Isra Miraj Pendekatan Astronomi
MAKASSAR, Suara Muhammadiyah – Pengajian Rutin Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar membahas Isra Miraj dengan pendekatan Astronomi. Pengajian menghadirkan narasumber dosen UIN Alauddin Dr Alimuddin MAg. Pengajian digelar di Masjid Sabussalam Al Khoory Unismuh Makassar, Selasa 9 Maret 2022.
Pengajian ini dihadiri Rektor Unismuh Prof Dr Ambo Asse, Wakil Rektor I Dr Abd Rakhim Nanda, Wakil Rektor IV Drs KH Mawardi Pewangi, serta segenap civitas akademika Unismuh Makassar.
Dalam pemaparannya Dr Alimuddin menyebut bahwa dalam pendekatan filsafat ilmu, agama diterima diawali dengan keyakinan, dan ilmu pengetahuan diterima diawali dengan keraguan.
“Sedangkan peristiwa Isra Miraj merupakan peristiwa murni aqidah, sehingga tidak berlaku pertanyaan epistemologi ilmu di dalamnya,” ungkap Alimuddin.
Namun manusia sebagai makhluk berkarakter, lanjutnya, ingin mengetahui banyak hal. “Tentu hal ini dapat dikaji dengan maksud memahami kekuasaan Allah swt dan hikmah hikmahnya guna memperkuat aqidah, iman dan kesempurnaan ibadah,” sambungnya.
“Isra Miraj adalah rangkaian dua perjalanan Nabi Muhammad SAW dalam satu malam saja. Setelah menjalani Isra dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha dengan buraq dengan jarak kurang lebih 2.113 km, Rasulullah SAW naik ke langit sampai ke Sidratulmuntaha,” ungkapnya.
Alimuddin melanjutkan, salah satu bagian penting dari kisah peristiwa Isra Miraj penggunaan Buraq, yaitu makhluk berwarna putih yang langkahnya sejauh pandangan mata dalam melakukan Isra.
“Nabi Muhammad SAW lalu melanjutkan perjalanan memasuki tujuh langit tempat ia bertemu tujuh nabi, yaitu Nabi Adam as, Nab Isa as, Nabi Yahya as, Nabi Yusuf as, Nabi Idris as, Nabi Harun as, dan Nabi Musa as,” jelas Alimuddin.
Nabi Muhammad saw, lanjutnya, dikisahkan melanjutkan perjalanan ke Sidratulmuntaha dengan puncak menerima perintah salat wajib.
Menurut Alimuddin, Isra Miraj menurut sains atau astronomi adalah perjalanan keluar dimensi ruang-waktu.
“Dengan demikian, Isra Miraj bukan perjalanan biasa, bukan perjalanan dengan wahana antariksa, serta bukan perjalan antariksa di antara planet-planet, bintang-bintang, atau galaksi,” lanjutnya..
Alimuddin melanjutkan, manusia pada dasarnya hidup di dalam dimensi ruang-waktu. Dimensi manusia ini dibatasi ruang dan dibatas waktu, seperti adanya ruang, jauh-dekat, masa lampau-sekarang-masa depan, serta waktu singkat dan waktu lama.
“Oleh sebab itu, wajar kalau sahabat Rasulullah SAW kaget ketika mendengar perjalanan kurang dari semalam dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina. Sebab, perjalanan dengan kuda tercepat pun butuh waktu cukup lama,” tuturnya.
Alimuddin menjelaskan bahwa salah satu pelajaran penting pada peristiwa ini, Rasulullah dan buraq keluar dari dimensi ruang-waktu.
“Pertemuan di langit itu menggambarkan Rasul tidak lagi terikat pada waktu. Dalam konteks ini tentu tidak perlu lagi bertanya, dan tidak relevan lagi bertanya di mana itu, sebab hal ini sudah keluar dari dimensi ruang waktu,” jelas Alimuddin.
“Malaikat Jibril, jin, itu juga termasuk makhluk di luar dimensi ruang waktu. Karena itu mudah saja bagi malaikat mengajak nabi untuk melakukan perjalanan di luar ruang-waktu. Ini hal yang sama ketika iblis turun ke bumi dan bisa berada di mana pun dan tidak mati,” jelasnya.
Perjalanan Rasulullah di tujuh lapis langit, kata Alimuddin, juga dapat ditinjau secara sains. Langit tujuh dalam lapis dalam peristiwa Isra Miraj menurutnya bermakna jumlah benda langit tidak berhingga.
“Sebab tidak ada lapisan langit dan atmosfer secara nyata di alam semesta. Atmosfer dibedakan berdasarkan derajat suhu dan lainnya, namun tidak secara khusus berlapis. Sementara itu, langit mencakup wilayah orbit satelit, orbit bulan, dan juga tata surya,” jelasnya.
Alimuddin mengutip Prof Thomas Jamaluddin bahwa struktur besar alam semesta yang tidak hingga itu disebut tujuh langit. Anggapan lapisan langit sebelumnya dapat terbentuk saat ilmu astronomi dan astrologi belum dipisahkan. Dalam konsep sains tafsir lama, 7 langit tempat Nabi Muhammad SAW diasosiasikan dengan bulan dan planet-planet di tata surya.
Alimuddin melanjutkan, saat itu setiap benda langit tersebut dimaknai bertempat di satu lapisan langit berbeda.
“Rasulullah saw lalu ditafsirkan bertemu Nabi Adam di bulan, Nabi Isa dan Yahya di Merkurius, dan seterusnya, menurut sebagian ahli analogi makna 7 langit sebagai langit yang tidak berhingga juga tampak pada tujuh lautan di Al Qur’an surat Luqman ayat 27,” ungkap Alimuddin.