KIAA I Tahun 1965: Melawan Imperialisme, Mempersatukan Umat Islam Asia dan Afrika

KIAA

Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) I Foto Dok ANRI

KIAA I Tahun 1965: Melawan Imperialisme, Mempersatukan Umat Islam Asia dan Afrika

Oleh: Azhar Rasyid

Sebagaimana banyak diketahui orang, ada banyak kejadian besar di Indonesia pada tahun 1965. Yang paling penting tentunya peristiwa percobaan kudeta yang dilakukan oleh kaum komunis, yang memuncak pada akhir September 1965. Yang lainnya mencakup berbagai aksi demonstrasi anti-komunis serta operasi penangkapan para pelaku penculikan dan pembunuhan para jenderal TNI AD.

Tapi, sebenarnya ada peristiwa besar lain yang berlangsung di Indonesia, tapi tidak banyak diketahui orang: Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) I yang diadakan di Bandung tanggal 6-14 Maret 1965. Peristiwa ini berskala global dan menarik minat masyarakat, tidak hanya di Indonesia tapi juga di luar negeri.

Konferensi Pendahuluan, yang menjadi acara pembuka KIAA I, diadakan di Markas Besar Ganefo di Senayan, Jakarta, pada tanggal 6-14 Juni 1964. Ada sejumlah negara yang hadir dalam Konferensi Pendahuluan, yakni Indonesia, Irak, Nigeria, Pakistan, Filipina, Arab Saudi, Thailand dan Republik Persatuan Arab.

Awalnya, KIAA I akan dibuka pada 10 Februari 1965, namun ditunda tanpa alasan yang jelas. Baru sebulan kemudian konferensi ini terwujud. Acaranya dipusatkan di Gedung Merdeka, Bandung, yang sepuluh tahun sebelumnya dipakai sebagai tempat untuk acara bersejarah lainnya, Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika. Ada 33 negara peserta plus empat negara peninjau yang mengirimkan utusannya ke KIAA I. Dari Indonesia hadir perwakilan berbagai organisasi Islam, mulai dari KH A Badawi & Prof KH Farid Ma’ruf (Muhammadiyah), KH Idham Chalid & HA Sjaichu (NU), KH Siradjuddin Abbas (PERTI), Arudji Kartawinata & Harsono Tjokroaminoto (PSII), Wartomo & Agus Sadono (GASBIINDO), dan H Zainuddin Dja’far (Al-Washliyah).

Sebagai tuan rumah dan penyelenggara acara, Indonesia memegang peranan penting dalam KIAA I. KH A Sjaichu ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal KIAA I. Presiden Soekarno menyampaikan pidato untuk membuka acara ini. Sebagian besar konsepsi yang dirancang di konferensi ini didasarkan pada usulan delegasi Indonesia.

Pada dasarnya, yang dibicarakan di dalam konferensi ini adalah berbagai problem yang menimpa umat Islam di berbagai negara di Asia dan Afrika. Ada tiga poin penting menyangkut umat Islam yang dibahas, yakni dakwah, tarbiyah (pendidikan), dan tsaqofah (kebudayaan). Turut diserukan pula persatuan, solidaritas dan kerja sama yang nyata di antara umat Islam se-Asia dan Afrika.

Para budayawan turut ambil bagian dalam rangkaian acara KIAA I. Dalam rangka malam drama KIAA I, sastrawan Ajip Rosidi menulis lakon berjudul Masyitoh yang kemudian dipentaskan di Jakarta dan Bandung. Sebagaimana dikatakan Ajip sendiri dalam buku Mengenang Hidup Orang Lain (2010: 365), drama karyanya itu “dianggap dapat memberikan inspirasi dan semangat pada kaum agama khususnya.” Film karya Asrul Sani, Tauhid, dan film buatan Usmar Ismail, Anak-Anak Revolusi, serta beberapa film produksi sineas Republik Persatuan Arab, Irak, Aljazair, Pakistan, Suriah, Lebanon dan lain-lain ditampilkan pada festival film dalam rangka menyambut KIAA I ini.

Ada beberapa hasil penting yang dicapai KIAA I. Sejumlah resolusi yang diambil menekankan arti penting kerja sama di antara umat Muslim di seluruh dunia dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari soal dakwah Islam, politik, kebudayaan, dan bidang sosial. Resolusi lain fokus pada kaum Muslim yang mengalami beragam problem sosial-politik, mulai dari posisi mereka di negerinegeri non-Muslim hingga perjuangan mereka yang belum merdeka dari penjajahan asing. Perjuangan bangsa Palestina juga menjadi pokok resolusi yang disepakati.

Walaupun acaranya diadakan di Bandung, Yogyakarta tidak ketinggalan dalam mengapresiasi konferensi ini. Salah satunya dilakukan oleh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, yang menyelenggarakan sebuah simposium untuk membahas pelaksaan hasil-hasil KIAA I. Pembicaranya antara lain mantan Sekjen KIAA I yang juga Menteri/Wakil Ketua DPR GR KH A Sjaichu (berbicara soal politik dan umum), Ny Mahmudah Mawardi yang mengulas soal peran kaum perempuan, Wartomo Dwidjojuwono yang mengulas soal buruh, KH A Badawi yang mengemukakan soal dakwah, dan Prof Dra Siti Baroroh Baried yang menyampaikan pidato perihal kebudayaan.

Para penggerak simposium itu menyadari bahwa KIAA I adalah sebuah pencapaian besar bagi umat Islam Indonesia karena Indonesia dipercaya sebagai tuan rumah yang mengadakan konferensi internasional itu. Ini artinya, Indonesia dipandang sebagai pemimpin yang berkompeten di dunia Islam untuk mengumpulkan delegasi dari negara-negara mayoritas Islam di dua benua besar. Maka, di luar keberhasilan mengadakan KIAA I, yang tak kalah pentingnya adalah merealisasikan keputusan-keputusan yang diambil dalam KIAA I itu.

Ditinjau dari konstelasi politik internasional, KIAA I ini juga menjadi ajang perebutan pengaruh. Salah satunya antara Indonesia dan Malaysia, dua negeri berpenduduk mayoritas Muslim dan memiliki akar kultural yang dekat, namun tengah berkonflik pada pertengahan tahun 1960an itu. Indonesia, sebagai tuan rumah, jelas mendapatkan nama lewat pelaksaan konferensi itu.

Dalam sebuah laporan yang diterbitkan kantor berita Antara pada Maret 1965, yang kemudian dikutip oleh koran The Strait Times di Singapura, disebutkan bahwa Wakil Perdana Menteri Malaysia Tun Abdul Razak berkunjung ke Afrika Timur guna mencari dukungan bagi terlaksananya sebuah konferensi Islam bagi negara-negara Persemakmuran Inggris (Commonwealth). Antara menilai bahwa konferensi ini ditujukan untuk menyaingi KIAA I di Bandung. Tapi, pihak Malaysia menyebut bahwa laporan Antara ini tidak benar.

Bagi Muhammadiyah sendiri, KIAA I dipandang sebagai sebuah langkah penting dalam memajukan kaum Muslim di Asia dan Afrika, yang sebagian besar di antaranya merupakan bekas jajahan asing. Indonesialah yang diharapkan untuk mengambil dan mewujudkan langkah itu. KIAA I itu tak ubahnya bukti kontribusi aktif umat Islam Indonesia pada bangsa-bangsa di Asia dan Afrika, khususnya dalam upaya memperbaiki nasib mereka melalui ide-ide yang terinspirasi dari Islam.

Memang, bagi sebagian Muslim Indonesia, konferensi ini dipandang lebih dari sekedar ajang kumpulkumpul para pemimpin dan ulama dari berbagai penjuru dunia. Yang disasar adalah memosisikan konferensi ini sebagai tonggak sejarah penting bagi eksistensi negara-negara Muslim di tengah masih kuatnya pengaruh kolonialisme model baru serta pertarungan ideologis yang keras pasca Perang Dunia II. Oleh sebagian pihak, konferensi ini dinilai memberikan kejutan besar dan pesan kuat kepada apa yang kala itu dikenal sebagai lawan-lawan kaum Muslim, mulai dari imperialisme, neokolonialisme dan ateisme.

Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Sumber: Majalah SM Edisi 6 Tahun 2018

Exit mobile version