Muhammadiyah Harus Melihat Persoalan Dengan Objektif
SLEMAN, Suara Muhammadiyah – Berbagai persoalan kebangsaan yang terjadi belakangan ini rupanya baru sebatas hilir, hulunya berasal dari kebijakan pemerintah yang ikut mempengaruhi hal tersebut. Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Abdul Mu’ti, M.Ed. dalam acara “Pak Sekum Menyapa: Apa Kabar Muhammadiyah Hari Ini?” yang diselenggarakan secara daring oleh Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Depok, Sleman, Senin (7/3), dihadiri sekitar 300-an peserta dari dalam dan luar negeri.
Indonesia saat ini sedang tidak baik – baik saja, di mana banyak sekali isu hadir silih berganti menghampiri negeri ini, terutama di kalangan akar rumput merasakan langsung dampaknya. Mulai dari kelangkaan minyak dan kenaikan harga pangan. Selain itu, terdapat isu elit, salah satunya wacana penundaan Pemilu 2024. Bahkan, di lingkungan Persyarikatan Muhammadiyah sendiri, ada sebuah insiden di Banyuwangi, di mana salah satu papan nama Masjid milik Ranting Muhammadiyah dicabut, tentunya memantik rasa simpati bagi seluruh warga Persyarikatan.
Bagaimana tanggapan PP Muhammadiyah terkait isu-isu tersebut? Melihat kondisi negeri saat ini, tentu saja Abdul Mu’ti setuju jika Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hal tersebut disebabkan oleh pandemi Covid-19 telah menimbulkan dampak yang sistemik dan fundamental serta global. Dampak pandemi juga menunjukkan betapa manusia hidup dalam terkoneksi satu sama lain dan saling bergantung antara satu dengan lainnya.
“Kita hidup dalam tatanan dunia di mana saling bergantung dengan yang lain. Karena itulah, tidak ada hal yang bisa kita lakukan kecuali saling memperkuat satu dengan yang lain,” jelasnya.
Lalu, ketika melihat berbagai persoalan tersebut, tentunya tidak berdiri sendiri. Mu’ti melihatnya dengan sudut pandang objektif, artinya masalah yang sedang terjadi saat ini merupakan hilir dari persoalan yang lebih substantif atau mendasar. Salah satu contohnya, kelangkaan minyak goreng adalah dampak dari sebuah kebijakan besar yang selama ini tidak bisa dikontrol oleh pemerintah.
Alhasil, terjadilah kepanikan sosial di masyarakat di mana kekhawatiran tidak mendapatkan minyak goreng menjadi sebuah masalah serius. Adapun, hulu dari masalah tersebut bisa dilihat dari kebijakan pemerintah mengenai industri minyak goreng itu sendiri. Tidak hanya masalah minyak goreng saja, tetapi juga harga kebutuhan pokok lainnya juga akan mengalami kenaikan, dikhawatirkan juga bisa berdampak pada sektor lain.
Kemudian, Mu’ti menyinggung soal wacana penundaan pemilu 2024 yang mana tidak diperlukan. Menurutnya, jika argumen yang mendasari penundaan pemili berkaitan dengan ekonomi, pemerintah telah menyatakan bahwa ekonomi negeri sudah mulai membaik dan tumbuh. Serta, dengan argumen tentang bencana, tidak ada yang bisa memprediksi datangnya bencana mengingat Indonesia berada di kawasan ring of fire dan beberapa argumen pendukung penundaan pemilu yang bisa dipatahkan, contohnya seperti perang Rusia-Ukraina dan pandemi Covid-19.
“Akan menjadi masalah tersendiri jika pemilu ditunda, seperti yang dijelaskan oleh beberapa analis, berkaitan dengan perpanjangan masa jabatan presiden, kabinet, DPR, DPD, DPRD, dan berbagai jabatan lainnya,” ujar Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia, tentunya masyarakat tidak bisa mengkapitalisasi persoalan tanpa melihat secara objektif sisi-sisi yang juga merupakan capaian dari pemerintah. Jika sesuatu dilihat aspek kekurangannya saja, maka akan timbul rasa pesimistis melihat masa depan Indonesia.
Sedangkan, jika sesuatu hanya dilihat sisi positifnya saja, maka akan timbul rasa terlalu percaya diri melihat masa depan, padahal sebelumnya ada banyak sekali masalah yang harus diselesaikan.
Maka dari itu, Mu’ti menekankan agar melihat persoalan dengan outlook yang objektif, di mana mampu melihat keberhasilan sekaligus tidak menutupi kekurangannya. Keberhasilan yang sudah dicapai harus ditingkatkan, kemudian kekurangan tersebut harus diperbaiki dan disempurnakan.
Itulah ciri khas gerakan Muhammadiyah, yaitu tidak menjadi korektif-reaktif, di mana melihat sisi kekurangannya lalu bereaksi tanpa solusi atau jalan keluar. Muhammadiyah, sesuai khittah atau kepribadiannya menjadi organisasi yang terhadap pemerintahan senantiasa bersikap harmonis-kritis, tetap mengedepankan harmoni tetapi juga bersikap kritis, karena itu merupakan ciri dari masyarakat madani menurut Muhammadiyah.
“Ini sesuai dengan Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, bahwa kita mendukung pemerintahan yang sah, mematuhi hukum yang berlaku, sepanjang hukum itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam dan penyelenggaraan negara juga tidak bertentangan pada Pancasila & UUD 1945,” paparnya.
Mu’ti berpesan kepada seluruh warga persyarikatan untuk senantiasa menyampaikan kebaikan dengan makruf, disertai dengan perkataan yang lembut tapi tegas, serta bernas, bermakna dalam, mulia, benar, dan bisa dipahami sebaik-baiknya kepada orang lain. Tidak hanya itu, dalam melihat persoalan, diperlukan juga sikap objektif, independen, serta tidak mudah dipengaruhi hal-hal yang tidak diketahui sumbernya dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
“Kita harus senantiasa agar bagaimana bisa mengajak semuanya untuk berbuat baik sesuai dengan prinsip mengajak kepada kebaikan disamping juga mengingatkan bahwa kalau segala persoalan ini tidak kita atasi maka kita akan punya masalah yang sangat besar, yaitu bangsa ini menjadi bangsa yang tinggal sejarah,” pungkasnya. (Dzikril/Bidang Media PCPM Depok)