasam muka, lalu berpaling). “An Ja-ahul a’ma” (ketika datang padanya seorang buta). Selanjutnya ayat itu berbunyi yang terjemahannya : “Siapakah yang mengatakan kepadamu, barangkali dia akan menjadi suci. Atau (engkau mengharapkan) dia akan ingat, dan peringatan itu akan memberi manfaat untuknya. Kepada orang yang merasa telah serba cukup, lalu engkau datang kepadanya dan berhadapan dengannya. Tidaklah engkau bersalah, kalau dia tidak menjadi suci. Pada orang yang sengaja datang kepadamu dengan berjalan kaki, karena dia takut kepada Allah, tidak engkau pedulikan. Sekali-kali janganlah begitu. Karena sesungguhnya (ajaran al-Qur’an) adalah peringatan. Barangsiapa yang menghendakinya, biarlah dia berlalu mengingatkannya (QS ‘Abasa [80 ] : 1 – 12).
Teguran wahyu di atas dialamatkan kepada Nabi. Sangat dalam dan menyayat hati. Sepotong kalimat wahyu dan sepintas tampak sederhana akan tetapi sangat luas jangkauannya. Saat itu pula tanpa menunggu, Rasulullah melayani lelaki buta itu. Menanyakan dengan kata-kata lembut, serta memberi hormat dan rasa kasih sayang kepadanya.
Siapakah lelaki buta itu sebenarnya? Dia adalah sahabat Nabi sendiri yang bernama Abdullah bin Ummi Maktum, yang telah melahirkan peristiwa istimewa, sehingga Nabi mendapat teguran langsung dari Allah.
Setelah peristiwa itu, apabila Rasulullah berjumpa dengan Abi Ummi Maktum, selalu beliau mengucapkan salam : “Ahlan Biman Atabany Fihi Rabby (Selamat datang saudara yang menyebabkan aku ditegur oleh Tuhanku)”. Salam itu adalah salam istimewa yang selalu diucapkan Nabi setiap Abi Ummi Maktum datang mengunjungi beliau.
Demikian pula apabila berpisah dengan Abi Ummi Maktum Nabi selalu menanyakan keperluannya : “Ma hajatuka hal turidu min syai? (Apakah yang engkau inginkan? Adakah sesuatu yang engkau kehendaki?”.
Sering juga Rasulullah mengucapkan apabila berpisah dengan Abi Ummi Maktum : “ Apakah masih ada yang tertinggal dari apa yang engkau harapkan, wahai sahabatku?”.
Peristiwa sejarah dari dakwah Islam yang terpateri abadi dalam al-Qur’an ini, telah menjadi lukisan yang sangat bernilai dalam perkembangan kehidupan sosial umat Islam.
Banyak orang yang lupa dan juga tidak percaya, di balik pakaian yang lusuh, mata yang buta, jalan yang pincang, gubug yang reot, sering kali tersimpan pikiran yang cerdas, pribadi yang agung, akhlak yang terpuji, ketabahan hati dan keteguhan jiwa yang sulit dicari bandingannya. Itulah peristiwa Abdullah bin Ummi Maktum yang dipentaskan Allah dan Rasul-Nya dalam lembaran surat “Abasa. Dialah si lelaki buta dari surat “Abasa.
Kritik kedua
Al-kisah, ketika dalam perjalanan menuju ke Badar dalam rangka menghadapi serangan kaum musyrikin, Rasulullah memerintahkan pasukannya untuk berhenti sejenak di dekat mata air sekitar Badar. Seorang sahabat Rasulullah Hubab bin Mundzir yang mengenal betui medan pertempuran itu, dalam hati bertanya-tanya atas keputusan Rasulullah, karena menurut pendapatnya tidak tepat. Oleh karena itu dia memberanikan diri bertanya kepada beliau : “Wahai Rasulullah apakah lokasi ini memang dipilih berdasarkan wahyu yang tidak dapat diubah atau ini pendapat pribadi Rasul sebagai strategi perang?”. Jawab Nabi : “ Ini hanya pendapat pribadiku dan strategi perang”. Kata Hubab bin Mundzir : “ Bila demikian sungguh lokasi ini bukanlah tempat yang tepat bagi kita. Bagaimana kalau kita mengambil tempat di mata air yang terdekat dengan musuh? Kita mendatangi dan mengambil posisi dibelakangnya, lalu menggali kolam-kolam yang kita penuhi dengan air yang berasal dari mata air itu. Dengan demikian, ketika kita sedang bertempur kita dapat mengambil air yang cukup, sedangkan musuh akan kehabisan air”. “Kritik” sahabat diterima Nabi dan selanjutnya kaum Muslimin melaksanakan sebagaimana rencana Hubab bin Mundzir. Perang Badar berakhir dengan kemenangan kaum Muslimin berkat pertolongan Allah.
Kritik ketiga
Suatu saat, seorang sahabat Nabi Thalhah bin ‘Ubaidillah menyampaikan kisah ketika dia bersama Rusulullah berjalan melewati beberapa kebun kurma. Rasulullah bertanya : “Apa yang mereka sedang lakukan?”. Orang-orang yang ada di sekitar kebun-kebun itu pun menjawab : “Mereka sedang melakukan penyerbukan dengan memasukkan benih jantan ke dalam benih betina”. Lalu Rasulullah bersabda : “ Aku menduga andaikata mereka tidak melakukannya mungkin lebih baik”. Ternyata, setelah mereka melakukan pembiaran atau tidak lagi melakukan penyerbukan secara manual, hasil panen kurmanya menjadi berkurang. Mereka pun “protes” kepada Nabi, lalu beliau bersabda : “Apabila penyerbukan itu memang bermanfaat meningkatkan hasil panen kurma , maka lakukanlah. Sesungguhnya aku hanya menduga saja. Oleh karena itu janganlah kalian melakukan lagi dugaan yang aku buat, karena kalian lebih tahu urusan duniamu – antum a’alamu bi umuri dunyakum”. Selanjutnya Nabi bersabda : Namun apabila aku mengabarkan kepada kalian sesuatu yang datangnya dari Allah maka ambillah. Sesungguhnya aku tidak pernah berbohong atas yang datang dari Allah” (HR Muslim).
Pemimpin, Negarawan dan Politisi
“Hanya satu cara menghindari kritikan : tidak berbuat apa-apa, tidak berkata apa-apa dan tidak menjadi apa-apa” (Elbert Hubbard).
Apa beda pemimpin dengan manajer? Pemimpin melakukan yang benar (do the right thing). Sedangkan manajer adalah melakukan dengan benar (do thing right). Oleh karena itu, tugas seorang pemimpin itu berat karena harus memilih, melakukan pilihan-pilihan antara melakukan yang benar dengan yang salah.
“Health is not everything but without it everything is nothing”, (memang) kesehatan bukan segalanya tetapi tanpa kesehatan segalanya menjadi tidak ada maknanya (Arthur Schopenhauer, 1788 – 1860).
Menurut Machfoed (2016), otak sehat (healthy brain) amat penting bagi kehidupan manusia, lebih-lebih untuk seorang pemimpin yang berotak sehat ibarat matahari yang menyinari semesta alam. Sinarnya membuat hidup bergairah. Otak sehat berbeda dengan otak normal (normal brain). Disebut normal, apabila otak memiliki struktur dan fungsi seperti apa adanya (anatomical and physiological normally). Otak sehat bukan sekedar otak normal. Otak sehat tidak saja karena ia dapat berfungsi dengan baik, tetapi juga memiliki nilai-nilai (values) tertentu terhadap setiap fungsi yang dimilikinya. Bahwa otak bukan semata-mata daging biasa seperti dipahami selama ini oleh masyarakat, tetapi memiliki nilai-nilai (values) membangun peradaban hingga bisa bertahan.
Bahkan kepimpinan yang tepat, harus bisa mendayagunakan kemampuan otaknya secara optimal, sehingga ia melampui batasan kenormalannya menuju kesehatan otak. Keunggulan manusia sudah jelas tergantung pada perkembangan otaknya. Fungsi otak memang menjadi ukuran keberadaan otak itu. Yang dinilai bukan ada tidaknya otak, tetapi sejauh mana otak dapat berfungsi (Machfoed, 2016). Karena otak yang difungsikan secara maksimal akan membawa pencerahan pada manusia (Aswin, 1995).
Kesehatan berkaitan dengan sifat Tuhan Al-Rahman, Maha Kasih tanpa pilih kasih. Artinya, biar pun hamba-Nya kafir, Allah tetap kasih kepada mereka. Nikmat kesehatan, sebagai bentuk rahmat Allah kepada kita, tidak tergantung iman kita, tidak tergantung pada ibadah kita, tidak tergantung pada kesalahan kita. Tetapi tergantung pada seberapa jauh kita mengetahui masalah-masalah kesehatan (Madjid, 2015).
“There is no health without mental health”, tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa (Prince et al, 2007). Menurut UU RI No. 18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa, bahwa kesehatan jiwa adalah kondisi ketika seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial , sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Dengan demikian, cakupan masalah kesehatan jiwa sangat luas, merentang dari Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) sampai dengan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Penyebab gangguan jiwa itu multifaktorial (organobiologik, psikoedukatif dan sosiokultural). Imunisasi untuk mencegah munculnya gangguan jiwa belum diterumukan. Oleh karena itu, gangguan jiwa bisa menimpa siapa saja, kapan saja dan dimana saja. Bisa menimpa dari sinden sampai presiden. Dari dekan sampai dukun. Dari selebriti sampai politisi !
Apa beda negarawan dengan politisi? Negarawan berpikir dari generasi ke generasi. Sedangkan politisi berpikir dari Pemilu ke Pemilu. Demikian pendapat James Freeman Clarke, Teolog dan Penulis AS. Maka, seorang negarawan akan “Ask not what your country can do for you. Ask what you can do for your country” (Janganlah bertanya apa yang dapat diberikan negerimu padamu. Tanyakanlah kepada dirimu apa yang dapat engkau berikan kepada negerimu), demikian kata John F Kennedy, Presiden AS, 1961 – 1963. Dengan demikian, seorang negarawan bukan PKI (Pokoke Kantong Isi).
Menurut Purwadi (2007), sebagai dalang, Sunan Kalijaga sering memberikan pesan sebagai berikut :
Sing sapa ora gelem gawe becik marang liyan, aja sira ngarep-ngarep yen bakal oleh pitulungan ing liyan.
Wong ala samangsa kuwasa aja dicedhaki, sebab mbilaheni; saya mundhak angkara murkane, lan meneh bakal dienggo srana menangke kang ala mau.
Wong ala iku lamun kuwasa banjur sawiyah-wiyah nguja hawa napsune, lan uga ngagung-agungake panguwasane, mula aja nganti wong ala bisa nyekel panguwasa.
Wong kang rumangsa nindakake panggawe kang kurang prayoga, nanging emoh mareni, iku aja dicedhaki, mundah nulari.
Wong ala yen bisa kuwasa, kang ala iku diarani becik, kosok baline yen wong becik kang kuwasa, kang becik iku kang ditindakake.
Barangsiapa tidak mau berbuat baik terhadap orang lain, janganlah mengharap akan mendapat pertolongan orang lain.
Orang jahat kalau berkuasa jangan didekati, sebab berbahaya; dia akan tambah angkara murkanya, lagipula engkau akan dipakai sebagai sarana untuk memenangkan kejahatan itu.
Orang jahat kalau berkuasa akan bertindak sewenang-wenang, melampiaskan hawa nafsunya dan membanggakan kekuasaannya, oleh karena itu jangan sampai ada orang jahat memegang kekuasaan.
Orang yang menjalankan pekerjaan yang tidak sepantasnya, tetapi tidak mau mengakhiri, jangan didekati , agar tidak ketularan.
Orang yang jahat kalau dapat berkuasa, segala yang jelek dikatakan baik, sebaliknya kalau orang baik yang berkuasa, maka hal-hal baiklah yang dijalankan.
Otaklah yang membuat manusia menjadi manusia, it is the brain that makes man a man (Livingstone, 1969). Brain, mind and behaviour, otak, jiwa (pikiran dan perasaan) dan perilaku. Otak sehat, jiwa sehat; otak terganggu, jiwa pun terganggu. Oleh karena itu, batas sehat jiwa dan gangguan jiwa tidak selalu tegas seperti perbedaan warna hitam dengan warna putih, kadang abu-abu. Tidak selalu orang yang tampak sehat jiwanya perilakunya logis dan realistis.
Belum lama ini ramai kabar tentang seorang pemuda yang ‘gila asmara’ di Bantul sampai tega menjual barang milik ibunya, termasuk barang bantuan dari Pak Bupati Bantul kepada ibunya. Demikian pula berita seorang pimpinan Dewan Perwakilan Ra – (DPR) – jelas (mewakili siapa?, legislasi untuk siapa?) “mengeluh” karena ketika berkunjung ke suatu daerah tidak disambut oleh Gubernurnya. Hal ini mengundang komentar seorang ‘driver’ ojol ketika dia nangkring di salah satu angkringan di kota Yogya : “Pemimpin kok baperan, belum dewasa dalam berpolitik !”. Vox populi vox Dei, suara rakyat suara Tuhan. Gara-gara Pemilu (Pegel mikirin lu) justru mengundang kritik rakyat !
Merujuk pandangan ilmuwan politik terkemuka asal Amerika Serikat, Harold Lasswell, politik adalah siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana.
Reaksi emosi munculnya seperempat detik, sedangkan nalar munculnya dua detik. Ciri reaksi emosi, spontan, reaktif, tanpa mikir ! Jika berani hadapi (fight), jika takut ya lari atau menghindar (flight). Ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa orang dapat belajar berpikir lebih baik, there is a large body of evidence showing that people can learn to think better.
Salah satu ciri satria utama adalah alus ing budi. Demikian pula budi pekerti luhur syarat untuk dikatakan sebagai manusia yang baik. Orang yang luhur ing pambudi, adalah orang yang bijaksana. Sedangkan orang yang asor bebudene tidak hanya ornag yang bodoh belaka, akan tetapi juga berbahaya. Budi mempunyai arti yang luas yang meliputi seluruh pribadi manusia, yang menggambarkan individualitasnya, yang menjiwai segala aktivitasnya, sehingga menjadikan dia orang yang berbudi atau tidak berbudi (Purwadi, 2007).
Marcus Annaeus Lucanus ( 39 – 65 SM), penyair kerajaan Romawi, mengatakan : “exeat aula, qui vult esse plus”, barang siapa ingin menjadi orang yang baik, hendaklah meninggalkan istana. Terjemahan bebasnya, kalau tetap ingin jadi orang baik, janganlah masuk lingkaran kekuasaan. Selain itu ada juga pepatah Latin, animo magis quam corpore aegri sunt. Artinya, mereka (yang berkuasa) lebih banyak (terkena) sakit spiritual (ruhani) daripada sakit badan !
Akhirnya, Ronggo Warsito menutup “Serat Kalathida” pada bait kedua belas sebagai berikut :
Sageda sabar santosa mati sajroning urip
kalis ing reh huru-hara murka angkara sumingkir
tarlen meleng melatsih
sanityaseng tyas mamatuh badharing sapudhendha
antuk wajar sawatawis borong angga suwarga mesi martaya
Semoga dapat sabar sentosa laksana mati dalam hidup
terbebas dari segala kerusakan, angkara murka, tamak, loba
menyingkir semua
tiada lain karena berkonsentrasi diri memohon kasih Tuhan
senantiasa melatih hatinya patuh agar dapat mengurungkan kutukan
sehingga mendapatkan sinar terang sekedarnya
berserah diri agar dapat masuk surga yang berisi keabadian
Wildan, Dokter Jiwa RS PKU Muhammadiyah Bantul
Nurcholid Umam Kurniawan, Dokter Anak, Direktur Pelayanan Medik RS PKU Muhammadiyah Bantul dan Dosen FK-UAD